Senin, 14 November 2016

Membaca Kecubung Kata dan Risalah Nabi-Nabi Zulfa Fahmi

 Oleh Heri CS*

 Puisi adalah catatan kecil tentang nurani kemanusiaan
                                                                                            -Iman Budhi Santosa

(Serumpun Puisi karya Zulfa Fahmi)
Puisi bukan sekadar kata-kata yang meluncur dari rohani penyair. Ia juga menjadi rekaman kegelisahan pikiran, lingkungan, harapan hingga problematika sosial dan kebangsaan di mana si penyair berada. Hal itu pula yang bisa ditangkap saat kita membaca Cerita Nabi-Nabi karya Zulfa Fahmi yang diterbitkan Ganding Pustaka Yogyakarta, 2016. Bisa dikatakan serumpun puisi Fahmi merupakan puisi-puisi yang sadar diri, yang tertegun, merenung menyaksikan kahanan di sekelilingnya. Baik itu kahanan di dalam kedirian si penulis maupun dengan relasi lingkaran luar kediriannya.

Sehingga, melihat itu semua, si aku lirik seolah menjelma menjadi juru pungut kata dan makna yang dialaminya. Untuk kemudian, diracik, diramu, dan disajikan ke sidang pembaca. Pada akhirnya, meminjam istilah Octavio Paz--citra tentang manusia menjadi terlahirkan dalam manusia. Si aku lirik, dalam konteks ini mencoba menafsir ulang, makna manusia dan sosok manusia dari perspektif panca indranya.

Kecubung Kata 
Dari sekian karya dalam Cerita Nabi-Nabi yang berjumlah 52 puisi ini ada banyak puisi menarik yang membincangkan seputar kata, makna, dan manusia. Dari itu, banyak puisi yang bisa kita nikmati sembari ngopi, ada puisi yang bisa kita nikmati sambil mungkin pacaran, atau bahkan, ada beberapa puisi yang memikat untuk kita jadikan sepenggal kata dan kita kirimkan untuk kekasih kita karena begitu romantisnya.  Meskipun, tentu saja, ada beberapa puisi pula yang--untuk membacanya meski agak mengrenyitkkan dahi. Sebab, puisi yang dilahirkan termasuk dalam puisi gelap.

(Zulfa Fahmi)

Dari sekian itu pula, beragam tema berhasil dijaring, diperangkap, dan disemayamkan dalam kredo puisi ala si penyair. Ada tema pergolakan, kegalauan, keresahan, asmara, kritik sosial, dan ada pula humor satire. Satu kata diksi yang cukup menggelitik saya adalah kecubung. Ada 2 puisi yang menggunakan diksi kecubung. Kecubung merujuk pada KBBI merupakan tumbuhan yang bunganya berbentuk corong atau trompet dan berwarna ungu, bijinya memabukkan. Mari kita nikmati puisi yang berjudul, Aku Makan Kecubung dan Kau Yang Memasaknya.

Kutanami kebun belakang rumah dengan biji kecubung
Tak lama, ia tumbuh besar,
Seperti hutan: lebat dan kesepian

Karena buahnya kesepian dan pengangguran
Sengaja kupetik dengan senyuman dan kuberikan
Pada isteri baruku yang kesekian

Lalu dengan sengaja dibumbuinua dengan saus kacang
Dipotong dengan senapan dan dimasak dengan api kenangan
Disuguhkan kepadaku dengan lemon segar
Lalu kumakan dengan garpu dan sendok lebar
Dan tak lama kemudian aku tepar

Sekarang ia tak lagi pengangguran

Karena istriku selalu memetiknya ketika aku
Hendak mencari isteri baru

Membaca puisi ini kita seolah digiring pada sesuatu peristiwa yang senantiasa memerangkap kita pada perulangan fragmen peristiwa kehidupan. Kita sebagai manusia seperti menanam, meskipun terkadang kita tak pernah tahu apakah kita juga yang kan memanennya--dan, untuk apa. Dalam puisi ini, si aku liris, terjebak pada apa yang ditanamnya. Kecubung yang memabukkan yang disajikan istri yang membuatnya tepar tatkala hendak mencari istri baru. Zulfa mencoba memainkan metafor kecubung sebagai upayanya untuk merekam sesuatu yang memabukkan. Kita tahu efeknya, namun itu juga yang membuat kita terlena. Laku seperti candu. Hal itu juga tersirat dalam puisi Aku Makan Kecubung dan Kau Makan Bunganya,

Tak ada kecubung merah muda, kecuali yang di dada
Kecuali rindu yang setiap hari melanda
Membuat candu pada ingatan lalu.

Tak ada kecubung berbulu, kecuali kau menanamnya di situ
Di samping telaga

Di sebelah rindu yang lama terjaga.


Heri CS dan Amar Alfikar (moderator)

Narasi puisi di atas seperti halnya relasi antara mistik dan asmara, dimulai dari ketika seseorang melompat keluar dari dirinya sendiri kemudian menemukan realitas yang asali alamiah. Dalam hal ini, Fahmi menjadi pujangga yang mahir memainkan diksi, terutama terkait tema-tema asmara yang bak kecubung--memabukkan, melenakan, namun kita selalu merindu mengalaminya meski kadang menyiksa. Hal ini bisa juga dibaca pada puisi lain, seperti Titi Wuryani, Kata Rindu,  dan Galaksi. Beberapa puisi itu membuktikan Fahmi kata ibarat kecubung yang memabukkan. Terutama bagi mereka yang kasmaran.


(Heri CS bersama Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, MA)

Risalah Cerita Nabi-Nabi 
Selain tema perihal asmara dalam magis "perkecubungannya", Fahmi juga menyuguhkan puisi-puisi satire bertema kritik sosial, agama, dan keindonesiaan. Si Aku liris dalam beberapa puisi, memainkan diksi-diksi dan simbol-simbol keagamaan. Pada puisi Cerita Nabi-Nabi, misalnya. Fahmi seolah hendak mempertanyakan bagaimana orang-orang beragama di Indonesia. Beragama namun tak memahami hakikat beragama. Bahkan, Fahmi mencomot nabi-nabi yang membuat kesalahan. Dalam hal ini tentunya bukan nabi dalam arti sesungguhnya, namun nabi-nabi dalam tanda petik, bukan nabi rasul sebelum Muhammad SAW. Nabi-nabi yang memanipulasi "wahyu" dan memanipulasi ayat-ayat untuk sesuatu yang duniawiah. Hingga akhirnya nabi-nabi itu dikutuk.
 .........................
Ceritanya  dimulai  ketika  para nabi mulai kehilangan  akalnya
Kedua tangannya  tak memegang  apa-apa
Tidak bersenjata
Kata para filsuf , nabi-nabi ini mulai bingung mau apa mereka
Otaknya hanya berisi padmasana.
..............................

Hal itu pula bisa kita baca dalam puisi Cerita Tentang Mitos Nabi-Nabi. Dalam puisi ini, manusia kini seolah telah kehilangan nabi-nabinya.

            ....
         Lalu, zaman-zaman sekarang
         Kita semacam dedaunan yang diempas angin
         Dan jatuh di comberan

         Lupa, dingin, sendirian, tanpa peradaban.
         Apakah kita akan tetap ketakutan?

Kritik kahanan sosial mendapat porsi yang lebih di dalam puisi-puisi Fahmi selain kritik atas dogma agama yang salah dipahami umat pengikutnya. Puisi-puisi yang menggambarkan mirisnya kondisi bangsa saat ini bisa kita baca dalam puisinya: Ikan di Dalam Sumur, Negeri Kematian, dan Ketiduran di Bus. Kritik terkait persoalan TKI juga tak luput dipotretnya, hal ini seperti ditulis dalam puisi  Jasa Penyaluran TKI, dan Setelah Timun Mas.
Membaca Cerita Nabi-Nabi, kita seperti menaiki gerbong yang ditarik lokomotif dan melaju di atas rel kondisi keindonesiaan dalam satu dasa warsa terakhir. Si aku lirik, mencoba menangkap berbagai fenomena yang ada. Ada kisah pilu TKI yang senantiasa berduka. Ada kisah orang beragama namun justru lupa untuk apa sesungguhnya manusia beragama. Juga kisah tentang asmara yang memeram rindu dendam, dan riuh ramai, fenomena kehidupan manusia di era generasi milenial.

(Suasana Ngopi Sastra PSK, Minggu, 13 Nopember 2016)
Di dalam dunia kritik, kita mengenal istilah "pengarang sudah mati" ala Roland Bartes. Namun, bagi saya, pengaran memang akan mati, namun teksnya justru akan berkembang biak dalam ranah tafsir dan interpretasi. Cerita Nabi-Nabi seolah ingin menggugat kehidupan yang dialami si aku liris. Kata bagi Fahmi adalah gugatan sekaligus pengharapan akan kondisi yang ideal. Dalam hal ini, Fahmi mencoba menjadi penyair yang membumi akan persoalan realitas di sekitarnya. Penyair yang tidak berjarak yang tidak hanya mengeksploitasi kata dari lingkungannya. Bukankah, WS Rendra mengingatkan, apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan// apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan// (Sajak Sebatang Lisong, WS Rendra). Dalam bahasa sastrawan Iman Budhi Santosa, bukankah, puisi adalah catatan kecil tentang nurani kemanusiaan.

Secara umum, bahasa ungkap Fahmi tidak berbelit. Tidak mengandalkan alunan rima dan irama. Apalagi berumit-rumit bahasa. Cara berpuisi yang ekspresif, apa adanya, dan tak terjebak pada akrobatik kata meskipun si penyair adalah tukang sulap. Ini, yang membuat larik-larik puisi begitu puitik. Penyomotan simbol dan metafora pun seolah sudah dipertimbangkan dengan matang meskipun belum semua hadir pada judul-judul puisinya. Dalam gaya, Fahmi ada yang spontan ala Wiji Thukul. Ada pula yang lugas dan heroik  ala Chairil Anwar. Dan, pada puisi-puisi bertema cinta, Fahmi sepertinya akrab dengan Sapardi Djoko Damono. Ada macam gaya dalam puisi-puisi Fahmi, dan itu sah-sah saja. Namun, sekali lagi, banyak penyair yang berhasil setelah melakukan proses ini. Namun, tak sedikit pula, penyair yang jatuh di lubang yang sama. Terus menganggit, Zulfa Fahmi. Saya menunggu Cerita Nabi-Nabi berikutnya. Tabik. []

*Heri CSbelajar sastra dan berliterasi di Komunitas Lereng Medini Boja Kendal

Sebuah catatan pendek disajikan pada acara NgopiSastra PSK | Pelataran Sastra Kaliwungu
Peluncuran#2 Cerita Nabi Nabi (Serumpun Puisi) karya Zulfa Fahmi 
Minggu, 13 Nopember 2016 di Teras Budaya Prof.Mudjahirin Thohir (Sabranglor Timur, Kutoharjo Kaliwungu Kendal)

Jumat, 04 November 2016

Belajar Manusia kepada Sastra

Oleh Emha Ainun Nadjib

 Sastra Generasi Millenial
Sejak hampir dua dekade yang lalu lahir Generasi Millenial, juga dalam sastra. Kaum muda usia 18 sd 39-an tahun yang seakan-akan merupakan “putra langit”, bukan anak-anak yang dibesarkan oleh tata nilai kepengasuhan di bumi. Memang indikator kelahiran adalah semakin dominannya peradaban IT, tetapi tidak bisa disebut sebagai kontinyuitas dari karakter kebudayaan generasi sebelumnya yang melahirkan IT. Anak-anak itu seperti makhluk baru yang lebih genuin, seolah-olah ada pengasuh yang lain yang tidak berada di bumi.
Generasi Millenial itu, di samping sangat IT-addict, sangat menonjol kecerdasan enterpreneurship-nya, tidak terlalu tersandera oleh kekuasaan politik, tidak menjadi pengemis di depan kantor kapitalisme industri, tidak termakan secara semena-mena oleh media massa, punya keberpihakan yang serius terhadap “kesalehan”, serta memiliki kebebasan otentik dalam kreativitas, termasuk dalam kesenian dan sastra.
Selama hampir dua dekade belakangan ini mereka menciptakan ruang-ruang sastra sendiri, tanpa fobi, sentimentalitas atau penolakan terhadap ruang-ruang sastra yang telah ada sebelumnya, yang sangat berbeda formula sosialisasinya. Mereka menampilkan optimisme sastra yang tidak tersangka-sangka, merekahkan harapan-harapan kebudayaan dan kemanusiaan melalui keasyikan sastra yang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya.
Saya tidak atau belum akan menyeret pembacaan ini ke wilayah substansial yang lebih mendalam. Fakta Generasi Sastra Millenial itu saya kemukakan untuk sekurang-kurangnya meyakinkan diri saya sendiri bahwa terbukti dimensi sastra tidak bisa dicerabut, dihilangkan, dibuang atau ditiadakan dari makhluk manusia. Kegembiraan atas keyakinan itulah yang bagi saya merupakan nilai terpenting dari pangayubagya saya atas ulangtahun ke-50 majalah Horison.
Pasti saya tidak mampu merumuskan sastra dari perspektif transendensi atas-sastra, sebagaimana tak sanggup juga merumuskan manusia dari perspektif yang me-makro-i manusia. Mungkin sastra itu semacam energi batin, yang berposisi hakiki, niscaya atau sejati, di dalam diri manusia. Sehingga tak mungkin terjadi manusia jika tanpa sastra. Tak mungkin manusia menjadi manusia tanpa sastra. Apabila sastra direduksi dari keutuhan manusia, akan berlangsung ketidakseimbangan yang serius. Ada semacam lobang gelap di dalam jiwa manusia yang membatalkan keutuhan kemanusiaannya. Jika manusia berlubang dan tak seimbang ini berkumpul menyusun suatu sistem sosialitas, maka kebudayaan yang dihasilkannya akan penuh guncangan, peradaban yang dibangunnya tidak memiliki kesuburan.

Kemanusiaan di Titik Nadir
Terserah apa dan bagaimana sastra dipandang, dituliskan, digagas, dialami, dihayati, diilmukan, diteorikan. Tidak masalah sastra dilihat sebagai kata atau ruh, dibebaskan atau dibatasi, dikonsepkan atau diformulasikan, direligiuskan atau disekulerkan, diharuskan atau dilarang, dihubungkan atau dipisahkan, dihamparkan atau disekat-sekat. Yang utama, saya sangat menikmati kenyataan bahwa sastra tidak bisa mati, bahkan pun mungkin sesudah manusianya mati.
Setiap manusia memperluas dirinya untuk mengakomodasi beribu kemungkinan perbedaan. Di bidang apa pun. Apalagi sastra, suatu semesta nilai yang terus bergerak, yang watak utamanya adalah “gerak dan aliran”, yang sesekali jadi padatan sementara, tetapi kemudian selalu dipergoki oleh kemungkinan keindahannya yang baru dan yang lebih baru lagi.
Orang menemukan sastra yang saya tidak temukan, atau sebaliknya: saya menemukan sastra yang orang tak menemukannya, tidak menganggapnya atau mempercayainya. Itu bukan hanya bukan masalah: justru itulah hakiki sastra. Saya menikmati sastra di materi-materi karya sastra, di wajah manusia, di kandungan jiwa makhluk-makhluk, di hamparan alam semesta, di firman Tuhan, di duka derita rakyat dalam negara, di tali-tali persambungan antarapa pun dalam kehidupan.
50 tahun Horison ini saya sapa dengan syukur dan rasa kagum, betapa sastra tetap tegak martabatnya di tengah zaman —yang sebagian pelakunya semakin tidak mengenalnya, sebagian lain meremehkannya, serta sebagian yang lain lagi mencampakkannya dan menganggapnya tidak ada.
Sastra ternyata belum, dan memang tidak menjadi “fosil” sejarah di tengah peradaban sosial dimana kemanusiaan ditindih sampai ke garis paling nadir di telapak kaki sejarah. Sastra tidak musnah oleh riuh-rendah negara, industri dan kapitalisme yang sangat tidak berpihak pada manusia. Negara yang hanya mampu memandang kehidupan manusia pada lapis paling permukaan, yakni yang kasat mata, atau yang di seputar jangkauan indera.
Terlebih lagi dominasi kekuasaan materialisme, kapitalisme dan industrialisme, yang puncak pencapaiannya adalah memutilasi manusia dengan menyisakannya hanya sebagai “benda” saja, demi “agama” pasarnya. Kalaupun ada faktor-faktor non-materi yang diambil dari manusia, misalnya intelektualitas, kreativitas, kecerdasan, sensibilitas, kelembutan, bahkan berbagai hal yang mereka sangka “rohani”, itu semua tetap dimobilisasikan untuk mengabdi kepada benda dan pasar.  
Sastra tidak musnah di tengah situasi dan gerak “ketidak-beradaban” peradaban benda dan pasar hasil karya makhluk-makhluk di bumi —yang kalaupun mereka masih menyebut-nyebut dimensi rohani, itu pun dikonstruksikan dan diformulasikan secara dan sebagai materi. Rohani diidentifikasi dengan cara pandang, sisi pandang, sudut pandang serta jarak pandang materialisme. Untuk kemudian dikapitalkan dan dikomoditaskan.

Sastra pada Bangsa, Negara, Agama
Manusia sangat dipersyarati oleh sastra untuk kemanusiaannya. Jika manusia itu punya keperluan terhadap Tuhan, maka manusia sangat membutuhkan sastra untuk mengolah proses perohanian dan pelembutan kehidupan keberagamaannya. Dan jika manusia berkumpul sebagai bangsa, mereka sangat butuh sastra untuk punya kemungkinan mencapai keberadaban negaranya.
Sebagaimana dimafhumi, semua wacana nilai menyepakati bahwa manusia, masyarakat, bangsa dan negara sangat membutuhkan sastra. Tapi saya melihat lebih dari itu. Misalnya kalau dalam kaitan bangsa, alur sebab-akibatnya bukan bahwa sastra membutuhkan peran negara untuk memberadabkan bangsa. Melainkan: negara membutuhkan sastra, kalau memang para pelaku negara mengetahui bahwa tak ada masa depan negara jika rakyatnya tidak dipertahankan sebagai bangsa manusia dengan keberadaban rohani kemanusiaannya.
Atau dalam kaitan agama: bukan kalau sastra ingin menarik garis dari dirinya ke Tuhan maka ia perlu bekerjasama dengan agama. Melainkan: kalau para pelaku agama memerlukan istiqamah sambungan silaturahimnya dengan Tuhan, maka ia memerlukan sastra. Karena, Tuhan sendiri mempersambungkan diri-Nya kepada manusia, pun melalui firman-firman yang sangat bergelimang sastra. Tatkala Tuhan memperkenalkan diri-Nya sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kata atau idiom Rahman dan Rahim bukanlah bahasa hukum, tidak bisa disentuh oleh ilmu, hanya bisa diprasangkai oleh budaya, tetapi bisa diselami dengan sastra.

Perusahaan Negara dan Pasar Demokrasi
50 tahun Horison adalah momentum untuk merayakan betapa kita semua ini masih manusia, karena hidupnya sastra adalah tanda masih adanya manusia. Nyawa manusia terletak pada rohaninya, sebagaimana nyawa ibadat ada pada khusyuknya, atau nyawa rumahtangga dan keluarga ada pada cintanya, atau nyawa negara ada pada Tanah Air yang dicintai oleh penghuninya, serta Ibu Pertiwi yang dijunjung oleh manusia-manusianya.
Industrialisme dan kapitalisme yang sudah sedemikian jauh memperbudak negara dan pemerintah menjadi alat pasar maniak-materialismenya, ternyata tidak serta-merta mampu sepenuhnya melindas dan menggiling manusia menjadi robot dan onderdilnya. Kalau masih ada sastra, maka masih ada manusia. Kalau masih ada manusia, kita punya harapan akan ada negara, tidak sekadar perusahaan yang dinegara-negarakan, serta pasar yang didemokrasi-demokrasikan. Kalau suatu saat terbangun negara, maka akan terpilih juga pengelola negara yang memahami rakyatnya sebagai manusia.
Maka, demi memenuhi tugas “Orasi Budaya” ini saya mencoba melacak, meniti dan menemukan kembali sastra dalam manusia, sastra dalam bangunan yang disebut negara, juga sastra dalam lingkup kesibukan yang dipercayai sebagai agama.
Akan tetapi sama sekali tidak mudah merumuskan apa yang sebenarnya ingin saya kemukakan. Judul ini merupakan keputusan darurat di tengah kebingungan saya menentukan beberapa kata untuk menjuduli pembacaan dan pembicaraan yang dibingkai dengan idiom “Orasi Budaya” siang ini.

Mempelajari dan Belajar Kepada
Awalnya “belajar lukisan kepada pelukisnya”. Kemudian “belajar sastra kepada penulisnya”. Karena dimensi faktanya sangat luas dan memuat keseluruhan nilai kehidupan, kalimat itu menjadi “belajar sastra kepada manusia”. Tetapi berhubung yang sedang banyak terlihat oleh saya adalah hilangnya manusia dari kehidupannya sendiri, kalimat berbalik menjadi “belajar manusia kepada sastra”.
            Lengkapnya “belajar tentang manusia kepada sastra”. Ada kemungkinan lain: “mempelajari manusia dari atau pada sastra”. Tetapi saya lebih memilih “belajar kepada” daripada “mempelajari”. Kalau “mempelajari” itu kegiatan “sekolahan”, “belajar kepada” itu kegiatan kehidupan.
“Mempelajari” itu mengandung semacam arogansi intelektual, serta terdapat pemetaan dimana manusia adalah objek yang dipelajari, dengan sastra sebagai sumber wacananya, dan “kita yang mempelajari” berdiri gagah di depan objek tersebut.
            Tetapi kalau “belajar kepada”, pelakunya memposisikan diri pada sikap rendah hati, membungkuk karena sadar kurang berilmu sehingga memerlukannya, serta tidak memperlakukan yang di hadapannya sebagai obyek. Sementara, biasanya yang “mempelajari” berposisi lebih pandai, lebih mengerti atau lebih hebat dibanding yang “dipelajari”.
            Kalau diperkenankan memakai analogi bagaimana manusia berinteraksi dengan Al-Qur`an: “mempelajari” itu opsi tafsir, produknya adalah madzhab-madzhab yang masing-masing membenarkan dirinya sendiri-sendiri. Sementara, “belajar kepada” adalah tadabbur, yang hasilnya adalah manfaat otentik pada pelakunya, keluasan untuk kebersamaan, serta kearifan terhadap kemungkinan-kemungkinan.
           
Belajar Manusia kepada Penciptanya
Pada proses berikutnya muncul semacam masalah. Kalau memang “belajar lukisan kepada pelukisnya”, mestinya yang paling otentik adalah “belajar manusia kepada Penciptanya”. Berhubung sampai hari ini belum pernah ada wacana, pembacaan, ilmu, pengetahuan, prasangka, perkiraan atau anggapan bahwa yang menciptakan manusia adalah –misalnya– jin, malaikat, dewa, iblis, atau manusia sendiri yang menciptakan dirinya sendiri, maka saya mohon toleransi untuk menyebut dan melibatkan Tuhan.
Ini yang saya sebut semacam masalah, terutama bagi rekan-rekan yang kurang berkenan terhadap Tuhan. Sebab, secara pribadi saya tidak menutup pintu bagi siapa pun yang membenci Tuhan, tidak mengakui Tuhan, tidak menemukan Tuhan, salah paham terhadap hadir-tidaknya Tuhan dalam hidupnya, gagal paham terhadap informasi-informasi tentang Tuhan yang sampai kepadanya, atau berbagai kemungkinan “ya” dan “tidak”-nya Tuhan dalam pandangan dan sikap hidup manusia.
Sekurang-kurangnya saya selalu menghindar dari peluang untuk diejek oleh Tuhan: “Apakah engkau akan bersedih hati kemudian membunuh dirimu sendiri, hanya karena mereka berpaling dari-Ku dan tidak beriman kepada-Ku?”
Tuhan ini sendiri sesungguhnya bukan benar-benar Tuhan, karena Ia adalah Maha Unikum yang tidak bisa dicapai oleh ilmu, sampai pun dengan puncak akalnya. Tapi ia bisa disentuh oleh kelembutan cinta di pusat rohani manusia. Dan yang ditradisikan, dilatihkan dan diasah oleh sastra adalah kelembutan cinta, di kandungan terdalam rohani manusia.
Tuhan yang dikenal oleh wacana-wacana peradaban bukanlah Tuhan yang sejatinya Tuhan, melainkan sejauh yang disepakati oleh keterbatasan pandangan manusia untuk disebut Tuhan. Bahkan ada sebutan bermacam-macam: Yahwe, Yehovah, Manitou, Sang Hyang, Sang Yuang. Ada yang menambahi embel-embel Widhi, Wenang, atau Tunggal.
Atau Tuhan yang Allah sendiri menginformasikan “XY” diri-Nya, untuk memudahkan manusia mengenali dan merasakan kehadiran-Nya. Allah itu sendiri, secara “objektif”, berposisi tan kinaya ngapa atau laisa kamitslihi syaiun, ‘tidak seperti apa pun juga’.

Secara Ilmu dan Secara Sastra
Sekelompok pemeluk agama Islam melarang dirinya menyebut semua nama atau kata-kata itu, karena menurut mereka yang benar adalah Allah. Alasannya, karena Allah sendiri memperkenalkan diri-Nya sebagai atau dengan nama Allah –meskipun sebelum informasi resmi itu disampaikan melalui Nabi Muhammad saw, kata Allah sudah dipakai banyak orang di zaman sebelumnya, bahkan oleh bapaknya Sang Nabi itu sendiri, yakni Abdullah, Abdu-nya Allah. Juga sesudahnya, tokoh munafik yang mengkhianati Nabi juga bernama Abdullah bin Ubay.
Pada hakikinya manusia tidak memiliki perangkat ilmu atau alat jangkau pengetahuan untuk benar-benar mengetahui bahwa Ia adalah dan bernama Allah, sekurang-kurangnya karena dua hal.
Pertama, Allah memperkenankan makhluknya menyebut dan memanggil-Nya Allah, demi mempermudah sistem pengetahuan manusia di tengah keterbatasannya yang tidak memungkinkannya sungguh-sungguh mengenal Allah.
Kedua, Allah tidak berada di posisi untuk memerlukan nama. Allah tidak berkomunitas, tidak bermasyarakat, tidak bertetangga, tidak ada rekanan, handai tolan atau sahabat-sahabat yang memerlukan nama-Nya agar mudah dan jelas dengan sebutan apa mereka menyapa-Nya. Ia Maha Tunggal. Sendiri. Tidak ada padanan-Nya.
Allah hanya menciptakan makhluk, dan para makhluk itu perlu berkomunikasi dengan-Nya, sehingga Ia “berkompromi” atau “mengalah” dengan meresmikan nama-Nya adalah Allah. Mungkin sebagaimana seorang kakek mengalah memanggil Pak Lurah dengan “Mbawwa”, karena demikian cucunya memanggil Pak Lurah.
Tetapi Ia bernama dan dipanggil Allah tidak sebagai fakta objektif, melainkan inisial subyektif pada atau bagi makhluk-Nya. Sebab, semua makhluk tidak memiliki perangkat apa pun untuk mengenali-Nya secara objektif, sebagaimana —sampai batas tertentu yang juga relatif— para makhluk itu secara objektif mengenali rumput, pepohonan, angin, hamparan tanah, gunung-gunung yang gagah, atau wajahnya sendiri.
            Pembelajaran dan perjuangan bidang apakah, selain sastra dan kesenian, yang mengembarakan batin manusia ke wilayah disiplin dan gerakan batin seperti itu? “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dihamparkan tanda-tanda keagungan-Nya maka bertambahlah iman mereka….”
Hadapilah dan rumuskan pernyataan Tuhan itu dengan ilmu, lantas rasakan dan selamilah secara sastra, kemudian bandingkan hasil di antara keduanya.

Jarak Sastra, Pendidikan Sastra
Maka sesungguhnya para makhluk itu mengenali Allah secara sastra, tidak secara ilmu, apalagi secara material, secara fisika, biologi atau ilmu-ilmu jasad, ngelmu katon atau ilmu kasat mata. Dengan cara pandang lain: jarak antara Tuhan dengan manusia bukan terbentang jarak materi, bukan jarak ilmu, melainkan jarak sastra.
Demikianlah juga rentang dan sekat-sekat yang terjadi di antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan dirinya sendiri, antara manusia dengan lingkup sosialitasnya, antara identitas individu dengan fungsi sosialnya, antara negara dengan bangsanya, antara pemerintah dengan rakyatnya, antara kelompok-kelompok, golongan, madzhab, aliran, serta antarapa pun yang sejauh ini menghasilkan perselisihan, benturan, dismanajemen, konflik, permusuhan dan kebencian —ketika jelas berpanjang-panjang waktu itu semua tak terselesaikan oleh ilmu— karena memang yang terjadi adalah jarak sastra, jarak rohani, jarak batin, jarak cinta dan kelembutan yang tak ditemukan di tengah kegelapan. 
Ketika sekelompok manusia mengacungkan dua jari dan berteriak, “Peace!”, itu adalah kosakata sastra. Sekurang-kurangnya ia adalah kosakata yang nyawanya hanya bisa ditemukan secara sastra. Sebagaimana kata negara, propinsi, ibukota, adalah kosakata hukum dan konstitusi. Tetapi tanah air, ibu pertiwi, negeri, adalah kosakata sastra, kosakata cinta, kosakata rohani. Setiap Pegawai Negara Sipil, bekerja dalam ikatan konstitusi negara. Kalau yang ada adalah Pegawai Negeri Sipil, maka syarat etos kerjanya adalah cinta yang meluap kepada tanah air dan semua manusia yang menghuninya.
Dunia pendidikan mengajarkan sastra sebagai ilmu dan secara ilmu, dan kemudian tidak menghasilkan manusia rohani. Mungkin berbeda hasilnya jika ia mengajarkan ilmu secara sastra. Ada baiknya membuka diri untuk berpikir bukan mengajarkan sastra dengan mekanisme transfer data, tetapi menyusun perjuangan pendidikan dengan proses pemberadaban bersama secara rohani sastra.
Tuhan tidak mengajari manusia dengan kalimat “Wahai manusia, ketahuilah bahwa ciptaan-Ku ini tidak ada yang sia-sia”. Yang dilakukan Tuhan adalah memancing imajinasi dan kreativitas manusia dengan menurutkan kalimat “Wahai Tuhan, tidaklah sia-sia Engkau menciptakan semua ini”. Kalau manusia mendengar itu secara sastra, dengan imajinasi dan daya kreatif, yang ia lakukan adalah ia terlebih dulu merambah pengalaman, melakukan penelitian dan pendalaman, agar berposisi relevan dan “historis” untuk mengucapkan “tidak sia-sia Engkau ciptakan ini semua”.
           
Menemukan Kembali Letak Sastra
Maka akhirnya saya merasa punya pijakan untuk memutuskan judul “Belajar Manusia kepada Sastra”. Manusia perlu belajar kepada sastra untuk menjadi manusia dan mempertahankan kemanusiaannya.
Ketika Chairil Anwar berpuisi “Aku hilang bentuk. Remuk. Aku tak bisa berpaling”, kalau dipahami dengan bahasa hukum dan konstitusi, maka Chairil kehilangan kewarganegaraannya. Foto yang terpampang di kartu identitasnya harus jelas bentuknya, harus tertentu wajahnya. Bahkan harus dicatat ia sudah meninggal. Sebab kalau seseorang remuk seluruh badannya, ia bukan orang yang hidup. Apalagi si makhluk Chairil Anwar yang tak berbentuk, yang remuk, ini tidak bisa berpaling, tidak bisa menoleh, ia bersikukuh berada di depan kita, pastilah sangat menakutkan.
Penyair Taufiq Ismail memunculkan problem kenegaraan dan ekonomi dengan lontaran kalimat puisinya “Beri Daku Sumba”. Bagaimana mungkin Pulau Sumba diminta oleh seseorang hak kepemilikannya. Lantas Sang Raja Umbu Landu Paranggi akan memobilisasikan 611.594 penduduk Pulau Sumba untuk ditransmigrasikan ke mana. Tidak mungkin ada kabupaten atau provinsi bersedia menampung orang sebanyak itu. Hanya tenaga kerja dari Negeri Naga, meskipun sampai 10 juta jumlahnya, yang semua penduduk Nusantara siap menerima dengan sikap altruistik, penuh kemuliaan dan kasih sayang.
Chairil juga merupakan ancaman bagi kepolisian pada umumnya dan Densus 88 pada khususnya:
Aku ini binatang jalang /Dari kumpulannya terbuang /Biar peluru menembus kulitku /Aku tetap meradang menerjang….”
Sementara para ustadz sebaiknya memberinya tausiyah agar Chairil tidak lagi bicara ngawur: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”. Itu kebodohan sekaligus keserakahan, menentang sunnatullah atau tradisi penciptaan oleh Allah, makar dan sesat. Termasuk Bung Karno yang melanggar teknologi: “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Antara planet apa dengan planet apa tali gantungannya direntangkan.
Tentulah tidak ada pejabat negara atau para ilmuwan yang menjadi staf-staf ahli mereka berpikir sedungu itu. Tetapi saya juga tidak bisa membantah bahwa para penguasa negara, para pengendali kebudayaan masyarakat, para stakeholders kehidupan sosial, termasuk banyak pemimpin agama, semakin gagal menemukan letak sastra dalam perikehidupan manusia, masyarakat dan bangsa yang mereka kelola.

Manusia Wajib Hidup Abadi
Saya tidak memaksudkan “materi sastra” atau bidang kesusastraan, kesenian dan kebudayaan. Di pemerintahan kerajaan atau negara mana pun, hal-hal tersebut selalu disediakan institusinya, lembaga yang mengurusinya. Sebagai birokrat, memang yang mereka kelola adalah “materi sastra, seni dan budaya”: sastra yang diwakili oleh deretan kata, lukisan yang diantarkan oleh kanvas, guratan dan warna, atau paket-paket materi musik, tari, atau drama. Termasuk kreatornya dan peluang-peluang sosialisasinya.
Akan tetapi sebagai manusia, pertemuan dan interaksi mereka dengan sastra bukanlah interaksi material. Melainkan kandungan nilai-nilainya, dimensi rohaniahnya, perangkat-perangkat halus yang tak tersentuh oleh pancaindera, yang menyebabkan para kreator itu menyampaikannya dengan menggunakan perangkat-perangkat material: kata, warna, nada, gerak, dst.
Sastra, atau lebih luas disebut seni, itu tidak kasat mata. Ia mungkin bagian dari yang disebut ruh atau roh, mungkin berupa getaran, gelombang atau magnet, sebagaimana secara samar-samar manusia merabanya melalui kata persangkaan: jiwa, nyawa, nurani. Sebuah karya sastra, pementasan drama, pergelaran musik atau pertunjukan tari, lazim disebut "tidak ada ruhnya". Bahkan permainan sepakbola, biasa menggunakan istilah “seni”-nya. Pun peperangan, di puncak kecanggihannya orang membahasakannya sebagai “seni perang”.
Ummat manusia tidak bisa mengelak dari pengalaman sastra, agar ia bertahan menjadi manusia. Maka ia membutuhkan karya-karya sastra. Namun demikian karya sastra bukan satu-satunya tempat di mana sastra bisa ditemukan dan dialami. Karya sastra bekerja mengantarkan manusia untuk memasuki dimensi sastra —yang letaknya ada di dalam dirinya sendiri, di kandungan alam semesta, serta dalam komunikasi dan interaksi dengan Tuhan yang merupakan asal-usul dan tujuan akhirnya.
Manusia tidak bisa tidak hidup abadi. Manusia wajib hidup abadi. Manusia tidak bisa absen untuk tidak terlibat di dalam dua keabadian yang disiapkan oleh Penciptanya: yakni kholidina dan abada. Apa gerangan itu, tak ada gunanya mencoba menggapainya dengan ilmu, tetapi bisa menjangkaunya dengan pengalaman sastra. Manusia tidak punya kemungkinan atau hak untuk “pensiun dini”, ia harus mengalir di keabadian. Manusia dipersilakan menggunakan hak pilih: menempuh ekosistem neraka atau peta nilai sorga.

Materi Sastra Indera dan Pengalaman Sastra Ruh
Oleh karena itu manusia bukan (hanya, atau terutama) jasadnya. Bukan pancainderanya. Bukan gedung-gedung kemewahan dan segala pencapaian jasadiyah keduniaannya. Bukan perangkat-perangkat kesementaraannya. Manusia adalah getaran sejati di dalam jiwanya, di mana pengalaman sastra bisa membantunya untuk berada padanya. Manusia adalah resonansi gelombang Tuhan Yang Mahaabadi, yang dibuntu dan ditimbun oleh segala jenis peradaban materialisme, namun bisa ditembus dengan lembutnya pengalaman sastra.
Manusia menempuh rentang jarak antara karya sastra dengan pengalaman jiwa sastra. Jarak antara warna, guratan, garis, gerak, bunyi, serta apa pun materi-materi lainnya, dengan jiwa di sebaliknya. Sebagaimana ia menempuh jarak dari Mushaf ke Qur`an, dari kehadiran Tuhan ke sejatinya Tuhan, dari materi karya-karya seni ke pengalaman cinta sejati.
Para pelaku sastra menimba kesejatian hidup dari Sastra Ruh, dimaterikan menjadi Sastra Indera. Sedangkan pembaca sastra diantarkan ke arah sebaliknya: dari Materi Sastra ke Ruh Sastra.
Di dalam peristiwa agama, manusia yang tergetar hatinya tatkala mengucapkan “Allahu Akbar”, ia bukan sedang mengetahui kebesaran Tuhan dan mentakjubi-Nya, melainkan sedang menempuh proses perjalanan menuju otentisitas Tuhan, yang tak pernah benar-benar bisa digapainya, sehingga ia harus terus menerus mengalir kepada-Nya.
Sebab Allahu Akbar tidak bisa diterjemahkan menjadi Allah Yang Maha Besar, melainkan Allah Yang Senantiasa Maha Lebih Besar. Ia bukan peristiwa dan penemuan objektif sebagaimana ilmu memadatkan fakta dan data. Allahu Akbar adalah dinamika perjalanan menempuh ruang keabadian. Tuhan selalu lebih besar lagi dan terus lebih besar lagi dari yang sebelumnya kita rasakan atau temukan.
Mainstream peradaban yang sedang berlangsung membuka lahan selebar-lebarnya untuk bangunan-bangunan budaya, ilmu dan materi-materi yang di beberapa langkah ke depan dihadang oleh senjahari dan gelap malam.  Memprimerkan segala sesuatu yang akan ditinggalkan dan meninggalkan, yang didirikan untuk ambruk dan dibangun untuk hancur. Sedangkan sastra mengawal perjalanan manusia di rentang keabadian dan semesta kesejatian.
Andaikanpun pelaku sastra menolak keterkaitannya dengan keabadian, kesejatian, Tuhan, jiwa fitri dan getaran cinta otentik , tidak menjadi masalah. Ia atau mereka berhak menciptakan sastranya sendiri, dirinya sendiri, semesta dan gagasan nilainya sendiri, meskipun tidak ada wilayah lain di luar kesejatian dan keabadian.
Saya mohon maaf kepada siapa saja yang tidak sependapat dengan yang saya kemukakan. Jangankan orang lain atau siapa pun yang di luar diri saya, sedangkan saya sendiri tidak kecil kemungkinannya untuk tak sependapat dengan apa yang baru saja saya ungkapkan.
Manusia di dunia tidak sedang bertempat tinggal, melainkan sedang melakukan perjalanan. Dan getaran selama perjalanan itulah sastra. []

Yogya, 22 Juli 2016
  
Esai ini merupakan Orasi Budaya Emha Ainun Nadjib pada acara 50 Tahun Majalah Sastra Horison, di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Selasa, 26 Juli 2016.
copas : http://horison-online.com/catatan-kebudayaan/catatan-kebudayaan/56-belajar-manusia-kepada-sastra.htmlchttp://horison-online.com/catatan-kebudayaan/catatan-kebudayaan/56-belajar-manusia-kepada-sastra.html

Selasa, 01 November 2016

Memaknai Silaturahmi: Komunitas Sastra dan Masyarakat yang Berubah

Oleh: Faisal Kamandobat

Tulisan ini adalah pengantar untuk antologi puisi Beternak Penyair (2012) oleh komunitas Hysteria, dalam rangka pertemuan komunitas-komunitas sastra di Semarang, Desember 2011

Terutama pada dua dasawarsa mutakhir, gejala sosial yang muncul dalam sastra Indonesia adalah menjamurnya komunitas-komunitas sastra di berbagai daerah. Komunitas-komunitas tersebut menyenggarakan berbagai kegiatan sastra mulai membaca, menulis dan menyosialisasikan karya sastra baik melalui tulisan maupun pertunjukan. Dalam komunitas-komunitas sastra itu pula terjadi diskusi, baik formal maupun informal, tentang berbagai gagasan yang berkaitan dengan sastra, baik tema maupun estetikanya. Sebuah gejala yang menyenangkan jika melihat semangat serta semakin banyaknya individu-individu yang terlibat dalam komunitas-komunitas sastra tersebut.

Kecenderungan berkomunitas di kalangan para sastrawan tersebut lahir, menyebut sejumlah faktor penyebabnya, adalah sebagai dampak dari perubahan sosial, politik dan ekonomi. Pada wilayah sosial, sedang terjadi proses reograninasi masyarakat, dimana ikatan-ikatan tradisional berdasarkan agama, etnisitas dan klan mulai diimbagi oleh ikatan profesi yang lebih menyatukan individu-individu berdasarkan minat dan pekerjaan yang sama. Ketika para sastrawan berkomunitas, mereka tengah melakukan tindakan politis dalam wujud memperkuat status “profesional” mereka sebagai sastrawan sehingga posisi sosial mereka lebih diperhitungkan di tengah masyarakat—atau lebih tepatnya di hadapan kelompok-kelompok profesi yang lain. Dan pada akhirnya, kecenderungan berkomunitas itu juga merupakan konsekuwensi dari perubahan ekonomi yang semakin mengelompokkan masyarakat ke dalam jenis pekerjaan yang semakin terspesialisasi.
Namun persoalan komunitas sastra menjadi semakin rumit manakala dikaitkan dengan berbagai persoalan sosial-budaya sebagai akibat dari perubahan politik dan ekonomi belakangan ini, terutama sejak keruntuhan Orde Baru. Dalam hal politik, demokrasi telah meminimalisir peran negara di tengah masyarakat, sehingga posisi masyarakat semakin menguat di hadapan negara. Menguatnya posisi masyarakat tersebut ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok kepentingan—termasuk komunitas sastra—yang saling bersaing satu sama lain, baik internal (antar komunitas sastra dan antar sastrawan) maupun eksternal (antar kelompok kepentingan). Sayangnya, minimnya peran negara tersebut tidak hanya terjadi pada wilayah politik namun juga ekonomi dimana tanggung jawab negara untuk menyejahterakan rakyatnya semakin kecil, sehinga ekonomi dikuasai oleh kelompok yang menguasai alat-alat produksi dan pasar.

Pada titik itulah, yaitu ketika negara semakin melemah dan pasar menguat, terjadi kompetisi antar kelompok sosial dalam rangka memperebutkan sumberdaya, baik yang bersifat material maupun simbolik. Bukan rahasia lagi jika di kalangan sastrawan pun terjadi kompetisi dalam rangka memperebutkan sumberdaya, dimulai dari jenisnya yang simbolik dalam wujud status dan pancarannya, yaitu popularitas, untuk kemudian dipertukarkan dengan sumberdaya yang lebih material seperti posisi dalam sebuah lembaga serta modal ekonomi yang mengkutinya. Ada kalanya kompetisi tersebut berlangsung dengan tenang dan berujung pada kerjasama, namun tak jarang menimbulkan konflik baik antar komunitas sastra maupun antar sastrawan.

Hal serupa juga terjadi pada kelompok profesi dan kepentigan lain, baik ekonomi, politik, dan budaya. Hukum dasarnya adalah: individu atau kelompok yang paling jelas statusnya, paling terang pancarannya, paling tegas faktualitasnya, dia/merekalah yang memiliki posisi paling berpengaruh dalam masyarakat. Maka tidak heran jika terdapat seorang sastrawan juga memiliki keinginan menjadi penguasaha, politisi, dan bahkan tokoh agama sekaligus; pun, tidak begitu mengagetkan jika seorang pengusaha tiba-tiba menulis novel atau puisi; seorang politisi tiba-tiba gemar menulis dan membaca puisi; dan seorang agamawan tertarik menjadi anggota legislatif, menulis puisi dan memiliki perusahaan.                 

Singkatnya, dunia sastra kita telah tiba dalam realitas sosial yang, suka atau tidak suka, khas kapitalistik. Cara kita mendefinisikan diri, memandang realitas objektif, dan menentukan orientasi, perlahan-lahan telah ditentukan, kendati bukan satu-satunya, oleh nalar yang bersumber dari cara pandang yang khas ekonomistik. Kapitalisme tidak hanya terjadi di perusahaan dan pasar, namun telah memasuki medan yang lebih luas lagi, termasuk dunia budaya dimana sastra berada di dalamnya. Pola kerja kita telah menjadi mesin produksi, dan relasi sosial kita telah menjelma arena pertukaan simbol, entah berupa status, gagasan, ideologi, dan bahkan selera berbahasa.     

Sejauh mana para sastrawan, dengan kelompok “profesionalnya” bernama komunitas sastra, dapat memiliki peran yang lebih diperhitungkan di tengah masyarakat? Adakah para sastrawan perlu menjadi politisi, agamawan, dan pengusaha sekaligus? Sejumlah individu mungin tertarik dan mampu menjawab pertanyaan yang kedua, dengan segala bakat, ambisi dan kekuatan yang dimilikinya. Namun dalam rangka menjawab pertanyaan yang pertama, kita tidak bisa dengan hanya melihat segelintir individu.
          
Pertama, kita dapat mengukurnya dengan melihat nilai-nilai yang diacu oleh para sastrawan; apa saja yang membuat sejumlah individu rela mengorbankan waktu, pikiran, tenaga, dan sejumlah harta-benda, demi mencapai nilai-nilai tersebut? Kecenderungan umumnya adalah para sastrawan modern berusaha membuat temuan, dimulai dalam ukurannya yang paling minimal, untuk membuat sebuah karya yang khas dirinya, sehingga dirinya sebagai individu dapat menduduki posisi tertentu dalam sastra. Temuan tersebut bisa berupa gaya bahasa, tema, dan cara pengucapannya. Seni modern mempercanggih temuan tersebut ke dalam istilah “konsep estetika”, yang justifikasi serta argumentasinya bisa bersumber dari berbagai disiplin pengetahuan, mulai filsafat, sejarah, linguistik, sampai teologi, dan legitimasinya diberikan oleh sub-profesi dalam sastra yang disebut sebagai kritikus sastra. Semakin kuat karya yang dihasilkan seorang sastrawan, semakin kuat pula posisinya di dunia sastra. Semakin sering ia tampil dalam festival-festival, semakin luas pula pengaruhnya. Semakin mendapat pembahsan dari kalangan kritikus, semakin berbobot pula karyanya. Semakin tinggi gengsi festival dan penghargaan yang diraih, semakin kokoh posisi sosilnya sebagai satrawan.         

Dalam hal yang pertama ini, untuk memperkuat posisi sosial sastra, para sastrawan membuka diri untuk berdialog dengan dunia-dunia lain untuk menyerap, mengolah, dan mendistribusikan kembali gagasan-gagasannya ke kelompok-kelompok sosial yang lain. Jika apa yang disebut sebagai “estetika” hanya dimengerti oleh komunitas-komunitas sastra, maka kelompk-kelompok sosial lain merasa dibatasi untuk terlibat di dalam sastra. Menulis puisi tentang cinta, hujan yang turun, bumbu masak, atau desir ombak di pantai bukanlah sesuatu yang buruk, entah dengan gaya liris, naratif, ekspresif, atau heroik; namun, akan lebih aktual jika bersamaan dengan puisi cinta romantis, hujan yang rintik-rintik, bumbu-bumbu masak yang harum, dan desir ombak yang menggairahkan, dihadirkan dan dipertanyakan berbagai persoalan sosial, ekonomi, politik, ekologi, sejarah, dan jalinan budaya yang menyertai semua itu, sehingga individu atau kelompok sosial lain merasa terwakili di dalam karya sastra itu.

Dengan cara itu karya sastra dapat diterima dan kemudian menentukan orientasi budaya dan sejarah masyarakat di luar kelompoknya sendiri, bukan semata sebagai hiburan, namun sebagai media refleksi, produksi dan reproduksi indentitas atau jati diri individu, masyarakat dan bahkan sebuah bangsa. Dalam konteks inilah pekerjaan menulis puisi, prosa, dan esei, dihayati tidak semata sebagai kerja menciptakan identitas diri sebagai “sastrawan”, namun sebagai kerja layaknya seorang pengausa yang mendefinisikan ulang budaya dan peradabannya. Bedanya, jika penguasa mendefinisikan budaya dan peradaban dengan hukum dan teknologi politik yang dimilikinya, sastrawan mendefinisikan ulang kebudayaan dan peradabannya dengan gagasan dan bahasa yang diciptakannnya. Bahwa akan seperti apa wajah peradaban yang kemudian tercipta, hal itu tergantung pada visi (politik) estetika dari masing-masing sastrawan.   

Kedua, sastra bukan hanya berupa teks puisi, prosa, esei, dan novel. Sastra juga berkaitan dengan bagaimana karya-karya sastra tersebut didistribusikan dan dikonkretkan dalam realitas sosial. Sastra “tradisional” seperti mocopat, singir, dan pantun, menggunakan mekanisme ritual dan festival sekaligus dalam rangka mengkokretkan dirinya dalam masyrakat, dan didistribusikan hampir di semua institusi-instirusi tradisional mulai keluarga, agama, adat, kerajaan dan kerja ekonomi. Maka hampir di semua ritul dan festival yang berkaitan dengan kelahiran, pendidikan anak, perkawinan, ibadah, kematian, masa tanam dan panen, datangnya musibah, dibacakan puisi-puisi, entah dalam bentuk doa, tembang, maupun mantra. Dengan cara itulah sastra menjadi faktor yang mengikat individu-individu ke dalam suatu masyarakat, mulai lahir sampai mati, sebagai suatu identitas.

Sastra Indonesia modern juga memiliki mekanisme yang tak kalah canggihnya, mulai publikasi di media massa, penerbitan buku, pembacaan puisi pada hari-hari penting keagamaan dan kenegaraan (misalnya setiap Mulid Nabi, 17 Agustus, hari Chairil Anwar, dst.), temu sastrawan dan komunitas sastra di bagai tempat dan kesempatan. Namun sastra modern belum menggunakan ritual dan festival yang berkaitan dengan institusi ekonomi, keluarga, agama, kendati ia memiliki institusi yang “berhubungan dengan dirinya sendiri” bernama “fakultas sastra” di perguruan tinggi dan mekanisme sosialisasi yang sedikit “lebih luas dari lingkungannya sendiri” bernama “mata pelajaran sastra” di sekolah-sekolah.           

Untuk memperkuat posisi sosialnya, individu-individu yang terlibat dalam Sastra Indoesia modern perlu mencoba berbagai mekanisme lain untuk menanamkan, bukan sekedar menyosilisasikan, sastra ke dalam masyarakat. Kemungkinan itu bisa dilakukan dengan membuat kegiatan-kegiatan eksperimental yang membuat sastra menarik bagi kelompok-kelompok sosial di luar sastra seperti musikalisasi puisi, atau bisa dilakukan dengan mengaitkan sastra dengan kegiatan-kegiatan dalam institusi-instirusi modern seperti perusahaan, birokrasi pemerintahan dan kelompok-kelompok profesi, atau bisa juga dengan memasuki institusi-institusi tradisional seperti agama, adat, dan keluarga. Tentu, hal itu akan sulit terjadi manakala tema yang diolah dalam sastra Indonesia modern tidak berkaitan dengan nilai dan agenda dari institusi-institusi tersebut serta persoalan-persoalan kontekstual yang menyertainya.         

Sekilas pembacaan sosiologis terhadap sastra Indonesia seperti di atas pada dasarnya tidak berhenti pada pengamatan terhadap institusi, nilai dan praktiknya seperti di atas, namun juga berkaitan dengan persoalan yang menurut hemat saya lebih mendasar, yaitu tentang bagaimana sastra memiliki potensi untuk menjaga kejatuhan manusia yang lebih dalam di hadapan arus besar kapitalisme yang terus menguasai sejarah.

Kapitalisme menguasai sejarah manusia dengan mengubah orientasi waktu dan ruang sosio-kultural kita berdasarkan logika produksi, distribusi dan akumulasi, yang melaluinya nilai-nilai diubah menjadi komoditas, dan waktu kita diorientasikan menuju kemajuan dalam bentuk akumulasi kekayaan tanpa batas. Konsekwensinya, ruang dan waktu kita yang semula tunduk pada pola siklis sesuai acuan budaya dalam kelompok lokal sosial-budaya tertentu ditenggelamkan dan diubah ke dalam waktu ekonomi yang bersifat progresif-ekonomistik. Singkatnya, kapitalisme bekerja dengan menunggangi dan kemudian mengubah pola semiosis dalam lokalitas-lokalitas budaya kita, sehingga dengan cara itu kapitalisme dapat menempatkan dirinya sebagai super-kulur dan meta sejarah: ia berada di atas realitas kita, di depan sejarah masa kini kita, dimana masyarakat yang belum terkapitalisasi kemudian dianggap sebagai masyarakat, dalam istilah Ismail Fajrie Alatas, berada pada “ruang tunggu sejarah”, atau dalam istilah para teknokrat, ”masysrakat yang tertinggal”.             

Modernitas, nama yang disandang dalam sastra (modern) Indonesia, juga memiliki logika yang hampir serupa, dimana sastra-sastra lokal dianggap sebagai “masa lalu tradisionalnya” sebelum ia bermetamorfosa menjadi “sastra modern”. Sastra Indonesia seakan merupakan “metasastra” atau “supersastra” yang berada di atas, dan melampaui, sastra-sastra daerah. Menjadi sastrawan dalam sastra Indonesia seakan lebih “maju” dan “modern” dibanding sastrawan “tradisional”. Sebuah posisi dominatif yang rumit, mengingat di satu sisi sastra diposisikan sebagai medium yang mampu menyelamatkan manusia dari berbagai persoalan sosial yang menyandera manusia, namun di sisi lain ia berada pada posisi ruang dan waktu dari agen yang menyebabkan persoalan tersebut, yaitu kapitalisme dan modernitas.

Salah satu jalan untuk menjaga kejatuan lebih dalam manusia di hadapan kapialisme yang menguasai ruang sosial dan waktu sejarah kita, adalah dengan mengangkat persoalan-persoalan lokal dengan persepsi-perspsi lokal dalam konteks modernitas sastra Indonesia. Menghadirkan narasi-narasi lokal beserta persepsi ruang dan waktunya, lengkap dengan tatan dunia dan struktur semiotiknya, adalah salah satu contohnya. Dalam koteks Indonesia, lokalitas-lokaltas budaya tersebut telah membentuk jaringan budaya sedemikian lamanya, yang dapat dihadirkan dan diaktifkan kembali dalam sastra, dan ditempatkan dalam konteks persoalan-persoalan kekinian kita. Novel-novel sejarah Pramoedya Ananta Toer dan YB Mangunwijaya, kisah-kisah lokal AA Navis dan Ahmad Tohari, cerita-cerita sosial Kutowijojo, puisi-puisi sosial dan sejarah WS Rendra, adalah beberapa contohnya di masa lalu.      

Dengan cara itulah arus waktu progresif kapitalisme, dan posisi modernitas sastra Indonesia yang dominatif, perlahan-lakan diringkus ke dalam lokalitas-lokalitas budaya yang ia narasikan, sehingga konsepsinya tentang ruang dan waktu, dan posisinya sebagai seper-kultur dan meta-sejarah, dapat dibelokkan dan diturunkan kembali mengikuti irama waktu-sejarah-budaya dari lokalitas-lokalitas tersebut. Jika, cara kerja sastra tersebut dikerjakan para sastrawan dalam lokalitas-lokalitas yang tersebar di berbagai daerah di Indoesia ini, maka kekinian modern kita justru akan menjadi sejarah yang tertunda dari sejarah masa lalu kita, atau setidaknya keduanya berdiri dalam momen kesadaran yang sama melalui sastra sebagai jembatan semiotiknya.    

Karena itulah, sebagaimana telah saya sebutkan di atas, mekanisme sosialisasi dan pengkonkretan sastra Indonesia modern dalam realitas sosial perlu menggunakan mekanisme-mekanisme yang digunakan baik oleh ritual dan festival sastra Indonesia modern, namun juga oleh sastra-sastra tradisional, yaitu melalui festival dan terutama ritual, karena dalam festival dan ritual tradisional itulah sejarah bekerja dalam waktu siklikal dan bukan waktu progresif, yang transendensinya merujuk pada kehidupan abadi setelah kematian dan bukan pada akumulasi kekayaan tanpa batas sebagaimana pola kerja kapitalisme.  

Silaturahmi para sastrawan dari berbagai komunitas sastra bukan semata arena kontestasi dan pertukaran “benda-benda modern” bernama puisi, namun sebuah peristiwa silaturahmi dimana sastra Indonesia berani mempertanyakan watak dan posisi modernitasnya yang hegemonik, sebuah peristiwa silaturahmi dimana sastra Indonesia membuka pintu dan jendela sosialnya untuk berdialog dengan rumah-rumah masyarakat, budaya, dan pengetahuan lain di luar kelompoknya, dan sebuah peristiwa untuk menunda kematian sejarah manusia Indonesia di tangan karya sastra modernnya sendiri. Hasilnya, bukan untuk jatuh ke dalam tradisionalitas masa lalu dan modernitas masa depan, bukan pula dalam pluralitas sosial, budaya, dan gagasan sebagimana posmodernisme, melainkan untuk membentuk sebuah sastra yang terus dalam situasi menjadi, dan setiap kategori yang disematkan kepadanya belum tentu relevan karena ditelan oleh proses waktu-sejarah yang plural dan saling bercakap-cakap satu salama lain, melalui kehangatan dan kedalaman semiosis para sastrawannya.      
    
Depok, 5 Desember 2011


Tubuh Matahari

tubuh matahari di matamu kuning langsat tetiba hadir di rumahku tanpa salam pun pesan kau terus menyediakan angan bagi pertapa yang kensunyi...