Senin, 14 November 2016

Membaca Kecubung Kata dan Risalah Nabi-Nabi Zulfa Fahmi

 Oleh Heri CS*

 Puisi adalah catatan kecil tentang nurani kemanusiaan
                                                                                            -Iman Budhi Santosa

(Serumpun Puisi karya Zulfa Fahmi)
Puisi bukan sekadar kata-kata yang meluncur dari rohani penyair. Ia juga menjadi rekaman kegelisahan pikiran, lingkungan, harapan hingga problematika sosial dan kebangsaan di mana si penyair berada. Hal itu pula yang bisa ditangkap saat kita membaca Cerita Nabi-Nabi karya Zulfa Fahmi yang diterbitkan Ganding Pustaka Yogyakarta, 2016. Bisa dikatakan serumpun puisi Fahmi merupakan puisi-puisi yang sadar diri, yang tertegun, merenung menyaksikan kahanan di sekelilingnya. Baik itu kahanan di dalam kedirian si penulis maupun dengan relasi lingkaran luar kediriannya.

Sehingga, melihat itu semua, si aku lirik seolah menjelma menjadi juru pungut kata dan makna yang dialaminya. Untuk kemudian, diracik, diramu, dan disajikan ke sidang pembaca. Pada akhirnya, meminjam istilah Octavio Paz--citra tentang manusia menjadi terlahirkan dalam manusia. Si aku lirik, dalam konteks ini mencoba menafsir ulang, makna manusia dan sosok manusia dari perspektif panca indranya.

Kecubung Kata 
Dari sekian karya dalam Cerita Nabi-Nabi yang berjumlah 52 puisi ini ada banyak puisi menarik yang membincangkan seputar kata, makna, dan manusia. Dari itu, banyak puisi yang bisa kita nikmati sembari ngopi, ada puisi yang bisa kita nikmati sambil mungkin pacaran, atau bahkan, ada beberapa puisi yang memikat untuk kita jadikan sepenggal kata dan kita kirimkan untuk kekasih kita karena begitu romantisnya.  Meskipun, tentu saja, ada beberapa puisi pula yang--untuk membacanya meski agak mengrenyitkkan dahi. Sebab, puisi yang dilahirkan termasuk dalam puisi gelap.

(Zulfa Fahmi)

Dari sekian itu pula, beragam tema berhasil dijaring, diperangkap, dan disemayamkan dalam kredo puisi ala si penyair. Ada tema pergolakan, kegalauan, keresahan, asmara, kritik sosial, dan ada pula humor satire. Satu kata diksi yang cukup menggelitik saya adalah kecubung. Ada 2 puisi yang menggunakan diksi kecubung. Kecubung merujuk pada KBBI merupakan tumbuhan yang bunganya berbentuk corong atau trompet dan berwarna ungu, bijinya memabukkan. Mari kita nikmati puisi yang berjudul, Aku Makan Kecubung dan Kau Yang Memasaknya.

Kutanami kebun belakang rumah dengan biji kecubung
Tak lama, ia tumbuh besar,
Seperti hutan: lebat dan kesepian

Karena buahnya kesepian dan pengangguran
Sengaja kupetik dengan senyuman dan kuberikan
Pada isteri baruku yang kesekian

Lalu dengan sengaja dibumbuinua dengan saus kacang
Dipotong dengan senapan dan dimasak dengan api kenangan
Disuguhkan kepadaku dengan lemon segar
Lalu kumakan dengan garpu dan sendok lebar
Dan tak lama kemudian aku tepar

Sekarang ia tak lagi pengangguran

Karena istriku selalu memetiknya ketika aku
Hendak mencari isteri baru

Membaca puisi ini kita seolah digiring pada sesuatu peristiwa yang senantiasa memerangkap kita pada perulangan fragmen peristiwa kehidupan. Kita sebagai manusia seperti menanam, meskipun terkadang kita tak pernah tahu apakah kita juga yang kan memanennya--dan, untuk apa. Dalam puisi ini, si aku liris, terjebak pada apa yang ditanamnya. Kecubung yang memabukkan yang disajikan istri yang membuatnya tepar tatkala hendak mencari istri baru. Zulfa mencoba memainkan metafor kecubung sebagai upayanya untuk merekam sesuatu yang memabukkan. Kita tahu efeknya, namun itu juga yang membuat kita terlena. Laku seperti candu. Hal itu juga tersirat dalam puisi Aku Makan Kecubung dan Kau Makan Bunganya,

Tak ada kecubung merah muda, kecuali yang di dada
Kecuali rindu yang setiap hari melanda
Membuat candu pada ingatan lalu.

Tak ada kecubung berbulu, kecuali kau menanamnya di situ
Di samping telaga

Di sebelah rindu yang lama terjaga.


Heri CS dan Amar Alfikar (moderator)

Narasi puisi di atas seperti halnya relasi antara mistik dan asmara, dimulai dari ketika seseorang melompat keluar dari dirinya sendiri kemudian menemukan realitas yang asali alamiah. Dalam hal ini, Fahmi menjadi pujangga yang mahir memainkan diksi, terutama terkait tema-tema asmara yang bak kecubung--memabukkan, melenakan, namun kita selalu merindu mengalaminya meski kadang menyiksa. Hal ini bisa juga dibaca pada puisi lain, seperti Titi Wuryani, Kata Rindu,  dan Galaksi. Beberapa puisi itu membuktikan Fahmi kata ibarat kecubung yang memabukkan. Terutama bagi mereka yang kasmaran.


(Heri CS bersama Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, MA)

Risalah Cerita Nabi-Nabi 
Selain tema perihal asmara dalam magis "perkecubungannya", Fahmi juga menyuguhkan puisi-puisi satire bertema kritik sosial, agama, dan keindonesiaan. Si Aku liris dalam beberapa puisi, memainkan diksi-diksi dan simbol-simbol keagamaan. Pada puisi Cerita Nabi-Nabi, misalnya. Fahmi seolah hendak mempertanyakan bagaimana orang-orang beragama di Indonesia. Beragama namun tak memahami hakikat beragama. Bahkan, Fahmi mencomot nabi-nabi yang membuat kesalahan. Dalam hal ini tentunya bukan nabi dalam arti sesungguhnya, namun nabi-nabi dalam tanda petik, bukan nabi rasul sebelum Muhammad SAW. Nabi-nabi yang memanipulasi "wahyu" dan memanipulasi ayat-ayat untuk sesuatu yang duniawiah. Hingga akhirnya nabi-nabi itu dikutuk.
 .........................
Ceritanya  dimulai  ketika  para nabi mulai kehilangan  akalnya
Kedua tangannya  tak memegang  apa-apa
Tidak bersenjata
Kata para filsuf , nabi-nabi ini mulai bingung mau apa mereka
Otaknya hanya berisi padmasana.
..............................

Hal itu pula bisa kita baca dalam puisi Cerita Tentang Mitos Nabi-Nabi. Dalam puisi ini, manusia kini seolah telah kehilangan nabi-nabinya.

            ....
         Lalu, zaman-zaman sekarang
         Kita semacam dedaunan yang diempas angin
         Dan jatuh di comberan

         Lupa, dingin, sendirian, tanpa peradaban.
         Apakah kita akan tetap ketakutan?

Kritik kahanan sosial mendapat porsi yang lebih di dalam puisi-puisi Fahmi selain kritik atas dogma agama yang salah dipahami umat pengikutnya. Puisi-puisi yang menggambarkan mirisnya kondisi bangsa saat ini bisa kita baca dalam puisinya: Ikan di Dalam Sumur, Negeri Kematian, dan Ketiduran di Bus. Kritik terkait persoalan TKI juga tak luput dipotretnya, hal ini seperti ditulis dalam puisi  Jasa Penyaluran TKI, dan Setelah Timun Mas.
Membaca Cerita Nabi-Nabi, kita seperti menaiki gerbong yang ditarik lokomotif dan melaju di atas rel kondisi keindonesiaan dalam satu dasa warsa terakhir. Si aku lirik, mencoba menangkap berbagai fenomena yang ada. Ada kisah pilu TKI yang senantiasa berduka. Ada kisah orang beragama namun justru lupa untuk apa sesungguhnya manusia beragama. Juga kisah tentang asmara yang memeram rindu dendam, dan riuh ramai, fenomena kehidupan manusia di era generasi milenial.

(Suasana Ngopi Sastra PSK, Minggu, 13 Nopember 2016)
Di dalam dunia kritik, kita mengenal istilah "pengarang sudah mati" ala Roland Bartes. Namun, bagi saya, pengaran memang akan mati, namun teksnya justru akan berkembang biak dalam ranah tafsir dan interpretasi. Cerita Nabi-Nabi seolah ingin menggugat kehidupan yang dialami si aku liris. Kata bagi Fahmi adalah gugatan sekaligus pengharapan akan kondisi yang ideal. Dalam hal ini, Fahmi mencoba menjadi penyair yang membumi akan persoalan realitas di sekitarnya. Penyair yang tidak berjarak yang tidak hanya mengeksploitasi kata dari lingkungannya. Bukankah, WS Rendra mengingatkan, apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan// apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan// (Sajak Sebatang Lisong, WS Rendra). Dalam bahasa sastrawan Iman Budhi Santosa, bukankah, puisi adalah catatan kecil tentang nurani kemanusiaan.

Secara umum, bahasa ungkap Fahmi tidak berbelit. Tidak mengandalkan alunan rima dan irama. Apalagi berumit-rumit bahasa. Cara berpuisi yang ekspresif, apa adanya, dan tak terjebak pada akrobatik kata meskipun si penyair adalah tukang sulap. Ini, yang membuat larik-larik puisi begitu puitik. Penyomotan simbol dan metafora pun seolah sudah dipertimbangkan dengan matang meskipun belum semua hadir pada judul-judul puisinya. Dalam gaya, Fahmi ada yang spontan ala Wiji Thukul. Ada pula yang lugas dan heroik  ala Chairil Anwar. Dan, pada puisi-puisi bertema cinta, Fahmi sepertinya akrab dengan Sapardi Djoko Damono. Ada macam gaya dalam puisi-puisi Fahmi, dan itu sah-sah saja. Namun, sekali lagi, banyak penyair yang berhasil setelah melakukan proses ini. Namun, tak sedikit pula, penyair yang jatuh di lubang yang sama. Terus menganggit, Zulfa Fahmi. Saya menunggu Cerita Nabi-Nabi berikutnya. Tabik. []

*Heri CSbelajar sastra dan berliterasi di Komunitas Lereng Medini Boja Kendal

Sebuah catatan pendek disajikan pada acara NgopiSastra PSK | Pelataran Sastra Kaliwungu
Peluncuran#2 Cerita Nabi Nabi (Serumpun Puisi) karya Zulfa Fahmi 
Minggu, 13 Nopember 2016 di Teras Budaya Prof.Mudjahirin Thohir (Sabranglor Timur, Kutoharjo Kaliwungu Kendal)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tubuh Matahari

tubuh matahari di matamu kuning langsat tetiba hadir di rumahku tanpa salam pun pesan kau terus menyediakan angan bagi pertapa yang kensunyi...