Kamis, 27 November 2014

LIRBOYO, KAIFAL HALL?

Album Sajak-sajak A. Mustofa Bisri
(Koleksi Perpustakaan Mini Langit Kendal)

LIRBOYO, KAIFAL HALL?

Lirboyo, masihkan tebu-tebu berderet manis sepanjang jalan
menyambut langkah gamang santri anyar menuju gerbangmu?
ataukah seperti di mana-mana telah digantikan
bangunan-bangunan bergaya spanyolan dan pabrik-pabrik yang angkuh?
Lirboyo, masihkah mercusuar-mercusuar petromaks sepanjang bambu
setia menunggu para santri bersaharul-layaali?
ataukah tentunya neon-neon benderang kebiruan yang berjaga kini
seperti bola-bola lampu menggantikan teplok-teplok gotaan?
Lirboyo, masihkah beberapa santri menghafal i`lal di tengah rerumpun tebu
dan senandung matan-matan alfiyah dan imriti membuat merdu?
ataukah seperti di mana-mana telah digantikan lagu-lagu melayu
lewat transistor-transistor bawaan teknologi cangkih masa kini?
Lirboyo, masihkan perdebatan pendalaman dalam halqah-halqoh musyawarah
menghidupkan malam-malamu penuh semangat dan gairah
ataukah seperti di mana-mana diskusi-diskusi sarat istilah tanpa kelanjutan dinilai lebih bergengsi dan bergaya?

KH. A. Mustofa Bisri / Gus Mus
(Ket. Photo saya ambil dari ttps://www.facebook.com/tuanMalam) 

Lirboyo, masihkah santri-santri bersama melakukan shalat setiap waktu
memburu derajat-derajat ganjaran yang berlipat duapuluhjutuh?
ataukah seperti di mana-mana semua orang seperti tak punya waktu
memburu saat-saat kesendirian untuk diri sendiri?
Lirboyo, masihkah penghuni-penghunimu percaya pada percikan
sawab-berkah mbah Manaf, mbah Marzuqi, mbah Mahruz rakhimakumullah?
ataukah seperti di mana-mana itu tidak mempunyai arti apa-apa
kecuali bagi dikenang sesekali dalam upacara haul yang gegap gempita
Lirboyo, masihkah senggotmu terasa berat bagi penimba?
ataukah justru lebih berat lagi?
Lirboyo, kaifal hall?
Lirboyo, bagaimana kabar Gus War, Gus Idris, Gus Imam, Gus Maksum?
Lirboyo, di mana-mana kini tersebat mbah Manah-mbah Manaf
di mana-mana kini tersebar mbah Marzuqi-mbah Marzuqi
di mana-mana kini tersebar mbah Mahruz-mbah Mahruz
merekalah yang meski – dalam ukuran yang lebih kecil –
ketika di sini mampu mengalahkan senggotmu
Lirboyo, bagaimana di sini?
Lirboyo, aku rindu kau.

1409

(c) Gus Mus 

---
Puisi karya Gus Mus ini saya tulis kembali dari buku Album Sajak-sajak A. Mustofa Bisri, 
halaman 556 - 557

Selasa, 21 Oktober 2014

DETIK-DETIK KEMATIAN SOEKARNO

Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970. Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut.... Tak kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.


Soekarno
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.

Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.

Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa, dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.

Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu

Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.

“Pak, Pak, ini Ega…”
(Senyap)

Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.

Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.

Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.

Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia koma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.

Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

“Hatta.., kau di sini..?”

Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

“Ya, bagaimana keadaanmu, No ?”

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.

Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.

Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.

Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.

“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.

Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.

Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.

Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.

Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.

Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi.

Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka.

Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.

Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.

Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.

Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.

Kini telah tiada lagi manusia yang bisa membuat dunia terdiam dengan perkataannya, tidak ada lagi singa yang sangat ganas. Betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami Soekarno. Terima kasih wahai Bung Karno karena telah membuat rakyat indonesia dapat terbebas dari penjajahan yang amat pedih. Jasamu tak akan pernah dilupakan. Dan terima kasih Allah karena engkau telah menciptakan manusia terhebat di negara kami. Selamat jalan wahai Singa Mimbar.

Silahkan Klik "SUKA" dan "BAGIKAN", Jika dinilai baik & bermanfaat bagi sahabat semua. Semoga menjadi kebaikan Kita semua.


Copas : http://inheritpoppunk.blogspot.com/2013/03/detik-detik-kematian-soekarno.html

Senin, 20 Oktober 2014

"DI BAWAH KEHENDAK RAKYAT DAN KONSTITUSI”

Pidato Perdana Presiden ke-7, Ir. H. Joko Widodo

JAKARTA, 20 OKTOBER 2014
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam Damai Sejahtera untuk kita semua,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya
Yang saya hormati, para Pimpinan dan seluruh anggota MPR,
Yang saya hormati, Wakil Presiden Republik Indonesia,
Yang saya hormati, Bapak Prof Dr. BJ Habibie, Presiden Republik Indonesia ke 3, Ibu Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia ke-5, Bapak Try Sutrisno, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-6, Bapak Hamzah Haz, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-9, Yang saya hormati, Bapak Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia ke-6, Bapak Prof Dr Boediono, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-11, Yang saya hormati, ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid,
Yang saya hormati, rekan dan sahabat baik saya, Bapak Prabowo Subianto. Yang saya hormati Bapak Hatta Rajasa
Yang saya hormati, para pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara,
Yang saya hormati dan saya muliakan, kepala negara dan pemerintahan serta utusan khusus dari negara-negara sahabat,
Para tamu, undangan yang saya hormati,
Saudara-saudara sebangsa, setanah air,
Hadirin yang saya muliakan,
Baru saja kami mengucapkan sumpah, sumpah itu memiliki makna spritual yang dalam, yang menegaskan komitmen untuk bekerja keras mencapai kehendak kita bersama sebagai bangsa yang besar.
Kini saatnya, kita menyatukan hati dan tangan. Kini saatnya, bersama-sama melanjutkan ujian sejarah berikutnya yang maha berat, yakni mencapai dan mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Saya yakin tugas sejarah yang berat itu akan bisa kita pikul bersama dengan persatuan, gotong royong dan kerja keras. Persatuan dan gotong royong adalah syarat bagi kita untuk menjadi bangsa besar. Kita tidak akan pernah besar jika terjebak dalam keterbelahan dan keterpecahan. Dan, kita tidak pernah betul-betul merdeka tanpa kerja keras.
Pemerintahan yang saya pimpin akan bekerja untuk memastikan setiap rakyat di seluruh pelosok tanah air, merasakan kehadiran pelayanan pemerintahan. Saya juga mengajak seluruh lembaga Negara untuk bekerja dengan semangat yang sama dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing. Saya yakin, Negara ini akan semakin kuat dan berwibawa jika semua lembaga negara bekerja memanggul mandat yang telah diberikan oleh Konstitusi.
Kepada para nelayan, buruh, petani, pedagang bakso, pedagang asongan, sopir, akademisi, guru, TNI, POLRI, pengusaha dan kalangan profesional, saya menyerukan untuk bekerja keras, bahu membahu, bergotong rotong. Inilah, momen sejarah bagi kita semua untuk bergerak bersama untuk bekerja…bekerja… dan bekerja.
Kita juga ingin hadir di antara bangsa-bangsa dengan kehormatan, dengan martabat, dengan harga diri. Kita ingin menjadi bangsa yang bisa menyusun peradabannya sendiri. Bangsa besar yang kreatif yang bisa ikut menyumbangkan keluhuran bagi peradaban global.
Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk.
Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe, di Laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,
Kerja besar membangun bangsa tidak mungkin dilakukan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden ataupun jajaran Pemerintahan yang saya pimpin, tetapi membutuhkan topangan kekuatan kolektif yang merupakan kesatuan seluruh bangsa.
Lima tahun ke depan menjadi momentum pertaruhan kita sebagai bangsa merdeka. Oleh sebab itu, kerja, kerja, dan kerja adalah yang utama. Saya yakin, dengan kerja keras dan gotong royong, kita akan akan mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air…
Atas nama rakyat dan pemerintah Indonesia, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Yang Mulia kepala negara dan pemerintahan serta utusan khusus dari negara-negara sahabat.
Saya ingin menegaskan, di bawah pemerintahan saya, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sebagai negara kepulauan, dan sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, akan terus menjalankan politik luar negeri bebas-aktif, yang diabdikan untuk kepentingan nasional, dan ikut serta dalam menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pada kesempatan yang bersejarah ini, perkenankan saya, atas nama pribadi, atas nama Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dan atas nama bangsa Indonesia menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Prof. Dr. Boediono yang telah memimpin penyelenggaraan pemerintahan selama lima tahun terakhir.
Hadirian yang saya muliakan,
Mengakhiri pidato ini, saya mengajak saudara-saudara sebangsa dan setanah air untuk mengingat satu hal yang pernah disampaikan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Bung Karno, bahwa untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai, kita harus memiliki jiwa cakrawarti samudera; jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang menggulung.
Sebagai nahkoda yang dipercaya oleh rakyat, saya mengajak semua warga bangsa untuk naik ke atas kapal Republik Indonesia dan berlayar bersama menuju Indonesia Raya. Kita akan kembangkan layar yang kuat. Kita akan hadapi semua badai dan gelombang samudera dengan kekuatan kita sendiri. Saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan Konstitusi. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa merestui upaya kita bersama.
Merdeka !!!
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Semoga Tuhan memberkati,
Om Shanti Shanti Shanti Om,
Namo Buddhaya
Photo Credit : Ferdinan/Detik.Com
Copas :  https://www.facebook.com/IrHJokoWidodo/photos/a.331546466997473.1073741829.329509440534509/402600049892114/?type=1&theater

Selasa, 14 Oktober 2014

Demi Peuyeum dan Secangkir Kopi

Bung Karno
Bung Karno tahun 20-an? Susah dan susah. Sekalipun ia pemimpin pergerakan, sekalipun ia “tukang insinyur”, kantong kempes adalah sebuah keseharian baginya. Yang istimewa adalah, ia tidak pernah berkeberatan membantu sahabat. Tak heran bila sahabat-sahabatnya begitu respek kepadanya. Bahkan dalam bahasa yang lebay, bisalah dikatakan, Sukarno begitu disayang oleh teman-temannya.
Salah satu sahabat yang Sukarno ingat, salah satunya adalah Sutoto. Ia kawan kuliah Bung Karno. Dalam kesusahan, Sutoto sering mengajak Bung Karno sekadar minum kopi dan makan peuyeum di kedai murahan, di tengah kota Bandung. Mungkin karena saking seringnya ditraktir, maka suatu hati Bung Karno pun menjanjikan Sutoto traktiran serupa.
Suatu sore, Sutoto datang hendak berunding dengan sang pemimpin pergerakan, ya Sukarno! Untuk mencapai kediaman Sukarno-Inggit, Sutoto harus mendayung sepeda setengah jam lamanya. Lumayan juga. Apalagi setelah menyandarkan sepeda, ia tampak terengah-engah dan mengatakan bahwa ia mendayun sepeda dengan cepat. Ia pun tampak kehausan dan, tentu saja perlu asupan sesuatu pengganti energi mengayuh sepeda tiga puluh menit.
Apa lacur, Bung Karno menyambut Sutoto dengan, “Ma’af To, aku tidak dapat bertindak sebagai tuan rumah untukmu. Aku tidak punya uang….”
Sutoto pun mendesah, “Ahhh… Bung selalu tidak punya uang….”
Keduanya pun duduk terdiam menikmati kebekuan suasana. Sutoto dengan kepayahannya. Bung Karno dengan… entahlah, pikiran yang begitu berkecamuk tentang pergerakan menuju Indonesia merdeka.
Tiba-tiba melitas seorang wartawan naik sepeda dengan tergopoh.
“Heee… mau kemana?” Sukarno berteriak.
“Cari tulisan untuk koranku,” si wartawan pun menjawab sambil berteriak.
“Aku akan buatkan untukmu.”
“Berapa?” tanya si wartawan sambil mengendorkan genjotan pedal sepedanya.
“Sepuluh rupiah.”
Mendengar jawaban Bung Karno, si wartawan tidak menjawab tetapi seperti hendak mempercepat jalan sepedanya. “Oke… lima rupiah!” Tidak juga ada jawaban. Bung Karno pun menurunkan tawarannya, “Dua rupiah bagaimana? Akan kubuatkan tulisan, pendeknya cukuplah untuk mentraktir kopi dan peuyeum! Setuju?”
Si wartawan pun berhenti, dan memutar arah sepedanya, mendekat ke rumah Bung Karno-Inggit. Sementara si wartawan ngobrol dengan Sutoto di serambi rumah, Bung Karno pun menulis seluruh tajuk yang ia janjikan. Dalam waktu lima belas menit, ia sudah menyelsaikan tulisan 1.000 kata untuk si wartawan.
Bagi Bung Karno, tidak ada yang sulit untuk membuat tulisan. Terlalu banyak gagasan dan pikiran serta persoalan politik yang bisa ia tuliskan dengan tanpa mencoret atau mengganti satu kata pun.
Dan, dengan seluruh bayarannya yang dua rupiah itu, Bung Karno pun membawa Sutoto dan Inggit minum kopi serta menikmati peuyeum di sore hari yang cerah. (roso daras)


---
Sumber Copas : https://rosodaras.wordpress.com/2010/12/02/demi-peuyeum-dan-secangkir-kopi/

Rabu, 01 Oktober 2014

NgopiSastra #1 PSK (Pelataran Sastra Kaliwungu)

Undangan Terbuka,
NgopiSastra #1 PSK (Pelataran Sastra Kaliwungu) | Selasa, 7 Oktober 2014 | 19.45 - 22.00 WIB | di Rumah Puisi Langit Kendal, Jl. KH. Thohari Brangsong Kab. Kendal (Barat Alfamart Brangsong) ke Selatan 200 m | Baca dan Bedah Puisi Lukluk Anjaina | Pembedah : Zulfa Fahmy(Magician, Dosen Unnes) | Paper : Setia Naka Andrian | Moderator :Padhang ELalank | Musik : OGSB Lestra (Lembaga Sastra Rakyat) | Diskusi Sastra : Kelana Siwi Kristyaningtyas | Free Coffe | Info :www.pelataransastrakaliwungu.blogspot.com | CP. 0856 4140 2250 |Bahrul Ulum A. Malik ~ Anda Datang, Kami Senang ;-)


Saya dan Keluarga Menghadiri Selamatan 70 Tahun Gus Mus

Sabtu, 6 September 2014 bagiku adalah Hari Istimewa, sebab, sudah beberapa minggu kuagendakan sebuah moment yang bagiku istimewa. Ya, pada tanggal tersebut saya dan keluarga datang pada acara "Selamatan 70 Tahun Gus Mus" di Balairung Universitas PGRI Semarang, acara yang diprakarsai Seniman Timur Sinar Suprabana, dkk.

Sore hari pukul 17.00 kami tiba di lokasi, suasana sepi, ya maklum kami datang terlambat pada agenda I/ Pameran Lukisan Gus Mus, saya tengok kanan-kiri dan bertanya pada Satpam : "Apakah acara pamerannya sudah selesai?" benar, ternyata pameran sudah selesai kurang lebih pukul15.00, namun Alhamdulillah ruang pameran masih terbuka, sehingga kami masih bisa masuk dan menikmati lukisan karya Gus Mus.

Ketika kami masuk ruangan, bigron besar bergambar wajah Gus Mus dan kalimat "Selamatan 70 Tahun Gus Mus" : Kemanusiaan, Kebangsaan, Pluralisme, langsung menyambut setiap hadirin yang datang. Kursi-kursi telah tertata rapi, di kanan-kiri dinding ruangan dipenuhi Lukisan karya Gus Mus, dan didepan waktu itu kami menyaksikan grup Orchestra sedang berlatih.

---
BERSAMBUNG

Jumat, 12 September 2014

Syair-Syair Imam al-Syafi'i

Imam al-Syafi'i Rahimahullah sudah sangat dikenal sebagai Imam Madzhab Fiqh Syafi'iyyah. Banyak karya yang lahir dari buah penanya, atau pun karya-karya mengenainya. Namun, sebagaimana para Imam Madzhab lainnya, satu sisi dari kompetensi yang dimiliki oleh beliau adalah menulis karya sastra, khususnya puisi, yang bercita rasa sastra tinggi. Hal inilah yang akan dicoba diulas secara singkat dalam tulisan ini.

Biografi Singkat
      Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
     Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat 
sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.          
      Ayahnya beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia hidup dari keluarga tidak punya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
      Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
      Imam Syafi'i dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya. Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman. Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.


Etos Pengembaraan Mencari Ilmu
     Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal al-Quran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat al-Quran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
     Setelah menyelesaikan menghafal al-Quran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Hal itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal al-Quran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
       Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Ia adalah pencari ilmu yang sungguh-sungguh, zuhud, penyabar, dan atau beretos belajar yang tinggi. Simaklah syair yang disusunnya terkait pegembaraannya untuk mencari ilmu:


Merantaulah

Orang pandai dan beradab tak kan diam di kampung halaman 
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang 
Pergilah 'kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan teman 
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. 

Aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diam tertahan 
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak dia 'kan keruh menggenang 
Singa tak kan pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang 
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak kan kena sasaran 
Jika saja matahari di orbitnya tak bergerak dan terus diam 
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang 
Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman 
Orang-orang tak kan menunggu saat munculnya datang 

Biji emas bagai tanah biasa sebelum digali dari tambang 
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan 
Kayu gahru tak ubahnya kayu biasa di dalam hutan 
Jika dibawa ke kota berubah mahal jadi incaran hartawan

      Takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid al-Zanji (mufti kota Mekkah), dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu. Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin 'Abd al-Rahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ (yang masih terhitung paman jauhnya), Sufyan bin ‘Uyainah (ahli hadits Mekkah), Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, bahasa (lughah), dan lainnya. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
       Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar al-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamahkepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz al-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
    Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun al-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
         Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahl al-Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
         Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikaptasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
     Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun al-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan (ahli fiqih Irak), beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun al-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
      Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahl al-Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abd al-Wahhab al-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
       Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat al-Quran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Al-Risalah.
      Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ashhab al-Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ashhab al-Haditsmerasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahl al-Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahl al-Ra’yi. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja. Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau kembali ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
       Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara, Imam Syafi‘i adalah orang yang memiliki kapasitas dan otoritas keilmuan yang integral. Karenanya, ia menulis Fiqh al-Akbar, sebagai upaya menjelaskan konteks integrasi antara kalam dan syari'at. Beliau sangat paham bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj al-salaf al-shalih–yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan rasio dan logika sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian mereka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab rasional-murni dari mutakallim dalam memahami Islam.
         Puncak dari "fitnah" para mutakallim Istana, terutama Mu'tazilah, adalah provokasi mereka yang membuat Khalifah menggelar Yaum al-Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham al-Quran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya al-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana. Kerelaannya menerima takdir Allah mendorongnya untuk menjemput takdir Allah lainnya. Terkait dengan hal ini, ia mengekspresikannya dalam syair-syairnya, seperti:


Rela Pada Ketentuan Allah

Biarkanlah hari-hari berbuat semaunya 
Berlapang dada-lah jika takdir menimpa 

Jangan berkeluh-kesah atas musibah di malam hari 
Tiada musibah yang kekal di muka bumi 
Jadilah laki-laki tegar dalam menghadapi tragedi 
Berlakulah pema’af selalu menepati janji 

Jika banyak aibmu di mata manusia 
Sedang engkau berharap menutupinya 
Bersembunyilah engkau di balik derma 
Dengan derma aibmu tertutup semua 

Jangan pernah terlihat lemah di depan musuhmu 
Sungguh malapetaka jika musuh menertawaimu 

Jangan berharap dari orang kikir kemurahan 
Di neraka tiada air bagi orang yang kehausan 
Rizkimu tidak berkurang karena kerja wajar perlahan 
Berlelah-lelah tidak menambah rizki seseorang 

Tiada kesedihan yang kekal tidak pula kebahagiaan 
Tiada kesulitan yang abadi tidak pula kemudahan 

Jika engkau berhati puas dan mudah menerima 
Sungguh, antara engkau dan raja dunia tiada beda 

Barangsiapa kematian datang menjemputnya 
Langit dan bumi tak kan mampu melindunginya 

Bumi Allah begitu lapang luas membentang 
Namun seakan sempit kala ajal menjelang 

Biarkanlah hari-hari ingkar janji setiap saat 
Kematian tak mungkin dicegah dengan obat

Sisi Kepenyairan Imam Syafi'i
        Seperti dijelaskan di atas, Imam Syafi'i juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya.
TIPUAN PALSU

Aku melihat tipu muslihat dunia,
tatkala ia bertengger di atas kepala-kepala manusia,
dan membincangkan manusia-manusia yang terkena tipunya.
Bagi mereka, Orang sepertiku tampak amat tak berharga.
Aku disamakan olehnya, dengan anak kecil yang sedang bermain di jalanan.

MENCINTAI AKHIRAT

Duhai orang yang senang memeluk dunia fana,
Yang tak kenal pagi dan sore dalam mencari dunia,
Hendaklah engkau tinggalkan pelukan mesramu,
kepada duniamu itu.
Karena kelak engkau akan berpelukan,
Dengan bidadari di surga.
Apabila engkau harap menjadi penghuni surga abadi,
maka hindarilah jalan menuju api neraka.

RENDAH HATI

Bagaimana mungkin kita dapat sampai ke Sa’ad,
Sementara di sekitarnya terdapat gunung-gunung
dan tebing-tebing.Padahal aku tak beralas kaki,
dan tak berkendaraan.
Tanganku pun kosong dan,
jalan ke sana amat mengerikan.

TENTANG CINTA

Engkau durhaka kepada Allah,
dan sekaligus menaruh cinta kepada-Nya.
Ini adalah suatu kemustahilan.
Apabila benar engkau mencintai-Nya,
pastilah engkau taati semua perintah-Nya.
Sesungguhnya orang menaruh cinta,
Tentulah bersedia mentaati perintah orang yang dicintainya.
Dia telah kirimkan nikmat-Nya kepadamu,
setiap saat dan tak ada rasa syukur,
yang engkau panjatkan kepada-Nya.

KEPUASAN (QANA’AH)

Aku melihat bahwa kepuasan itu pangkal kekayaan,
lalu kupegang erat-erat ujungnya.
Aku ingin menjadi orang kaya tanpa harta,
dan memerintah bak seorang raja.

ANUGRAH ALLAH

Aku melihat-Mu pada saat penciptaanku,
yang penuh dengan anugerah.
Engkaulah sumber satu-satunya,
pada saat penciptaanku.
Hidarkan aku dari anugerah yang buruk.
Karena sepotong kehidupan telah cukup bagiku,
hingga saat Engkau mematikanku.


إن الفقـيه هو الفقـيه بفعـله * ليس الفقـيه بنطـقه و مقاله 
وكذا الرئيس هو الرئيس بخلقه * ليس الرئيس بقومه رجاله 
وكذا الغـني هو الغـني بحاله * و ليس الغـني بملـكه و بماله

Sesungguhnya orang yang faqih itu adalah dinilai dengan perbuatannya 
Bukanlah orang yang faqih itu dinilai dengan ucapan dan perkataannya 
Begitu juga pemimpin itu adalah dinilai dengan kemuliaan akhlaknya 
Bukanlah pemimpin itu dinilai dengan banyaknya pengikut dan pembela-pembelanya
Begitu juga orang yang kaya itu adalah dinilai dengan keadaan (kedermawanan)nya Bukanlah orang yang kaya itu dinilai dengan banyaknya harta bendanya
[Diwan al-Imam al-Syafi'i, hal. 97]


فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.
Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan
juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. 
[Diwan al-Imam al-Syafi'i, hal. 107)




lmu yang paling mulia
Semua ilmu selain Al-Qur’an hanya hal yang menyibukkan
Kecuali ilmu hadits dan fiqih agama
Ilmu yang benar adalah yang terdapat kata “Haddatsana”
Selain itu hanyalah tipu daya syaitan

Cara memperoleh Ilmu
Saudaraku …
Engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan 6 perkara
Aku akan menyebutkan perinciannya dengan jelas
Cerdas, cita-cita, kerja keras, dana, berguru dan waktu yang lama


Si Bodoh dan Si Alim
Kedudukan orang bodoh dalam pandangan yang alim
Sama seperti kedudukan orang alim di mata orang bodoh
Si bodoh enggan mendekati si alim
Yang alim lebih enggan mendekati si bodoh
Bila keburukan mendominasi kehidupan si bodoh
Dia akan lebih parah dalam menyelisihi si alim

Belajar sebelum menjadi pemimpin
Belajarlah agama sebelum engkau diangkat menjadi pemimpin
Dan bila engkau telah diangkat menjadi pemimpin, maka engkau tidak sempat belajar

Seorang tergantung ilmu dan takwanya 
Tabahlah…
Atas pedihnya kekerasan pengajar
Karena kekokohan ilmu itu berada dalam kesulitan
Barangsiapa tidak mencicipi pahitnya belajar
Dia akan menelan kehinaan bodoh selama hidup
Barangsiapa waktu mudanya tidak sempat belajar
Maka bacakan takbir 4 kali karena kematiannya
Demi Allah
Hidup seorang pemuda itu tergantung ilmu dan takwa
Bila keudanya tidak ada, keberadaanya tidak dianggap

Kelezatan Ilmu
Begadangku untuk menelaah ilmu
terasa lebih nikmat daripada bertemu penyanyi dan keharuman leher mereka
Sungguh, goresan penaku di atas kertas
lebih nikmat daripada bercinta bersama para pecinta
Tabuhan rebana para gadis, masih kalah nikmat
Dengan kenikmatan aku memukul bukuku untuk membersihkan debunya
Kegundahanku untuk memecahkan masalah dalam belajar
Jauh lebih nikmat daripada para pemabuk khamr

Ilmuku selalu bersamaku 
Ilmuku senantiasa bersamaku
Di manapun aku berada selalu memberi manfaat
Hatiku adalah tempatnya, bukan dalam lemariku
Bila aku berada di rumah, pasti ilmuku di sana bersamaku
Ketika aku berada di pasar, diapun ada di pasar




---
Keterangan, tulisan ini saya copas dari : 
http://sastra-muslim.blogspot.com/2011/10/syair-syair-imam-al-syafii.html

Rabu, 25 Juni 2014

CERMIN (tidak mau dihina, maka jangan menghina)

Kalau kita ingin melihat wajah kita sendiri, biasanya kita bersendiri dengan kaca ajaib yang lazim kita sebut cermin. Dari cermin itu kita bisa melihat dengan jelas apa saja yang ada di wajah kita; baik yang menyenankan atau yang tidak. Bahkan, mungkin yang membuat kita malu.
Dengan cermin, kita mematut-matut diri. Barangkali karena itulah hampir tak ada rumah yang tidak menyimpan cermin. Sebab, hampir semua orang ingin dirinya patut.
(Saleh) tanpa bercermin kita tak bisa melihat sendiri noda yang ada pada diri kita. Dan, tanpa melihat sendiri noda itu, bagaimana kita tergerak menghilangkannya. Di dalam islam, ada dawuh: “Almuminu miraatul mumin” (Orang mukmin adalah cermin mukmin yang lain). “Inna ahadakum miraatu akhiihi” (Sesungguhnya salah seorang di antara kamu adalah cermin saudaranya. Artinya, masing-masing orang mukmin bisa, atau seharusnya, menjadi cermin mukmin yang lain.
Seorang mukmin dapat menunjukkan noda saudaranya, agar saudaranya itu bisa menghilangkannya.
Dalam pengertian yang lain, untuk mengetahui noda dan aib kita, kita bisa bercermin pada saudara kita.
Umumnya kita hanya-dan biasanya lebih suka-melihat noda dan aib orang lain. Sering justru karena kesibukan kita melihat aib-aib orang lain, kita tidak sempat melihat aib-aib kita sendiri.
Di bulan suci Ramadhan, di mana kita bisa tenang bertafakur memikirkan diri sendiri-dan inilah sesungguhnya yang penting-, kadang - kadang kita masih juga kesulitan melihat kekurangan-kekurangan kita.
Satu dan lain hal, karena kita enggan memikirkan kekurangan-kekurangan diri sendiri, bercermin kepada orang lain kiranya sangat perlu kita lakukan.
Seperti kita ketahui, melihat orang lain adalah lebih mudah dan lebih jelas ketimbang melihat diri sendiri. Marilah kita lihat orang lain, kita lihat aib-aib dan kekurangan-kekurangannya, lalu kita rasakan respons diri kita sendiri terhadap aib-aib dan kekurangan-kekurangan orang lain itu.
Misalnya, kita melihat kawan kita yang sikapnya kasar dan tak berperasaan, atau kawan kita yang suka membanggakan diri dan merendahkan orang lain; atau kawan kita yang suka menang-menangan, ingin menang sendiri, atau kawan kita yang bersikap atau berperangai buruk lainnya.
Kira-kira bagaimana tanggapan dalam diri kita terhadap sikap kawan kita yang seperti itu? Kita mungkin merasa jengkel, muak atau minimal tidak suka. Kemudian, marilah kita andaikan kawan kita itu kita dan kita adalah mereka. Artinya kita yang mempunyai sikap dan perilaku tidak terpuji itu dan mereka adalah orang yang melihat.
Apakah kira-kira mereka juga jengkel, muak atau minimal tidak suka melihat sikap dan perilaku kita? Kalau jawabnya tidak, pastilah salah satu dari kita atau mereka ada yang tidak normal. Normalnya, adalah sama. Sebagaimana kita tidak suka melihat perangai buruk orang lain, orang lain pun pasti tidak suka melihat perangai buruk kita. Demikian pula sebaliknya, apabila kita senang melihat perangai orang yang menyenangkan, orang pun pasti akan senang apabila melihat perangai kita menyenangkan.
Namun, kadang-kadang kita seperti tak mempunyai waktu untuk sekedar bercermin, melihat diri kita sendiri pada orang lain seperti itu. Hal ini mungkin disebabkan oleh ego kita yang keterlaluan dan menganggap bahwa yang penting hanya diri kita sendiri, hingga melihat orang lain, apalagi merasakan perasaannya, kita anggap tidak penting.
Orang lain hanya kita anggap figuran dan kitalah bintang utama. Ada sebuah hadis shahih yang sering orang khilaf mengartikannya.
Hadis sahih itu berbunyi Laa yu’minu  ahadukum hatta yuhibba liakhiihi maa yuhibbu linafsihi. Banyak yang khilaf mengartikan hadis ini dengan: “Belum benar-benar beriman salah seorang di antara kamu sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya”. Pemaknaan ini kelihatannya benar, tetapi ada yang terlewatkan dalam mencermati redaksi hadis tersebut. Di sana, redaksinya yuhibba liakhiihi (mencintai untuk saudaranyap), bukan yuhibba akhaahu (mencintai saudaranya).
Jadi, semestinya diartikan “Belum benar-benar beriman salah seorang di antara kamu sampai dia senang atau menyukai untuk saudaranya apa yang dia senang atau menyukai untuk dirinya sendiri.” Artinya, apabila kita senang atau suka mendapat kenikmatan, misalnya, kita harus “bila ingin jadi sebenar-benar mukmin” juga senang atau suka bila saudara mendapat kenikmatan.
Apabila kita senang diperlakukan dengan baik, kita pun harus senang bila saudara kita diperlakukan dengan baik. Apabila kita senang jika tidak diganggu, kita pun harus senang jika saudara kita tidak diganggu. Demikian seterusnya. Bukanlah mukmin yang baik orang yang senang dihormati tapi tak mau menghormati saudaranya dan tidak senang bila saudaranya dihormati. Bila pengertiannya dibalik. Bukanlah mukmin yang baik orang yang tidak suka dihina, tapi suka menghina saudaranya dan suka bila saudaranya dihina.
Demikianlah kita bisa memperpanjang misal bagi ajaran hadis mulia itu dengan melihat cermin. Saudara kita adalah cermin kita.

Sumber :
Membuka Pintu Langit | K.H. A. Mustofa Bisri | Penerbit Buku Kompas | November 2007 | Halaman 6 - 9.

Tubuh Matahari

tubuh matahari di matamu kuning langsat tetiba hadir di rumahku tanpa salam pun pesan kau terus menyediakan angan bagi pertapa yang kensunyi...