Selasa, 28 Januari 2014

Pengantar Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh

Saya bukan sastrawan, kritikus atau pengamat sastra. Kebetulan saja saya suka dengan sastra. Meski sastra kadang membingungkan dan menjadi polemik antar sastrawan (dan yang mengaku sastrawan) yang berseberangan. Memang wajar dalam berdemokrasi berlainan pendapat, ada yang mendukung, ada pula yang menolak, bahkan menghujat dan membuat petisi.

Lepas dari itu semua, saya hanya ingin belajar sastra (bukan untuk menjadi sastrawan). Entah itu karya sastra yang banyak digemari orang karena mutu karyanya -- ataupun suka karya sastra karena penulis/pengarangnya. Maupun karya sastra yang dicincang oleh oknum sastra.

Dan berikut saya copypaste "Pengantar Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh" yang bersumber dari http://inspirasi.co/forum/post/3448/pengantar_buku_33_tokoh_sastra_paling_berpengaruh, yang membuat dunia persilatan sastra heboh. Bukan karena saya mendukung atau ikut-ikutan menolak buku tersebut. Melainkan karena saya ingin belajar memahami apa itu sastra dan siapa sastrawan.

Salam hormatku untuk para sastrawan dan karya-karyanya,
: Bahrul Ulum A. Malik


Pengantar Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh
(Oleh: Tim 8)
Cover Buku : 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh

Mencari Tokoh bagi Sastra

Negara lahir dari tangan penyair.
Jaya dan runtuhnya di tangan para politisi.
Mohammad Iqbal

Jika kekuasaan membawa orang pada arogansi.
Puisi mengingatkan kita akan keterbatasan manusia.
Jika kekuasaan mempersempit kepedulian kita,
puisi mengingatkan mereka
akan kaya dan beragamnya eksistensi manusia.
Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya.
John F. Kennedy

Peranan kesusastraan dalam kehidupan masyarakat tidak jarang dipertanyakan, terutama saat sebuah negara sibuk dengan pembangunan ekonomi. Hal ini terjadi juga di Indonesia. Di satu sisi, para penguasa kerap merasa terganggu oleh sikap sastrawan tentang pembangunan dan beberapa kebijakan politik menyangkut aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Mereka cenderung menganggap sastrawan hanya bisa mengkritik kebijakan dan kerja keras pemerintah, mengecam para politikus busuk, dan menghujat para pejabat korup. Di lain sisi, masyarakat umum memandang bahwa peranan sastra dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat luas tidak begitu jelas, atau bahkan menganggap sastra cuma berisi lamunan dan kata-kata indah mendayu.

Tapi John F. Kennedy, presiden Amerika Serikat yang legendaris, mengemukakan bahwa jika kekuasaan membawa orang pada arogansi, puisi mengingatkan kita akan keterbatasan manusia. Jika kekuasaan mempersempit kepedulian kita, puisi mengingatkan manusia akan kaya dan beragamnya eksistensi manusia. Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya. Puisi dan sastra pada umumnya di mata Kennedy adalah bagian penting dari kehidupan berbangsa sebagai pengimbang —bahkan anti toksin— bagi penguasa dan kekuasaan.

Dalam pada itu, Mohammad Iqbal, penyair dan filsuf terkenal asal Pakistan itu, mengemukakan bahwa negara lahir justru dari tangan para penyair. Untuk bangsa-bangsa pada umumnya, ungkapan tersebut benar secara metaforis. Namun, bagi bangsa-bangsa terjajah, khususnya Indonesia, pernyataan Iqbal bahkan benar secara faktual. Kelahiran sastra Indonesia tidak dapat dipisahkan dari gejolak sosial-politik pada masa-masa berseminya gagasan tentang lahirnya negara Indonesia di awal abad ke-20.

Konsep Indonesia sebagai sebuah negara-baru dicanangkan lewat Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Bukankah Sumpah Pemuda —bertanah air dan berbangsa satu, yaitu Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia— adalah deklarasi politik dalam bentuk puisi? Bukankah rumusan itu pula yang menggelindingkan kesadaran bersama dalam kesatuan tanah air Indonesia; kesatuan bangsa Indonesia meski terdiri dari berbagai etnis, budaya, dan agama; dan kesadaran untuk menjunjung Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan? Ya, Sumpah Pemuda —yang dikonsep oleh Muhammad Yamin— adalah puisi. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara-baru sesungguhnya dideklarasikan lewat puisi.

Tentu saja perumusan konsep itu tidak datang seketika. Ada proses pemikiran yang terjadi sebelumnya. Dan proses itu bermula dari sebuah puisi yang berjudul “Tanah Air” (1920) karya Muhammad Yamin, di mana sang penyair mengemukakan konsepnya tentang tanah air yang mula-mula bersifat kedaerahan, hingga akhirnya sampai pada konsep Indonesia sebagai tanah air dalam puisi “Indonesia Tumpah Darahku” (1928), yang ditulis Yamin dua hari sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan. Hal itu menegaskan bahwa kesusastraan lahir dari kecamuk pemikiran, bukan dari bahasa berbunga-bunga, bukan pula dari sebuah khayalan yang tidak berpijak pada realitas. Perjalanan sastra Indonesia beriringan dengan perkembangan pemikiran tentang sebuah bangsa bernama Indonesia.

Sekali lagi, Indonesia lahir dari sebuah puisi yang ditulis secara bersama-sama oleh kaum muda Indonesia, yakni Sumpah Pemuda. Tentu pada waktu itu, semua pernyataan dalam Sumpah Pemuda merupakan metafora, setidaknya masih imajinatif dan bukan kenyataan. Namun, dengan rumusan metaforis dan imajinatif itulah seluruh bangsa diajak untuk bersama-sama mengimajinasikan kemungkinan lahirnya sebuah bangsa dan tanah air baru: Indonesia. Berdasar pada Sumpah Pemuda itulah para sastrawan dari berbagai wilayah Nusantara menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia serta mangacu dan menggemakan satu tanah air dan bangsa yang sama: Indonesia. Lahirlah kemudian negara yang kita tinggali bersama ini. Setelah lahir dari puisi Sumpah Pemuda dan kemudian tumbuh lewat pewacanaan sastra, nasib bangsa Indonesia selanjutnya memang berada di tangan para politisi.

Di masa-masa awal nasionalisme Indonesia, hubungan politik dengan sastra sedemikian dekatnya. Saat Indonesia berada di bawah kolonialisme dan —sebagai akibatnya— pengaruh kerajaan dan/atau kesultanan di Indonesia mulai menurun, masyarakat tampak kehilangan acuan nilai. Pada saat itulah para sastrawan memainkan peranan baru, menawarkan nilai-nilai baru bagi kehidupan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, antara lain menimbang ketegangan antara modernitas dan tradisi, menggali dan mendedahkan kegelisahan dan impian manusia Indonesia. Sejurus dengan itu, para sastrawan menarasikan lahirnya bangsa dan tanah air baru yang merdeka dari kolonialisme, dan hal itu mendorong terbitnya fajar nasionalisme Indonesia. Dalam konteks inilah, khususnya dari segi ide, hubungan para pendiri bangsa dengan para sastrawan sedemikian dekatnya, hubungan mana dibangun setidaknya atas dua hal penting. Pertama, para pendiri bangsa dan para sastrawan adalah kaum intelektual yang tentu saja berbasis pada keberaksaraan (literacy). Kedua, mereka diikat oleh kegelisahan dan impian yang sama, yakni lepas dari penjajahan.

Baik pemerintah kolonial Belanda maupun Jepang memahami dengan baik potensi dan peranan strategis kesusastraan bagi sebuah bangsa. Mereka juga menyadari bahaya kesusastraan bagi kelangsungan penjajahan. Itu sebabnya dengan sadar dan terprogram pemerintah kolonial Belanda mendirikan Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian dikenal dengan nama Balai Pustaka, sementara pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayan). Keduanya bertugas untuk mengelola sekaligus mengawasi kehidupan sastra dan para sastrawan serta kesenian pada umumnya. Dengan ketat mereka mencoba menggunakan sastra sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai mereka kepada masyarakat jajahan demi kepentingan dan kelangsungan kolonialisme di Indonesia. Lebih dari itu, lewat Keimin Bunka Shidoso Jepang bahkan berupaya menyebarkan kesadaran akan kesatuan Asia Timur Raya di kalangan masyarakat Nusantara agar mendukung peperangan mereka melawan sekutu. Para sastrawan dan seniman pun dihimpun dan diberi fasilitas untuk mewujudkan agenda Jepang tersebut.

Namun, sastra dalam dirinya sendiri memiliki potensi memerdekakan manusia. Baik di bawah Balai Pustaka maupun Keimin Bunka Shidoso, boleh jadi para sastrawan berkarya sesuai dengan agenda yang dicanangkan kolonial. Namun pada kenyataannya, karya sastra ibarat permata dengan banyak faset. Karya sastra membuka beragam pintu dan jendela bagi kemungkinan-kemungkinan kesadaran yang tak sepenuhnya bisa dikontrol. Maka, meski ditekan dan diagendakan dengan ketat baik oleh Belanda maupun Jepang, karya sastra Indonesia mampu meloloskan diri dari berbagai tekanan, sekaligus membuka pintu dan jendela bagi kesadaran pembaca untuk membayangkan kemungkinan lain di luar kenyataan sebagai bangsa terjajah. Paling tidak untuk sebagian, adanya kesadaran akan kemungkinan-kemungkinan lain itulah yang membawa Indonesia pada semangat kemerdekaan. Demikianlah karya-karya Marah Rusli, Chairil Anwar, Idrus, Mochtar Lubis, Utuy Tatang Sontani, dan Pramoedya Ananta Toer —untuk menyebut sebagian— menyuarakan gairah revolusi kemerdekaan, sekaligus perasaan cemas, takut, dan tertekan bangsa Indonesia di zaman penjajahan, khususnya di zaman revolusi. Dikatakan dengan cara lain, kesusastraan Indonesia dengan cerdas meloloskan diri dari berbagai kontrol kolonial dan bahkan melakukan perlawanan terhadap kolonial itu sendiri, demi mewujudkan impian negara baru yang merdeka.

Peranan sastra(wan) dalam menumbuhkan perasaan cinta tanah air dan mengobarkan semangat perjuangan, baik di awal munculnya nasionalisme Indonesia maupun di masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, merupakan fakta yang sangat jelas. Sejak mula kesusastraan memainkan peranan penting dalam sejarah kebangsaan. Peranan ini, baik secara individual maupun kolektif melalui berbagai organisasi seni yang secara langsung mendukung perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, disambut baik dan dihargai sedemikian rupa khususnya oleh kaum intelektual dan tokoh-tokoh pergerakan. Dengan demikian, peranan kesusastraan bagi kehidupan masyarakat Indonesia dalam rentang sejarahnya yang panjang ditempatkan secara proporsional sesuai dengan arti dan kedudukan kesusastraan itu sendiri. Arti penting sastra khususnya secara politik masih disadari sampai penghujung Orde Lama. Tidaklah mengherankan kalau posisi sastra(wan) dan seni(man) ketika itu diperebutkan oleh kubu-kubu yang berseteru secara politik dan ideologi.

Pada masa kini, posisi kesusastraan sebenarnya tidak begitu berbeda dengan peranan yang telah dimainkannya baik di masa-masa terbitnya fajar nasionalisme maupun di masa pergerakan dan revolusi Indonesia. Namun, terdapat kecenderungan besar di Indonesia dewasa ini untuk mengabaikan hasil renungan, imajinasi, pemikiran, kiprah, dan peranan sastra(wan) Indonesia dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya secara umum. Selepas hiruk-pikuk sastra dan politik di penghujung Orde Lama, perlahan tapi pasti masyarakat menjauh dan/atau dijauhkan dari sastra. Kesusastraan tidak lagi diapresiasi secara wajar, meskipun ternyata tetap ditakuti dan diwaspadai secara politik. Penangkapan dan pemenjaraan sastrawan dan pelarangan buku sastra tetap terjadi. Dalam pada itu, masyarakat Indonesia yang belum beranjak dari kelisanan ke keberaksaraan dengan cepat memasuki era kelisanan kedua. Buku bacaan serta tradisi membaca, khususnya sastra, tidak dijadikan bagian penting dan mendasar dalam pendidikan Indonesia. Bahkan, tanpa banyak perdebatan, sastra telah digusur habis dalam Kurikulum 2013, yang merupakan antiklimaks dari penjauhan sastra dari masyarakat dan sebaliknya.

Dilihat dari banyak segi, Indonesia cenderung durhaka pada puisi sebagai ibu kandung yang telah melahirkannya, yakni Sumpah Pemuda. Menjauhkan sastra dari masyarakat Indonesia dan/atau sebaliknya adalah memisahkan ibu kandung dari anak kandungnya. Demikian juga sebaliknya, menjauhkan masyarakat dari sastra adalah memisahkan anak kandung dari ibu kandungnya. Jika kedurhakaan tersebut dibiarkan, apalagi terus berlanjut, maka dapat dipastikan bangsa Indonesia akan mengalami nasib sebagaimana lazimnya anak-anak durhaka.

Jika kepada masyarakat Indonesia belakangan ini ditanyakan siapakah tokoh Indonesia, bukan tidak mungkin yang segera terbayang adalah serombongan selebriti dan para politisi bermasalah. Mau bagaimana lagi, merekalah yang terus-menerus hadir dan tampil mengisi ruang pemberitaan media cetak dan terutama media elektronik. Para politisi, pejabat, dan aparat bermasalah mendapatkan porsi pemberitaan yang sangat besar. Demikian juga para pelawak, pemain sinetron, penyanyi pop maupun dangdut merupakan tokoh-tokoh utama dalam pemberitaan media massa Indonesia belakangan ini. Nyaris seluruh sepak terjang mereka diberitakan secara rinci setiap hari. Kisah asmara mereka (mulai dari diisukan pacaran, sedang pacaran, diisukan mau menikah, menikah, bertengkar, cerai, hampir rujuk, rujuk, berebut anak dan sebagainya) dengan rinci dan detail diberitakan, ditayangkan, bahkan dikomentari dan dibahas tuntas. Media massa menjadikan para selebriti ini tokoh-tokoh utama dalam pemberitaan, tak peduli mereka berprestasi atau tidak.

Jarang sekali bangsa Indonesia mendapat pemberitaan dan berkenalan dengan sosok-sosok yang benar-benar berprestasi dan mengabdikan dirinya di dunia ilmu pengetahuan, pemikiran, penelitian, sosial, budaya, dan kesusastraan. Para pemikir, intelektual, peneliti, penemu, dan sastrawan yang hebat tidaklah dikenal karena mereka tidak diberitakan. Demikian juga politisi, pejabat, dan aparat yang tidak bermasalah, yakni mereka yang jujur, bersih dan berprestasi, tidak jadi berita —dengan sedikit sekali pengecualian.

Sampai batas tertentu, fenomena yang sangat menonjol tersebut menunjukkan kecenderungan budaya dewasa ini untuk mengabaikan hasil-hasil kreatif di bidang pemikiran, renungan, imajinasi, dan berbagai sumbangan budaya dalam kehidupan masyarakat, termasuk kesusastraan. Padahal, sebagaimana telah dikemukakan, ketika negara dilanda kesusahan, sastra tampil memainkan peranan. Di masa penjajahan, saat kerajaan-kerajaan lama kehilangan pamornya, sastrawan tampil ke depan merenungkan visi dan arah serta menarasikan lahirnya bangsa. Setelah kemerdekaan, saat kehidupan bernegara goyah dan nyaris hilang arah, kembali para sastrawan bersuara lewat karya mereka hingga di antara mereka harus masuk penjara. Dan sastra terus ditulis, disingkirkan maupun dibaca. Para sastrawan tetap bersikeras menjaga nurani bangsa, meski sebagian besar sastrawan kini disingkirkan terutama oleh pasar dan industri ke ruang-ruang sunyi.

Kecenderungan budaya tersebut tentu saja berbahaya. Di antara bahaya itu adalah kemungkinan terjadinya kemandengan intelektual dan kecupetan imajinasi yang pada gilirannya akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kehidupan budaya yang kerdil. Dalam konteks inilah bisa difahami bahwa di zaman kerajaan atau kesultanan yang maju dan beradab, sastrawan atau pujangga ditempatkan dalam posisi penting dan bermartabat, misalnya sebagai penasehat raja/sultan atau dijadikan guru spiritual. Para pujangga itulah yang melahirkan karya, baik mengenai kiprah dan keagungan raja untuk melegitimasi kebesaran dan kekuasaan raja maupun sebagai sumber inspirasi atau landasan etik masyarakat. Itu sebabnya para pujangga berada dalam pengayoman raja. Seluruh anggota keluarga pujangga tidak hanya mendapat perlakuan istimewa, tetapi juga dijamin kehidupan dan keselamatannya oleh kerajaan. Mereka diposisikan sebagai penasehat raja di bidang pendidikan, kebudayaan, dan agama.  Makin kecil peranan pujangga pada suatu kerajaan, makin mudah kerajaan itu menjadi lemah, goyah, dan dikalahkan penjajah. Makin kecil peranan pujangga, makin kecil pula peluang suatu bangsa untuk memperluas cakrawala imajinasinya dan menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dalam kehidupan.

***
Peluncuran Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh
Sumber Copas : http://img.bisnis.com/posts/2014/01/04/195410/peluncuruan-buku-33-tokoh-sastra-indonesia-paling-berpengaruh.jpg

Didasarkan pada kegelisahan atas makin terpinggirkannya posisi dan peranan sastra yang sama sekali tidak patut bagi bangsa yang hendak beradab, maka kami 8 orang yang terdiri dari sastrawan, kritikus, akademisi, dan pengamat sastra —karena itu disebut Tim 8— mengambil prakarsa untuk memilih 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Demikianlah kami mendiskusikan dan kemudian memilih 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Sebagian dari mereka adalah nama-nama yang sangat dikenal, yaitu nama-nama yang berada di jalan raya sastra Indonesia; sebagian yang lain tidak begitu dikenal dan bahkan diabaikan dan dianggap berada di pinggir jalan raya sastra Indonesia itu sendiri namun sesungguhnya memiliki pengaruh atau dampak atas kehidupan masyarakat luas. Oleh sebab itu, pemilihan 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh ini tidak hanya menimbang nama-nama yang populer dan sering disebut-sebut dalam sastra Indonesia atau pemberitaan, melainkan dengan sungguh-sungguh memperhatikan juga nama-nama yang cenderung diabaikan atau dipinggirkan namun sesungguhnya memainkan peranan penting dalam kehidupan sastra dan budaya. Dengan peranan penting yang mereka mainkan, tentu saja mereka berhak dan patut diperhitungkan dan ditempatkan di jalan raya sastra Indonesia.

Yang dimaksud dengan tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh adalah orang yang melalui karya sastranya, gagasannya, pemikirannya, kiprahnya, dan tindakannya memberikan pengaruh dan dampak cukup luas khususnya pada dinamika kehidupan sastra, dan umumnya pada dinamika kehidupan intelektual, sosial, politik, dan kebudayaan Indonesia yang lebih luas. Di samping itu, tokoh sastra Indonesia di sini adalah warga Indonesia. Dari segi waktu, tokoh sastra yang dipertimbangkan adalah tokoh yang berkiprah dalam rentang masa sejak awal abad ke-20, yakni saat fajar kesadaran kebangsaan dan konsep nasionalisme Indonesia mulai menyingsing, sampai sekarang. Dengan demikian, tokoh-tokoh sastra Indonesia yang berasal dari negara lain tidak dipertimbangkan meskipun mereka memberikan pengaruh dan dampak besar dalam kehidupan sastra Indonesia, seperti Prof. Dr. A. Teeuw. Demikian juga sastrawan besar di masa sebelum abad ke-20 seperti Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Ranggawarsita, atau Haji Hasan Mustapa, misalnya, pun tidak dipertimbangkan.

Dengan menyebut tokoh sastra, maka ia bukan hanya sastrawan, melainkan mencakup pribadi-pribadi yang dengan satu dan lain cara memberikan pengaruh pada kehidupan sastra atau kebudayaan Indonesia secara umum. Peranan sastra dalam kebudayaan tidak hanya dimainkan oleh sastrawan, melainkan juga oleh akademisi, pemikir, kritikus, penggiat sastra, dan lain-lain. Meskipun peranan sastra dalam kebudayaan dimainkan terutama oleh karya sastra dan sastrawannya, bagaimanapun sektor-sektor lain di dunia sastra memainkan peranan yang tak kalah penting, seperti pemikiran, kritik, penerbitan, gerakan, lembaga, komunitas, berbagai kegiatan, dan lain sebagainya. Dalam konteks itu, sangat mungkin seorang sastrawan sebenarnya kurang berhasil —atau mungkin biasa saja— dalam capaian estetika karyanya, tetapi justru memicu kehebohan yang luas, menimbulkan kontroversi, mendorong munculnya semacam gerakan, dan menarik sejumlah pengikut, lantaran tindakan dan kiprahnya dalam membangun kesusastraan Indonesia. Demikian pula seorang sastrawan mungkin secara sadar mencoba melakukan pemberontakan terhadap konvensi sastra dan belakangan terbukti berhasil, sehingga corak karyanya menjadi konvensi baru dan membentuk (semacam) paradigma baru dalam perkembangan kesusastraan selanjutnya. Yang pertama-tama dipertimbangkan dari tokoh semacam ini bukan capaian estetikanya, melainkan dampak atau pengaruhnya yang luas.

Hal lain yang juga mendapat perhatian adalah situasi dan kondisi zaman, yakni bila, di mana, dalam hal apa, dan di kalangan mana tokoh sastra memainkan peranan dan memberikan dampak. Tentu saja tokoh sastra memberikan pengaruh pertama-tama dan terutama pada zamannya, dalam konteks situasi dan kondisi zamannya pula. Tingkat pengaruh dan dampak tokoh-tokoh tentu pula berbeda satu sama lain, sama halnya dengan seberapa jauh dan lama pengaruh masing-masing tokoh bagi zaman kemudian. Namun seberapa besar pengaruh seorang tokoh sastra bagaimanapun akan lebih mudah dilihat dan difahami dari situasi dan kondisi zamannya. Pengaruh seorang tokoh sastra bagi zaman dan generasi kemudian tentu saja menunjukkan daya pengaruh tokoh itu sendiri, sebagai pengaruh lanjutan dari pengaruh besar yang telah dimainkannya terutama pada zamannya sendiri. Dirumuskan dengan cara lain, yang menjadi perhatian utama di sini adalah seberapa besar pengaruh tokoh sastra pada zamannya sebagai respons tokoh itu sendiri atas situasi dan kondisi aktual zamannya. Adapun seberapa lama pengaruhnya dipertimbangkan lebih sebagai bukti bahwa sang tokoh tetap berpengaruh hingga masa-masa kemudian.

Jadi, siapakah tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh?

Melacak rekam jejak tokoh-tokoh sastra, menelusuri masa silam jauh ke belakang, dan menelisik alur perjalanan sejarah sastra Indonesia, menjadi langkah yang mutlak perlu. Dari situ jelas bahwa sastra Indonesia tidaklah datang begitu saja dari ruang kosong. Sastra Indonesia tidak diturunkan malaikat dari langit. Terjadi pengaruh timbal-balik antara sastra dan masyarakat yang melingkarinya. Ada tarik-menarik dan saling mempengaruhi antara sastrawan dan tokoh sastra sebagai anggota masyarakat di satu pihak dengan lingkungan yang mengelilinginya, kebudayaan yang melahirkannya, dan masyarakat yang menerima atau menolaknya di lain pihak. Di situ pengaruh tokoh sastra bagi masyarakat akan terlihat relatif mudah.  

Saat satu nama disebut, tentu ada dasar pemikirannya, ada alasan yang mendasarinya, dan ada pula pertimbangan atas peranan dan kiprah yang dimainkannya. Dalam kenyataannya, penyebutan satu nama memunculkan pula nama-nama lain yang kontribusinya tidak dapat diabaikan dalam peta perjalanan sastra Indonesia. Jadilah jawaban atas pertanyaan “siapakah tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh?” memunculkan begitu banyak nama. Tidak terhindarkan, tidak dapat diabaikan, bahkan tidak terbantahkan: nama-nama itu memang telah berbuat dan melakukan sesuatu yang fenomenal. Maka, setelah melakukan penelusuran lebih jauh ke belakang, melacak rekam jejak setiap tokoh sastra, dan menelisik alur perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, kemunculan nama-nama itu didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, karya dan/atau pemikiran sang tokoh. Yang di maksud di sini adalah karya sastra (puisi, cerpen, novel, dan drama) dan pemikiran sang tokoh, baik pemikiran itu dikemukakan dalam karya sastra  atau esai dan sejenisnya. Pertimbangan atas hal ini dapat dirumuskan dengan sejumlah pertanyaan: seberapa penting karya dan/atau pemikirannya? Apakah karya dan/atau pemikirannya memberikan inspirasi bagi sastrawan berikutnya? Apakah karya dan/atau pemikirannya berdampak luas, berskala nasional, sehingga melahirkan semacam gerakan, baik yang berkaitan dengan sastra, maupun dengan kehidupan sosial-budaya yang lebih luas? Apakah karya dan/atau pemikirannya membuka jalan bagi munculnya tema, gaya, dan pengucapan baru yang jejaknya dapat dikembalikan pada tokoh tersebut? Apakah karya dan/atau pemikirannya menjadi semacam monumen, sehingga sulit bagi siapa pun untuk menghilangkannya dalam peta perjalanan sastra Indonesia? Apakah karya dan/atau pemikirannya menjadi semacam pemicu lahirnya pemikiran tentang kebudayaan, kemasyarakatan, bahkan kebangsaan?

Kedua, kiprah dan kegiatan sang tokoh. Yang dimaksud di sini adalah berbagai tindakan dan kegiatan sang tokoh di bidang sastra dan budaya secara lebih luas. Pertimbangan atas hal ini dapat dirumuskan dengan sejumlah bertanyaan: seberapa penting kiprah dan kegiatannya? Apakah kiprah dan kegiatannya berdampak luas, sehingga mempengaruhi perkembangan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia? Apakah kiprah dan kegiatannya melahirkan semacam gerakan yang sama atau berbeda, yang berdampak pada kehidupan sastra dan kehidupan sosial-budaya? Apakah kiprah dan peranannya mendapat dukungan luas, sehingga membentuk semacam aliran atau komunitas, atau sebaliknya memunculkan penolakan luas, sehingga menciptakan semacam perlawanan yang cukup besar?

Ketiga, muara dari dua pertimbangan tersebut —yang dapat diperinci melalui sejumlah pertanyaan di atas— adalah sejauhmana pengaruh sang tokoh khususnya bagi kehidupan sastra, dan umumnya bagi kehidupan sosial, budaya, dan politik di tanah air. Melihat pengaruh sejumlah tokoh, segera tampak bahwa lingkup dan skala pengaruh mereka berbeda-beda, dari pengaruh yang relatif terbatas hingga pengaruh yang sangat luas. Beberapa tokoh berpengaruh sangat besar dan dia menempati posisi penting secara budaya di kawasan atau wilayah tertentu. Mereka memberikan dampak yang dalam bagi kehidupan masyarakat lokalnya. Sementara, beberapa tokoh lain memberikan dampak melampaui lingkup masyarakat lokal tertentu. Bahkan dapat dikatakan bahwa dalam berbagai cara dan bentuk mereka berpengaruh secara nasional.

Dalam memilih 33 tokoh paling berpengaruh, lingkup pengaruh merupakan bahan pertimbangan penting. Makin besar dan luas pengaruh seorang tokoh makin besar peluangnya untuk dipilih. Dalam kaitan ini, tidak tertutup kemungkinan pengaruh seorang tokoh pada awalnya mungkin bersifat lokal, namun tanpa tindakannya secara langsung lagi pengaruh tersebut dapat saja terus bergerak sehingga belakangan melampaui lingkup lokalnya. Jika ini terjadi, dia dipertimbangkan serius untuk dipilih sebagai tokoh sastra paling berpengaruh.

Khususnya berkaitan dengan karya sastra, yang dipertimbangkan adalah sastra “serius”, yang di sini dibedakan dengan sastra populer. Sastra populer sengaja tidak dipertimbangkan, sebab —di samping karena perbedaan “nilai” antara kedunya— sampai batas tertentu sastra populer bisa dipastikan berpengaruh terutama karena dukungan sangat besar dari dunia industri, media, dan pasar. Demikianlah misalnya novel-novel Marga T (misalnya Badai Pasti Berlalu), Eddy D. Iskandar (misalnya Gita Cinta dari SMA), Ike Soepomo (misalnya Kabut Sutra Ungu), Habiburrahman El Shirazy (misalnya Ayat-ayat Cinta), dan Andrea Hirata (misalnya Laskar Pelangi) tidak dipertimbangkan, meskipun sangat berpengaruh dan meledak di pasar.  

Dengan dasar pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan di atas, akhirnya Tim 8 menetapkan kriteria pemilihan 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Tokoh sastra dinilai layak masuk dalam 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh apabila sekurang-kurangnya memenuhi satu dari empat kriteria berikut:

  • Pengaruhnya berskala nasional, tidak hanya lokal. Mungkin saja pada awalnya pengaruh sang tokoh bergerak dalam komunitas yang relatif terbatas dan bersifat lokal. Tetapi dalam perkembangannya kemudian gerakan itu terus menggelinding, sehingga pengaruhnya menyebar ke berbagai daerah dan mencapai wilayah yang begitu luas.
  • Pengaruhnya relatif berkesinambungan, dalam arti tidak menjadi kehebohan temporal atau sezaman belaka. Pengaruhnya berdampak tidak hanya pada zamannya, tetapi terus bergerak melampaui zamannya, bahkan hingga beberapa dekade sesudahnya.
  • Dia menempati posisi kunci, penting dan menentukan. Dalam masyarakat atau komunitas sastra, kadangkala peranan seorang sastrawan atau tokoh sastra tidak begitu menonjol, lantaran pada masanya ada sastrawan atau tokoh lain yang lebih berwibawa. Tetapi, jika tokoh sastra yang pada mulanya kalah pamor tadi melakukan sesuatu, membuat gerakan kecil atau besar, dan kemudian ternyata menjadi wacana penting, dan terus berlanjut dan berkesinambungan, maka namanya layak dimasukkan ke dalam senarai tokoh ini.
  • Dia menempati posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru yang kemudian melahirkan pengikut, penggerak, atau bahkan penentang, dan akhirnya menjadi semacam konvensi, fenomena, dan paradigma baru dalam kesusastraan Indonesia.

Meskipun berbagai pertimbangan dan kriteria sudah ditetapkan, tetaplah tidak mudah memilih 33 nama. Masalahnya adalah bahwa mungkin saja seorang sastrawan tak diragukan lagi kedudukan pentingnya dalam sastra Indonesia karena karya-karyanya sangat berhasil dan meyakinkan secara estetis. Namun kenyataannya tidak semua tokoh sastra yang karyanya mencapai tingkat estetis sangat mengesankan memenuhi kriteria yang kami tetapkan, khususnya menyangkut lingkup pengaruhnya. Ternyata beberapa tokoh sastra(wan) sangat mengesankan dari segi karya namun, dalam pandangan kami, pengaruh dan dampaknya relatif terbatas secara sosial dan budaya. Sebaliknya, beberapa tokoh lain tidak mengesankan dari segi karya, bahkan sama sekali bukan sastrawan,  namun dilihat dari lingkup pengaruhnya di bidang sastra membuat mereka menempati posisi penting bahkan tak terbantahkan sebagai tokoh sastra paling berpengaruh.

Dalam diskusi memilih 33 tokoh, dari kalangan tokoh sastra yang dipandang meyakinkan dan mengesankan dilihat dari karya sastra mereka muncullah nama-nama seperti Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan KH, Umar Kayam, Mangunwijaya, Wing Kardjo, Budi Darma, Danarto, Saini KM, D. Zawawi Imron, dan Ahmad Tohari. Dari kalangan tokoh sastra yang menonjol pengaruh dan dampaknya muncullah nama-nama seperti Utuy Tatang Sontani, Asrul Sani, A Mustofa Bisri, Ratna Sarumpaet, Rida K Liamsi, Fredie Arsi, Seno Gumira Ajidarma, dan Wiji Tukul. Namun dengan berbagai pertimbangan setelah diskusi sengit, akhirnya diputuskan mereka tidak masuk dalam senarai 33 tokoh sastra paling berpengaruh. Sebagaimana dapat diduga, diskusi memilih 33 tokoh sastra berjalan dengan penuh perdebatan, dinamika dan persilangan argumentasi, sehingga beberapa tokoh terpilih secara mulus nyaris tanpa diskusi, sebagian yang lain terpilih setelah melewati diskusi yang cukup alot, dan sebagian yang lain lagi terpilih berdasarkan prinsip mayoritas setelah diskusi dan perdebatan seru.

Sudah barang tentu siapapun anggota Tim 8 —memenuhi kriteria atau tidak—sama sekali tidak dipertimbangkan untuk dinilai dan dimasukkan dalam tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh ini.

Tim 8 sepakat untuk mengurut 33 tokoh sastra berdasarkan tahun dan/atau tanggal kelahiran masing-masing tokoh. Demikian juga urutan tulisan demi tulisan dalam buku ini. Dengan demikian, urutan mereka sama sekali tidak menunjukkan skala pengaruh setiap tokoh dan sejenisnya. Buku ini memang tidak bertujuan untuk menunjukkan bahwa pengaruh seorang tokoh sastra lebih besar dibanding pengaruh tokoh-tokoh lainnya. Yang pasti, dalam pandangan kami mereka adalah tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Inilah 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh pilihan Tim 8:

  • Kwee Tek Hoay (1886-1952)
  • Marah Roesli (1889-1968)
  • Muhammad Yamin (1903-1962)
  • HAMKA (1908-1981)
  • Armijn Pane (1908-1970)
  • Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994)
  • Achdiat Karta Mihardja (6 Maret 1911-2010)
  • Amir Hamzah (20 Maret 1911-1946)
  • Trisno Sumardjo (1916-1969)
  • H.B. Jassin (1917-2000)
  • Idrus (1921-1979)
  • Mochtar Lubis (7 Maret 1922-2004)
  • Chairil Anwar (26 Juli 1922-1949)
  • Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)
  • Iwan Simatupang (1928-1970)
  • Ajip Rosidi (31 Januari 1935)
  • Taufiq Ismail (25 Juni 1935)
  • Rendra (7 November 1935-2009)
  • Nh. Dini (1936)
  • Sapardi Djoko Damono (20 Maret 1940)
  • Arief Budiman (3 Januari 1941)
  • Arifin C. Noer (10 Maret 1941-1995)
  • Sutardji Calzoum Bachri (24 Juni 1941)
  • Goenawan Mohamad (29 Juli 1941)
  • Putu Wijaya (1944)
  • Remy Sylado (1945)
  • Abdul Hadi W.M. (1946)
  • Emha Ainun Nadjib (1953)
  • Afrizal Malna (1957)
  • Denny JA (4 Januari 1963)
  • Wowok Hesti Prabowo (16 April 1963)
  • Ayu Utami (1969)
  • Helvy Tiana Rosa (1970).

***


Demikianlah 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh dalam perjalanan sastra Indonesia. Setelah 33 tokoh disepakati dan diputuskan, tugas Tim 8 selanjutnya adalah menulis tentang tokoh-tokoh tersebut. Setiap anggota Tim 8 pun memilih tokoh yang akan mereka tulis. Kami sepakat bahwa penulisan setiap tokoh dilakukan tidak secara bersama-sama, melainkan oleh masing-masing anggota Tim 8. Itu sebabnya, nama penulis diterakan pada setiap tulisan, dan gaya tulisan dibiarkan sesuai dengan gaya penulis masing-masing. Dengan demikian, setiap tulisan tentang tokoh dalam buku ini pada dasarnya menjadi tanggung jawab pribadi penulisnya. Tapi bagaimanapun, secara umum buku ini merupakan satu kesatuan dan menjadi tanggung jawab bersama Tim 8. 

***
Jamal D. Rahman, Bahrul Ulum A. Malik, Maman S. Mahayana, dan Sawali Tuhusetya


Lalu, apa pentingnya nama-nama itu ditempatkan sebagai tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh? Apa pentingnya kegiatan dan buku semacam ini?

Pertama, pemilihan 33 tokoh sastra ini dilakukan dengan semangat membangun kebudayaan Indonesia yang lebih bermartabat. Sebagai produk budaya, kehidupan sastra tentu saja dibangun oleh tokoh-tokoh sastra yang juga hidup dalam lingkungan kebudayaan Indonesia. Oleh karenanya, berbagai kiprah tokoh sastra tidak bisa tidak harus ditempatkan sebagai bagian dari perjuangan untuk memajukan kebudayaan Indonesia itu sendiri, yakni untuk mencapai kebudayaan yang lebih bermartabat. Sejurus dengan itu, pemilihan 33 tokoh sastra ini kiranya memiliki arti penting dalam upaya menempatkan peranan sastra dalam memperjuangkan martabat kebudayaan Indonesia yang lebih tinggi.

Kedua, dalam hampir semua buku sejarah sastra Indonesia, sorotan utama kerap bertumpu pada data biografis pengarang berikut senarai karya-karyanya, dan kadang-kadang sedikit ulasan atas karyanya. Tidak sedikit mereka yang menulis beberapa puisi, lalu menerbitkannya sendiri dalam bentuk stensilan, fotokopian, atau cetakan atas biaya sendiri, masuk pula dalam buku-buku dimaksud. Begitu banyak nama yang tercantum di sana, tanpa uraian memadai tentang kiprah dan peranan sosial-budayanya. Sementara itu, dalam buku-buku leksikon sastra Indonesia, peristiwa-peristiwa penting hanya ditulis dalam satu-dua paragraf. Akibatnya, selain uraiannya terasa kering, ada hal penting yang terabaikan, yaitu konteks historis di mana tokoh sastra memainkan peranan sosial, politik, dan budayanya.

Berbeda dengan itu, pemilihan 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh ini menitikberatkan pada pengaruh dari kiprah, karya, dan gagasan yang dihasilkan tokoh sastra —sastrawan, kritikus, pemikir, ilmuwan, dan penggiat sastra. Dengan penitikberatan tersebut, tidak bisa tidak berbagai peristiwa di sekitar tokoh sastra digunakan sebagai landasan dan latar belakang, yang sebisa mungkin dapat melihat dan menjelaskan posisi sang tokoh, peranan yang dimaikannya, berikut pengaruh yang diberikannya. Di sinilah buku ini punya arti penting, yaitu dalam upaya menempatkan tokoh-tokoh sastra dalam peranan penting mereka bagi kehidupan budaya, sosial, politik, kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketiga, pemilihan 33 tokoh sastra ini mencoba menjawab pertanyaan atau keraguan masyarakat umum tentang peranan sastra dalam kehidupan. Secara agak khusus, ia juga mencoba meluruskan pandangan yang keliru bahwa kedudukan sastra hanyalah khayalan belaka, yang tak berkaitan dengan kehidupan konkret masyarakat. Semua tokoh yang dipilih di sini menunjukkan kiprah mereka —termasuk melalui karyanya— dalam kehidupan konkret. Dengan demikian, kegiatan ini memiliki arti penting untuk mengungkapkan fakta sejarah yang terabaikan, yakni bahwa sastra Indonesia memainkan peranan penting dalam sejarah, mulai zaman pergerakan sampai zaman modern kini.

Keempat, mengingat yang dipertimbangkan di sini adalah peristiwa atau fenomena yang berkaitan dengan sastra Indonesia, di mana tokoh-tokoh sastra memainkan peranan di dalamnya atau bahkan ditimbulkan oleh kiprah mereka, maka kegiatan ini memiliki arti penting khususnya untuk melengkapi data, fakta, peristiwa, dan fenomena kesejarahan sastra berikut fakta historisnya. Seperti terlihat dari semua tulisan dalam buku ini, dalam berbagai peristiwa dan fenomena sosial, budaya, politik, dan sejarah, sastra memainkan peranan penting yang tak bisa diabaikan. Dengan demikian, buku ini dapat pula digunakan untuk melengkapi bahan pembelajaran sastra di sekolah. Pelajaran sejarah sastra di sekolah yang selalu berkutat pada nama pengarang dan karya-karyanya, dapat dilengkapi dengan penjelasan mengenai peristiwa atau fenomena penting dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, yang untuk sebagian adalah juga perjalanan sejarah Indonesia itu sendiri.

Kelima, kebanyakan sastrawan, sarjana dan peminat sastra Indonesia tentu mengenal cukup baik nama-nama tokoh sastra —khususnya dari kalangan sastrawan— terdahulu atau yang sezaman dengan mereka. Tetapi, tidak sedikit dari kalangan sastrawan, sarjana dan peminat sastra Indonesia yang hanya tahu tokoh-tokoh sastra dan karya-karyanya, namun kurang mengetahui kiprah dan peranan sosial-budaya-politik mereka. Jika di kalangan sastrawan dan pemerhati sastra saja terjadi hal seperti itu, bagaimana pula di kalangan masyarakat umum yang cuma tahu sastra secara sayup-sayup. Dengan buku ini setidaknya kami berharap agar para sastrawan, sarjana sastra, peminat sastra, guru sastra, dan masyarakat pada umumnya, lebih mudah melihat peranan dan pengaruh tokoh-tokoh sastra dalam kehidupan luas.

Dalam konteks itu semua, buku ini dilengkapi dengan indeks, sehingga pada dasarnya dapat digunakan sebagai sumber informasi bersifat ensiklopedis mengenai sejarah sastra Indonesia sejak awal abad ke-20.

***

Kami menyadari, bukan tak mungkin akan muncul sejumlah kritik, keberatan, dan bahkan penolakan terhadap pilihan kami atas 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh ini. Kegiatan sejenis ini memang cenderung polemis dan memancing kontroversi. Apalagi bila pandangan seseorang atau sekelompok orang didasarkan atas sudut pandang, perspektif, pertimbangan, dan kriteria yang berbeda. Suara apa pun sebagai tanggapan terhadap pendapat Tim 8 ini kiranya akan menyuburkan diskusi dan polemik yang akan menyehatkan tradisi intelektual kita. Perbedaan pandangan jelas memiliki arti penting khususnya untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan kita, sekaligus untuk mendewasakan sikap kita dalam menghadapi perbedaan.

Bagaimanapun, kegiatan dan buku ini merupakan upaya menawarkan sesuatu yang baru. Bukankah dalam sejarah kesusastraan Indonesia hal semacam ini belum pernah ada? Jadi, kegiatan ini merupakan rintisan yang semoga saja dapat memberikan inspirasi bagi berbagai pihak untuk melakukan hal sejenis, baik di bidang sastra maupun bidang-bidang lain seperti teater, film, seni rupa, musik, tari, dll. Demikianlah setidaknya kami berharap. []

Cisarua, 3 Maret 2013

Tim 8
Ketua
Jamal D. Rahman

Anggota
Acep Zamzam Noor
Agus R. Sarjono                                         
Ahmad Gaus                                              
Berthold Damshäuser                             
Joni Ariadinata                            
Maman S. Mahayana                             
Nenden Lilis Aisyah

Minggu, 26 Januari 2014

Puisi Pagi: RAKYAT BOLEH JUJUR TAPI PENYAIR TIDAK BOLEH DUNGU

Peringatan Kepada Penyair Muda

Aku peringatkan kepada kalian, penyair muda...
Jangan kalian hujat negeri ini dengan puisi khayalan
Kebodohan kalian akan pasti merusak segalanya
Karena kalian penyair, dan ini bangsa dan negara kita
Puisi bukan sekadar menyusun kata-kata terindah
Lalu apa pun kalian tulis demi nama kepenyairan kalian

Ini bangsa besar bahkan sebelum kemerdekaan, sejak
kerajaan, raja dan para empu meninggalkan jejak sejarah

Kenapa tidak terus berakrobat hai, penyair muda...
Kalau itu mau kalian dalam memperlakukan kata
Karena kalian miskin ilmu dan alpa sejarah bangsa
Kepenyairan tak akan tertanggalkan oleh buta kemanusiaan
Tapi kalau mau membuka mata hanya satu kata: belajarlah!
Bacalah kitab-kitab dan sejarah yang mencatat darah

Ini negara terhormat setelah kemerdekaan, setelah
kebersamaan menyatukan pemimpin dan rakyat pejuang

Sekali lagi aku peringatkan wahai, penyair muda...
Tidak akan berdosa kalian terus berpuisi cinta biru
Tapi jangan pertaruhkan kekuatan kepenyairan
Apalagi kalian gadaikan atas sesuatu yang kalian butakan
Kesalahan struktur dan sistem tapi kalian kutuk bangsa
Aib partai tapi negara yang kalian serapahi setinggi langit

Kekuatan asing dan para koruptor musuh kita, tapi
mengapa puisi-puisi kalian menghujat negeri raya ini..?

NB: Aku tidak akan buru-buru mencurigai, bahwa kalian
adalah mata-mata bayaran atau turunan pengkhianat...

Semarang, 23 Januari 2014

sumber : https://www.facebook.com/notes/eko-tunas/puisi-pagi-rakyat-boleh-jujur-tapi-penyair-tidak-boleh-dungu/10151870870476485




Minggu, 12 Januari 2014

SUNAN BONANG DAN AJARAN TASAWUFNYA

SUNAN BONANG
DAN AJARAN TASAWUFNYA

Abdul Hadi W. M.


Di antara teks-teks Islam tarawal dalam sejarah sastra Jawa terdapat untaian puisi-puisi mistikal (suluk) karya Sunan Bonang, seorang wali sufi terkemuka di pulau Jawa yang tinggal di Tuban, Jawa Timur. Selain sejumlah suluk, Sunan Bonang juga meninggalkan karya penting yaitu risalah tasawuf yang oleh Drewes diberi judul Admonitions of She Bari. Sunan Bonang  lahir pada pertengahan abad ke-15 M dan wafat pada awal abad ke-16, sekitar tahun 1526 atau 1530 M (De Graff 1985:55). Dia adalah ulama yang mumpuni pada zamannya, juga seorang ahli falak,  musikus dan tentu saja sastrawan. Karua-karyanya memperlihatkan bahwa dia menguasai bahasa dan sastra Arab di samping Persia, Jawa Kuna dan Melayu.
            Namanya semula ialah Makhdum Ibrahim. Dalam suluk-suluknya dia memakai beberapa nama julukan seperti  Ibrahim Asmara, Ratu Wahdat, Sultan Khalifah dan lain-lain (Hussein Djajadiningrat 1913; Purbatjaraka 1938; Drewes 1969). Nama Bonang diambil dari nama desa tempat dia  mendirikan pesujudan dan pesantren, yaitu Bonang. Desa itu tidak jauh dari kota Rembang dan Lasem di perbatasan antara propinsi Jawa Tengah dan  Jawa Timur sekarang ini.
            Sejak muda Makhdum Ibrahim adalah seorang pelajar yang tekun dan muballigh yang handal. Setelah mempelajari bahasa Arab dan Melayu, serta berbagai cabang ilmu agama yang penting seperti fiqih, usuluddin, tafsir Qur’an, hadis dan tasawuf; bersama saudaranya Sunan Giri dia pergi ke Mekkah dengan singgah terlebih dahulu di Malaka, kemudian ke Pasai. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu) mencatat  kunjungan Sunan Bonang dan Sunan Giri ke Malaka sebelum melanjutkan perjalanan ke Pasai. Sepulang dari Mekkah, dia  ditugaskan oleh ayahnya ntuk memimpin masjid Singkal, Daha di Kediri (Kalamwadi 1990:26-30). .
            Pada tahun 1498 M Sultan Demak Raden Patah mempercayakan kepada Sunan Bonang  untuk menjadi imam Mesjid Agung Demak. Dalam tugasnya itu dia dibantu oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo dan wali yang lain. Di bawah pimpinannya masjid Demak segera berkembang menjadi pusat keagamaan dan kebudayaan terkemuka di pulau Jawa. Tetapi beberapa tahun kemudian, dia berselisih pandangan dengan Sultan Demak dan memutuskan untuk mngundurkan diri dari jabatannya  sebagai imam masjid agung. Dari Demak Sunan Bonang pindah ke Lasem, dan memilih desa Bonang sebagai tempat kegiatannya yang baru. Di sini dia mendidirikan pesujudan dan pesantren. Beberapa karya Sunan Bonang, khususnya Suluk Wujil, mengambil latar kisah di pesujudannya ini di mana dia memberikan ajaran rahasia agama kepada muridnya, seorang bekas abdi dalem Majapahit yang terpelajar bergelar Wujil (Abdul Hadi W. M. 2000:96-107).

Suluk-suluk Sunan Bonang
           Sunan Bonang adalah penulis prolifik. Karangan-karangannya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok: (1) Untaian puisi mistikal yang lazim disebut suluk dalam sastra Jawa. Dalam suluk-suluknya dia mengungkapkan pengalaman keruhaniannya mengikuti jalan sufi. Dalam suluknya pula dia menyampaikan pokok-pokok ajaran tasawuf melalui ungkapan-ungkapan simbolik sastra. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung,  Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain. (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.
            Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk Sunan Bonang. Khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
           Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama beradadi Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah.

Suluk Gentur dan Gita Suluk Wali
           Dari suluk-suluknya itu yang sangat penting antara lain ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.  Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempurna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat da`im qa`im .Syahadat ini berupa kesaksian  tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas  tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.
          Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, iaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penghlihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88 : “Segala hal binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:

  1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
  2. Mutawassitah (Mutawassita)
  3. Mutakhirah (muta`akhira)

           Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia iaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”. Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat dimpamakan seperti kesatuan transenden antara tidakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan sperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur.
           Dikatakan juga dalam suluknya itu bahwa dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah  tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama. Perumpamman ini dapat dirujuk kepada perumpamaan seupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lama`at karya `Iraqi.
          Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali,  untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb al-mucmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).
          Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or. 1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1969), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris.

Suluk Wujil
            Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan untuk dikemukakan ialah Suluk Wujil. Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16 M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya ”De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.
            Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah.
             Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal huruf Jawi, yaitu huruf Arab yang disesuaikan dengan system fonem Melayu. Sedangkan Sunan Bonang dan para penulis Muslim Jawa yang awal tetap menggunakan huruf Jawa telah mapan dan dikenal masyarakat terpelajar. Sunan Bonang juga menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing bagi masyarakat Jawa, misalnya wayang. Selain itu bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita juga masih digunakan. Dengan demikian kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan. Ppentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:

Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia  minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Ssampai rahsia terdalam

                        2
Sepuluh tahun lamanya
Sudah Wujil
Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf

                                    3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang

                        4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun  tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar

                        5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahsia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui      
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada

            Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblar dan gejala kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi.
.           Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah wayang dan lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang.. Penyair-penyair sufi Arab dan Persia seperti  Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk menggambarkan persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang Cina memang sangat populer (Abdul Hadi W.M. 1999). Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin. Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.
Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan  Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan kanan layar mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung  dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan dunia material.
            Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempruna dapat dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk memahami dan mengenal Yang. Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir merupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan  memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung. Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan  kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”


                                                                                                Jakarta November 1999




 sumber : https://www.facebook.com/notes/abdul-hadi-wm/sunan-bonang-dan-ajaran-tasawufnya/10151884984523873

Kamis, 02 Januari 2014

PUISI-PUISI YANG AKAN KUBACAKAN PADA 4 JANUARI 2014 DI KEDAI SANUTOKE (EKO TUNAS) BANYUMANIK SEMARANG

SURGA JAHANAM
 
bagiku surga adalah jahanam yang terdalam dalam perut di mana nabi-nabi  menyitir ayat tentang tuhan-tuhan yang kelelahan menyusun tangga langit dengan api pemanah burung gagak hingga rintik hujan pada malam hari bergemuruh mengelilingi batu hitam yang bukan hajaraswad

ketika nabi bukanlah kiblat semut dan doa
maka badai lautan siap menelan mentah-mentah yang ada di bumi tanpa sisa tulang. kuucap seribu mantra menyayikan nenekmoyang yang menyebut diri adam yang kehausan di padang arofah menitik airmata yang menjelma zam-zam yang tak terasa lagi sebagai air kehidupan

pada diri aku bertapa sepi selaksa bidadari yang berkali-kali kucuri selendang sutra di telaga ketika tarub tak bertanya ini milik siapa
kembali ke surga tak ada apa dan sesiapa. hanya fana yang diimingkan bagi pengharap keabadian fatamorgana. delima-delima telah dipetik hawa yang bernafsu dan bercinta dengan iblis yang membaptis diri ahli pertapa agung. dan memang benar adanya surga hanyalah rumah kosong yang menjebak dalam silau cahaya. dan kau bermantra surga

Langit Kendal, 29012013/ 21.47


PAMPLET UNDANGAN OLEH KELANA
MALAM DALAM SECANGKIR KEMATIAN

malam dalam secangkir kematian warnanya hitam seumpama gagak yang mengitari rumah-rumah suwung. begitulah angin selalu saja mengusiki jalan tak bertuan di lereng gunung. semua menunggu tentang ajal yang meminta nama pada daun, tak ada kuning tak hijau semua gugur. garis telapak tangan tak ada yang lurus, semua bercabang dan terpisah dari batas yang sama sekali bertanya diam angin yang mengepul pada cangkir hitam pahit tempat sesaji gendruwo.

malam tak selalu gelap di bawah purnama untuk ke sembilan kalinya. pohon dipuja dan ditebang lalu diletakkan di tengah jalan menghadang para pejalan yang menyembunyikan rahasia doa-doa. ini zaman atau orang-orang sudah gila. padahal secangkir kopi telah diaduk oleh kematian-kematian yang tak bertuan. di ujung gang sempit ia telah lama menunggu, dan ia mampu mewujud hewan pun tetumbuhan. dan kau mendadak menjadi pelupa bahwa semua memang telah direncana.

malam dalam secangkir kematian telah lama kau ketahui sejak sebelum kau terlahir sebagai angsa. lalu kau hidangkan racun hingga darah dan airmata beku dalam kulkas. mendidih di atas tungku keabadian. lalu dengan melayang kau putuskan benang putih hitam `kan kau tangkap sebelum matahari mendahului menyembunyikan awan dan memata. secangkir kematian telah kau persiapakan, entah kau mamah entah kau telan mentah-mentah.

Langit Kendal, 05102013/ 23.38



ANJING NABI

barangkali hidup adalah jarum yang berdetak dalam dinding kamar menunjuk angka-angka yang paling tepat di matanya. tak perlu menunggu ataupun ditunggu, sebab semua akan tiba dengan sendirinya. semua angka tertawa mengejek tentang doa penganggur yang meminta terkabul di jalanan tempat bangjo berlarian. sembunyi ketika para pengaman itu pun berlarian mengejar angin dini hari.

sedang mati adalah terompet tahun baru bagi musafir yang kelelahan menahan dahaga di sahara. fatamorgana yang ada mengiming nafsu dan sesaat.
matahari menjadi awan tidur di pelapung perenang yang takut tenggelam pada laut yang tak pernah menyembunyikan rahasia di balik cadar malam. pun ketika semua terbangun menawarkan mimpi yang tak pernah selesai bersenggama pada daun ranum. ya, sebab cinta telah menyembunyikan rindu bidadari yang telah lama menunggu sepi. kecuali ada gairah yang mampu melarikan diri dari goa tempat ashabul kahfi mengamankan diri bersama qitmir anjing nabi.
hidup dan mati adalah rahasia yang tersembunyi di kelopak mataNya.

Langit Kendal, 10022013/ 08.45


AKU MENGIKTIKAFI DIRIKU SENDIRI

aku beriktikaf dalam masjid yang sunyi
dan bertapa mengitari jasadku sendiri
di antara tumpukan makhluk kerdil
yang menyebut-nyebut ha hi hu ha hi hu
pada sebuah nama di pojok kamar semediku

berharap mantra dan kemenyan mendatangkan ruh
yang telah berabad kesepian dalam rumah
tak ada bidadari ataupun anak-anak yang menghibur
kesendirian yang telah mengapi dan menggosongkan waktu
semua adalah doa yang tak sudah-sudah dirapal

aku mengiktikafkan diriku sendiri
pada kekosongan yang tak pernah kosong
merundukkan dan bertamu di setiap pertemuan
dua arus yang tak pernah saling ketemu
di bibir harapan dikibarkan setengah tiang

Langit Kendal, 20082013/ 01.13


KEPADA PINTU

kepada pintu ku ketuk dadamu
berharap kau membuka untukku
dan mempersilahkan aku masuk
duduk dan kau tawarkan padaku
segelas air bening dan ketela

kepada pintu ku ketuk adamu
bertamu malam-malam seperti yang pernah kulakukan
di bawah rembulan yang tepat di atas kepalaku
menjamu dengan segala kepasrahan
dan kau lagi-lagi mengerlingkan isyarat waktu

kepada pintu ku ketuk waktu
sebelum terkunci mengurung kesendirianku
pintu pintu tetaplah terbuka
sebelum tamu-tamu pamit pulang
menyampaikan salam dan membawa bekal

pintu perjalanan ini terlalu sunyi tanpa ketukanmu

Langit Kendal, 30072013/ 15.00


DEBU DALAM BOTOL ALMARI BAJU

aku curiga, jangan-jangan kau memang sengaja
memasukkan virus ke dalam botol almari
sehingga menyebar ke seluruh urat nadi
dan getarannya berhenti di satu titik debu

seperti ada yang berkelebat di depan pintu
tirainya bergelombang menyusupkan dingin saku baju
seperti kertas yang kau remas dan kau buang sembarang
tidak pada tempat sampah

barangkali semalam kau lupa mematikan sentir pada dinding gubuk
tempat kau sembunyi dari pengejaran angin yang menggigilkan nyali dan membekukan hati mestinya tidak kau lupakan sejarah awan yang tiba-tiba menjatuhka hujan di teras rumah
membasahi tenggorakan yang selama ini sepi

dan kau, lagi-lagi menjadi merpati dari sebuah kacu pesulap jalanan
terbang di sangkar dan tak pernah tekukur dengan kebebasanmu
padahal kau menjaga surga jahanam di keliling para penyamun yang selama ini mengharap telaga dari mata-mata rahasia

Langit Kendal, 20072013/ 05.25


BADUT-BADUT PENGGODA

badut-badut di pasar malam
menggoda untuk ditertawakannya
bersama arak yang tentu memabukkan
dan menghilangkan otak untuk sementara
atau selamanya

badut kecil meminta susu pada tetek yang bukan ibunya
menangis memuja dan membunuh dengan coreng di wajahnya
ia bertopeng dengan cat hasil mengelabui pencuri
yang diam-diam sembunyi di hati
menawarkan senggawa yang tak pernah sudah

badut-badut mengerlingkan mata
menyembunyikan doa-doa di lubang sumur tua
menggali jahanam dan membakar dirinya dengan tinja
bahkan setan yang terkutuk dirayu dan dipuja
tapi ia tetap tidur tenang
sambil sesekali mentertawakan badut-badut
yang mencoba mengejeknya

Langit Kendal, 13072013/ 23.11


DI RUMAHMU

di rumahmu
aku kehilangan nama
pada pintu yang tak pernah tertutup
dan membiarkan jendela selalu terbuka

aku kedinginan

di rumahmu
kursi telah rapuh
kau biarkan tetap pada tempatnya
tak pernah kau pindah sejak pertama
kau mendudukinya

di rumahmu aku sepi
sedang kau selalu memanggili
telinga yang tak pernah ada
pada daun menguning
mungkin tersumpali sumpah
yang tak pernah pada janjinya

di rumahmu suwung
ternyata aku keliru
menanyakan nama dan alamat
yang telah pindah berpuluh abad
aku mencari rumah sunyi
pada diriku sendiri
sepi

Langit Kendal, 30062013/ 10.15


SURAT YANG TAK PERNAH TERKIRIM
LANTARAN DOA TERSANGKUT DI CELANA


suratku tak pernah terkirim ke alamatmu
karena memang surat itu belumlah ku tulis
hanya ku batinkan harapan-harapan yang tak pasti kenyataan
di seberang lautan yang penuh ombak pun karang
suratku telah lama kering di bawah matahari
yang tak pernah sekali mampir di pelabuhan rembulan
menunggu dedaun lepas dari rantingnya
dan seorang tua menyapu dengan bungkuk badannya
entah beban ataukah ketawadhuan pada cahaya
yang sesekali menyilaukan mata hatinya

suratku tak pernah terkirim
lantaran cemara selalu menghalangi pandangan mataku
seperti mengisyarakan doa yang tersangkut pada ranting-ranting
sebuah pesan tak tersampaikan di rindu kembang pada kumbang
tentang cinta dan nestapi penyair yang tertidur bersama kopi yang tumpah
di bangku celananya

suratku salah alamat
dan tersangkut di ranting bintang
yang bermain mata dengan mata-mata
ah, rupanya pak pos telah mati tertabrak kereta
di seberang jalan yang tak pernah ku kenal pula
suratku tanpa tulisan dan balasan
surat yang memang hanya fatamaorgana
dan hanya ia yang mengerti yang mampu menerjemahkan
ketiadaan kata, kupanggili doa-doa

Langit Kendal, 26062013/ 23.45


SAKAU

menggigil seluruh wajahku di antara para pelayat waktu
yang tak henti-henti menafsiri mendung batinku
mengeja angka satu hingga seribu
arah kini selalu berbalik menjebak tujuan hari
dari alif hingga tak terkhatam yak

aku kini pesakitan yang merindu tamu
membawa kamboja kematian
lelayu pendakwah kamar mandi yang tak selesai
mengguyur tubuh penuh debu kaca jendela
yang tak pernah selesai disucikan

segalaku inginkan kematian yang tak sempat tertunda
oleh masa yang selalu berulang dan sama
pada hujan yang melebatkan sayapnya
aku harap menumbuhkan segala mantra yang terkunci
di sela lubang jarum yang tak sempat terselesaikan

aku sakau
pada engkau yang menunggu waktuku
serindu batu setawakal kalbu mencarimu

Langit Kendal, 22022013/ 23.00


TENTANG HUJAN

hujan adalah kenangan pada lembaran buku yang tak pernah dilipat pada saku celana orang gila. ia tak pernah sendiri mengusik dan memberi hangat pada tiap rintik yang patah pada kaca yang mulai tergores tinta eceran. datangnya melarutkan harapan yang telah direncanakan bocah yang setia menunggu di tungku dapur rumah seorang ibu. suaranya merdu menjamin kejernihan telinga yang mengadui selimut usang mungkin tak pernah dicuci dengan parfum pencuri di sebuah minimarket.

Langit Hujan, 16062013/ 23.53


SEBUAH KOTAK DENGAN OTAK
YANG MENAWARKAN HAHIHEHUHO

haha
hihi
huhu
hehe
hoho

haha
presiden tertawa
di bawah tiang bendera yang mulai robek

hihi
menteri asyik sendiri pergi ke luar negeri
studi banding membandingkan dirinya sendiri

huhu
DPR membuat undang-undang
agar perutnya tetap kenyang

hehe
rakyat menjadi gila
merasakan tingkah atasannya

hoho
pejabat negara sudah mempersiapkan
kotak amal untuk keluarga dan kroninya

haha
hihi
huhu
hehe
hoho

Langit Kendal, 15062013/ 22.17

  
SAJAK YANG DITINGGAL PENYAIRNYA

penyair kabur dari pelarian sajak
yang pernah ia tulis pada selembar kertas
tentang kalimat yang belum juga usai ia khatamakan
sengaja ia tinggalkan alif sendirian
pada tegak sembilanpuluh derajat
menantang matahari

penyair tak bertanggung jawab
atas kata yang ia selipkan mantra surga
tujuh kembang ia taruh pada
pojok-pojok sahwat lelaki yang samasekali
tak pernah bersetubuh dengan rembulan
ia kecewa atas astaga bidadari
sendiri mengucap janji yang sepi
ia kehilangan birahi

sajak terakhir ia tulis
pada daun yang telah kering
dengan tinta darah yang sengaja ia alirkan
dari hati dan nestapa
yang menggali kematian
pada dinding hijau yang penuh lumut

sajak masih menunggu
penyair menuliskan lagi
tentang kembang tujuh rupa
tujuh sumur dan tujuh mantra abatasa

Langit Kendal, 09062013/ 21.54


PUISI TELAH BANGKIT DARI KUBUR

puisi mati
dalam keadaan gentayangan
mencari penyair
yang mati penasaran

ya, sudah lama kabar itu tersiar
namun seolah-olah baru kemain saja
kabar itu terkabarkan
oleh angin oleh burung dan oleh gosip eceran

ada yang membunuh puisi
dengan kata-kata palsu
alamat palsu
juga penyair palsu

semua mati mendadak
ketika puisi dan penyair dikabarkan
mati di hutan belantara
entah siapa yang mampu menghidupkannya
lagi

ini gosip
yang mengada-ada
tak harus dipercaya

jangan tergesa bertanya pada tuhan
ya

Langit Kendal, 30052013/ 23.11


SEPASANG MATA DI LIDAHKU

sepasang mata yang menancap tajam
di lidahku, Kekasih
goresannya membentuk garis katulistiwa
membentang dari ujung sampai pedang

alifku luntur dibawa kabur angin
yang pernah singgah di celah batu hatiku
semua runtuh tak bertiang
rubuh menara paling tinggi
yang pernah ku bangun di sini
di niatku di hatiku

sepasang mata meludahiku
tepat di dahiku
“coba cari, darimana asalnya gerhana di hati?”

Langit Kendal, 25042008  

Tubuh Matahari

tubuh matahari di matamu kuning langsat tetiba hadir di rumahku tanpa salam pun pesan kau terus menyediakan angan bagi pertapa yang kensunyi...