Senin, 29 Juli 2013

SYUKURAN NIKMATNYA BERPUISI

"Barangkali menulis puisi adalah sebuah pilihan dalam menjalani hidup. 
Tidak banyak orang yang berani menempuh hidup dengan tetap menulis puisi." 
-- Kakilangit Horison, Maret 2013 : 16


TERIMA KASIH KEPADA PARA PENYAIR YANG TELAH MEMERIAHKAN
"SYUKURAN ATAS NIKMATNYA BERPUISI", HARI PUISI INDONESIA 26 JULI 2013

Kegiatan ini bukanlah lomba yang harus ada Juaranya, semua sama, mempunyai kata dan makna.
Puisi bukan sekedar untuk ditulis atau dibaca, ada yang lebih dari itu -- penghargaan, penghormatan dan pelaksanaan atas kata-kata itu. "dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata" (ws rendra)


SELAMAT KEPADA PARA PENGIRIM PUISI YANG BERUNTUNG
A. Yang berhak mendapat buku Antologi Puisi "Bumi di Atas Langit" dan pulsa 10.000
1. Yuli Arista (Bojonegoro)

B. Yang berhak mendapat buku Antologi Puisi "Bumi di Atas Langit"
1. Fina Lanahdiana (Kendal)
2. Ahmad Irfan (Blora)

C. Yang berhak mendapat pulsa 10.000
1. Aan (Pati)

Kepada nama-nama tersebut di atas untuk segera mengirim data diri ke e-mail : langitkendal@gmail.com
atau inbok facebook : Bahrul Ulum A. Malik. 

Keterangan lebih lanjut sms ke : 0856 4140 2250

SELAMAT DAN TERIMA KASIH


ttd.
Penyelenggara 

Bahrul Ulum A. Malik & Pelataran Sastra Kaliwungu 


Minggu, 21 Juli 2013

MARS HARI PUISI INDONESIA

Mars Hari Puisi Indonesia
Cipt: Asrizal Nur dan Ravelz Guchi

Telah tiba hari puisi Indonesia
Menjadi semangat baru bangsa
Yang dulu dilahirkan puisi
Bernama Sumpah Pemuda

Ayo rayakan hari puisi Indonesia
Dari Banda Aceh hingga Papua
Rakit spirit bangsa merdeka
Bermartabat dan berbudaya

Reff
Dengan Hari puisi Indonesia
Mari jalin persatuan kita
memajukan kebudayaan bangsa
Moderen, literat dan terbuka

Depok, 20 Juli 2013

Sabtu, 20 Juli 2013

DEBU DALAM BOTOL ALMARI BAJU

http://pixabay.com/en/age-aged-beverage-bottle-dark-20438/
http://pixabay.com/en/age-aged-beverage-bottle-dark-20438/
aku curiga, jangan-jangan kau memang sengaja, memasukkan virus ke dalam botol almari, sehingga menyebar ke seluruh uratnadi, dan getarannya berhenti di satu titik debu.

seperti ada yang berkelebat di depan pintu, tirainya bergelombang menyusupkan dingin saku baju. seperti kertas yang kau remas dan kau buang sembarang, tidak pada tempat sampah.

barangkali semalam kau lupa mematikan sentir pada dinding gubuk tempat kau sembunyi dari pengejaran angin yang menggigilkan nyali dan membekukan hati. mestinya tidak kau lupakan sejarah awan yang tiba-tiba menjatuhka hujan di teras rumah, membasahi tenggorakan yang selama ini sepi.

dan kau, lagi-lagi menjadi merpati dari sebuah kacu pesulap jalanan. terbang di sangkar dan tak pernah tekukur dengan kebebasanmu.
padahal kau menjaga surga jahanam di keliling para penyamun yang selama ini mengharap telaga dari mata-mata. rahasia.

Langit Kendal, 20072013/ 05.25

Minggu, 14 Juli 2013

Catatan Pendek atas Puisi “Bumi di Atas Langit” karya Bahrul Ulum A. Malik

Cover Antologi Puisi "Bumi di Atas Langit"
oleh : Sawali Tuhusetya*


Sebagai produk budaya, puisi tak akan pernah terlahir dalam situasi hampa. Ia (baca: puisi) akan senantiasa bersinggungan dengan berbagai persoalan hidup dan kehidupan di sekitar sang penyair. Ada dua persoalan besar yang sering menggelisahkan penyair dalam berproses kreatif, yaitu persoalan ketuhanan dan kemanusiaan. Puisi, dengan demikian, dinilai sebagai media ekspresi yang tepat bagi sang penyair untuk mengungkapkan persoalan ketuhanan dan kemanusiaan yang kian rumit dan kompleks seiring dengan gerak dan dinamika peradaban kehidupan yang mengiringinya.
Puisi-puisi Bahrul Ulum A. Malik (Ulum) yang terhimpun dalam Bumi di Atas Langit, saya kira tidak terlepas dari dua persoalan besar itu. Lihat saja puisi “Subuh:, “RestuMu ya Rabb”, “Bumi di Atas Langit”, “Hidup di Langit”, “Lebaran Tinggal Sehari Lagi”, “Seperti Malam”, “Hawa Adam dan Hawa”, “Tasyahud”, “Nawaitu”, “Ibuku Wudlu dengan Air Mata”, “Bak Rok ku”, “Kacacermin”, atau “Tahukah Kamu”. Puisi-puisi tersebut setidaknya memancarkan nilai ketuhanan sang penyair yang merasa dirinya sebagai sosok inferior di tengah kemahaperkasaan Sang Pemilik Kehidupan. Selebihnya adalah puisi-puisi yang memancarkan nilai kemanusiaan ketika sang penyair bersentuhan dengan berbagai persoalan hidup dan kehidupan yang menggelisahkannya.
Meskipun demikian, batas antara nilai ketuhanan dan kemanusiaan dalam puisi Ulum bukanlah persoalan hitam-putih. Kedua persoalan ini saling berkelindan sebagai ekspresi jagad cilik sang penyair ke dalam jagad gede kehidupan yang sesungguhnya. Maka, lahirlah puisi-puisi yang secara tematik mengangkat persoalan-persoalan kemanusiaan yang terbingkai dalam frame ketuhanan yang sublim dan pekat melalui diksi yang terjaga dan sebisa mungkin menghindarkan ekspresi-ekspresi yang liar dan kenes (kecuali “Adakalanya” dan “Anjing Keparat”).
 Sebagai penyair yang sedang dan terus berproses kreatif, Ulum agaknya tak pernah berhenti untuk mengeksplorasi dalam menemukan kesejatian dirinya sebagai seorang penyair. Ia mencoba mengungkap sisi lain dari masa lalu, masa kini, dan masa depan sebagai jalan panjang yang berangkaian. Maka, dalam konteks hubungan manusia—Tuhan, kesadaran transendensi itu, tidak sekadar jatuh pada benda dan makhluk hidup, tetapi juga pada peristiwa masa lalu dan masa kini. Dan segalanya berdepan dengan masa yang akan datang sebagai problem sosial—bangsa, dan alam keabadian sebagai tujuan akhir manusia individu ketika ia berhasil menerjemahkan dan memaknai tanda-tanda.
Antologi puisi Bumi di Atas Langit yang berisi 54 puisi (6 di antaranya puisi Gus Mus) sungguh menawarkan banyak hal. Ulum menggoda kita untuk tidak berhenti pada teks an sich sebagai makna tekstual, melainkan coba memaknai teks itu dalam kaitannya dengan berbagai konteks disiplin lain. Kemampuan mengendapkan, itulah kesimpulan yang segera dapat kita tangkap dalam antologi puisinya itu. Selain ada kecermatan dalam pilihan kata (diksi) yang begitu terpelihara, juga tema-tema ketuhanan dan kemanusiaan yang selalu menyentuh nurani kemanusiawian kita. Nah, selamat berproses kreatif. ***

                                                                                    Kendal, 30 Juni 2013



Sawali Tuhusetya
*Sastrawan Kelahiran Grobogan yang kini menetap 
di Perum BTN C-21 Langenharjo Kendal 51314.
Adalah seorang guru di SMP 2 Pegandon, Kendal.
Bisa disapa melalui akun facebook.com/sawalil 
atau 08122895206

 


DI RUMAHMU

di rumahmu
aku kehilangan nama
pada pintu yang tak pernah tertutup
dan membiarkan jendela selalu terbuka

aku kedinginan

di rumahmu
kursi telah rapuh
kau biarkan tetap pada tempatnya
tak pernah kau pindah sejak pertama
kau mendudukinya

di rumahmu aku sepi
sedang kau selalu memanggili
telinga yang tak pernah ada
pada daun menguning
mungkin tersumpali sumpah
yang tak pernah pada janjinya

di rumahmu suwung
ternyata aku keliru
menanyakan nama dan alamat
yang telah pindah berpuluh abad
aku mencari rumah sunyi
pada diriku sendiri
sepi

Langit Kendal, 30062013/ 10.15

Jumat, 05 Juli 2013

LAUNCHING ANTOLOGI PUISI "BUMI DI ATAS LANGIT"

Minggu, 30 Juni 2013 merupakan hari bersejarah di bumi Kendal, seorang penulis muda Bahrul Ulum A. Malik telah melaunchingkan antologi puisi pertamanya "Bumi di Atas Langit". Launching dilaksanakan di Balai Kesenian Remaja (BKR) Kendal. Dalam launching tersebut diisi dengan berbagai acara : Pembacaan, Musikalisasi, dan Bedah Puisi. Hadir dalam acara tersebut : Sawali Tuhusetya (Dewan Kesenian Kendal), Mahmud Elqadry (Budayawan), Slamet Priyatin (Sastrawan), Muslichin HN (Guru SMA, Sastrawan), Kelana (Penggerak Seni Kendal), dan seniman, budayawan dari berbagai daerah (Jateng, Jogja).
Acara dimeriahkan musikalisasi puisi oleh OGSB sebuah grup musik seni yang dimotori oleh Akar Jerami, Kempu.


Tubuh Matahari

tubuh matahari di matamu kuning langsat tetiba hadir di rumahku tanpa salam pun pesan kau terus menyediakan angan bagi pertapa yang kensunyi...