Minggu, 14 Juli 2013

Catatan Pendek atas Puisi “Bumi di Atas Langit” karya Bahrul Ulum A. Malik

Cover Antologi Puisi "Bumi di Atas Langit"
oleh : Sawali Tuhusetya*


Sebagai produk budaya, puisi tak akan pernah terlahir dalam situasi hampa. Ia (baca: puisi) akan senantiasa bersinggungan dengan berbagai persoalan hidup dan kehidupan di sekitar sang penyair. Ada dua persoalan besar yang sering menggelisahkan penyair dalam berproses kreatif, yaitu persoalan ketuhanan dan kemanusiaan. Puisi, dengan demikian, dinilai sebagai media ekspresi yang tepat bagi sang penyair untuk mengungkapkan persoalan ketuhanan dan kemanusiaan yang kian rumit dan kompleks seiring dengan gerak dan dinamika peradaban kehidupan yang mengiringinya.
Puisi-puisi Bahrul Ulum A. Malik (Ulum) yang terhimpun dalam Bumi di Atas Langit, saya kira tidak terlepas dari dua persoalan besar itu. Lihat saja puisi “Subuh:, “RestuMu ya Rabb”, “Bumi di Atas Langit”, “Hidup di Langit”, “Lebaran Tinggal Sehari Lagi”, “Seperti Malam”, “Hawa Adam dan Hawa”, “Tasyahud”, “Nawaitu”, “Ibuku Wudlu dengan Air Mata”, “Bak Rok ku”, “Kacacermin”, atau “Tahukah Kamu”. Puisi-puisi tersebut setidaknya memancarkan nilai ketuhanan sang penyair yang merasa dirinya sebagai sosok inferior di tengah kemahaperkasaan Sang Pemilik Kehidupan. Selebihnya adalah puisi-puisi yang memancarkan nilai kemanusiaan ketika sang penyair bersentuhan dengan berbagai persoalan hidup dan kehidupan yang menggelisahkannya.
Meskipun demikian, batas antara nilai ketuhanan dan kemanusiaan dalam puisi Ulum bukanlah persoalan hitam-putih. Kedua persoalan ini saling berkelindan sebagai ekspresi jagad cilik sang penyair ke dalam jagad gede kehidupan yang sesungguhnya. Maka, lahirlah puisi-puisi yang secara tematik mengangkat persoalan-persoalan kemanusiaan yang terbingkai dalam frame ketuhanan yang sublim dan pekat melalui diksi yang terjaga dan sebisa mungkin menghindarkan ekspresi-ekspresi yang liar dan kenes (kecuali “Adakalanya” dan “Anjing Keparat”).
 Sebagai penyair yang sedang dan terus berproses kreatif, Ulum agaknya tak pernah berhenti untuk mengeksplorasi dalam menemukan kesejatian dirinya sebagai seorang penyair. Ia mencoba mengungkap sisi lain dari masa lalu, masa kini, dan masa depan sebagai jalan panjang yang berangkaian. Maka, dalam konteks hubungan manusia—Tuhan, kesadaran transendensi itu, tidak sekadar jatuh pada benda dan makhluk hidup, tetapi juga pada peristiwa masa lalu dan masa kini. Dan segalanya berdepan dengan masa yang akan datang sebagai problem sosial—bangsa, dan alam keabadian sebagai tujuan akhir manusia individu ketika ia berhasil menerjemahkan dan memaknai tanda-tanda.
Antologi puisi Bumi di Atas Langit yang berisi 54 puisi (6 di antaranya puisi Gus Mus) sungguh menawarkan banyak hal. Ulum menggoda kita untuk tidak berhenti pada teks an sich sebagai makna tekstual, melainkan coba memaknai teks itu dalam kaitannya dengan berbagai konteks disiplin lain. Kemampuan mengendapkan, itulah kesimpulan yang segera dapat kita tangkap dalam antologi puisinya itu. Selain ada kecermatan dalam pilihan kata (diksi) yang begitu terpelihara, juga tema-tema ketuhanan dan kemanusiaan yang selalu menyentuh nurani kemanusiawian kita. Nah, selamat berproses kreatif. ***

                                                                                    Kendal, 30 Juni 2013



Sawali Tuhusetya
*Sastrawan Kelahiran Grobogan yang kini menetap 
di Perum BTN C-21 Langenharjo Kendal 51314.
Adalah seorang guru di SMP 2 Pegandon, Kendal.
Bisa disapa melalui akun facebook.com/sawalil 
atau 08122895206

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tubuh Matahari

tubuh matahari di matamu kuning langsat tetiba hadir di rumahku tanpa salam pun pesan kau terus menyediakan angan bagi pertapa yang kensunyi...