Sebagai produk
budaya, puisi tak akan pernah terlahir dalam situasi hampa. Ia (baca: puisi)
akan senantiasa bersinggungan dengan berbagai persoalan hidup dan kehidupan di
sekitar sang penyair. Ada dua persoalan besar yang sering menggelisahkan
penyair dalam berproses kreatif, yaitu persoalan ketuhanan dan kemanusiaan.
Puisi, dengan demikian, dinilai sebagai media ekspresi yang tepat bagi sang
penyair untuk mengungkapkan persoalan ketuhanan dan kemanusiaan yang kian rumit
dan kompleks seiring dengan gerak dan dinamika peradaban kehidupan yang mengiringinya.
Puisi-puisi
Bahrul Ulum A. Malik (Ulum) yang terhimpun dalam Bumi di Atas Langit, saya kira tidak terlepas dari dua persoalan
besar itu. Lihat saja puisi “Subuh:, “RestuMu ya Rabb”, “Bumi di Atas Langit”,
“Hidup di Langit”, “Lebaran Tinggal Sehari Lagi”, “Seperti Malam”, “Hawa Adam
dan Hawa”, “Tasyahud”, “Nawaitu”, “Ibuku Wudlu dengan Air Mata”, “Bak Rok ku”,
“Kacacermin”, atau “Tahukah Kamu”. Puisi-puisi tersebut setidaknya memancarkan
nilai ketuhanan sang penyair yang merasa dirinya sebagai sosok inferior di
tengah kemahaperkasaan Sang Pemilik Kehidupan. Selebihnya adalah puisi-puisi
yang memancarkan nilai kemanusiaan ketika sang penyair bersentuhan dengan
berbagai persoalan hidup dan kehidupan yang menggelisahkannya.
Meskipun
demikian, batas antara nilai ketuhanan dan kemanusiaan dalam puisi Ulum
bukanlah persoalan hitam-putih. Kedua persoalan ini saling berkelindan sebagai
ekspresi jagad cilik sang penyair ke dalam jagad gede kehidupan yang
sesungguhnya. Maka, lahirlah puisi-puisi yang secara tematik mengangkat
persoalan-persoalan kemanusiaan yang terbingkai dalam frame ketuhanan yang
sublim dan pekat melalui diksi yang terjaga dan sebisa mungkin menghindarkan
ekspresi-ekspresi yang liar dan kenes (kecuali “Adakalanya” dan “Anjing
Keparat”).
Sebagai penyair yang sedang dan terus
berproses kreatif, Ulum agaknya tak pernah berhenti untuk mengeksplorasi dalam
menemukan kesejatian dirinya sebagai seorang penyair. Ia mencoba mengungkap
sisi lain dari masa lalu, masa kini, dan masa depan sebagai jalan panjang yang
berangkaian. Maka, dalam konteks hubungan manusia—Tuhan, kesadaran transendensi
itu, tidak sekadar jatuh pada benda dan makhluk hidup, tetapi juga pada
peristiwa masa lalu dan masa kini. Dan segalanya berdepan dengan masa yang akan
datang sebagai problem sosial—bangsa, dan alam keabadian sebagai tujuan akhir
manusia individu ketika ia berhasil menerjemahkan dan memaknai tanda-tanda.
Antologi puisi Bumi di Atas Langit yang berisi 54 puisi
(6 di antaranya puisi Gus Mus) sungguh menawarkan banyak hal. Ulum menggoda
kita untuk tidak berhenti pada teks an
sich sebagai makna tekstual, melainkan coba memaknai teks itu dalam
kaitannya dengan berbagai konteks disiplin lain. Kemampuan mengendapkan, itulah
kesimpulan yang segera dapat kita tangkap dalam antologi puisinya itu. Selain ada
kecermatan dalam pilihan kata (diksi) yang begitu terpelihara, juga tema-tema
ketuhanan dan kemanusiaan yang selalu menyentuh nurani kemanusiawian kita. Nah,
selamat berproses kreatif. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar