Minggu, 16 Februari 2014

RISET

Oleh Johannes Sugianto 

Yo Sugianto





Tanggunganku, rindu punguk. Berbeban kayu gandar dan lengkung kuk
Aku lembu penarik. Kuseret serat terbaik untuk bulan setengah hilang

Pada malam di luar pagar, kusyairkan aneka kenangan liar
Yang mencambukku tanpa irama, sepanjang jalan mendaki ke huma

O, tandukku, Sepasang lengan kesombonganku. Yang kukuh hanya
garis mimpi. Di hadapan bulan, ia menekur semak rumput,
mensyukuri nikmat maut.

dan punggungku, rimbun lembut kecup ibu, bertabah pada semua
yang berubah. Tak ada yang berat dan berarti melelahkannya. Mengalahkannya

sepanjang jalan ke huma, roda pedati bergerak-berderak seperti usia.
aku lembu penarik, di bawah bulan setengah hilang, terengah tertatih

2011


(Puisi “Lembu” karya Dedy Tri Riyadi)
 
Saya dan Dedy Tri Riyadi

Tak tahu tepatnya kapan rapat itu diadakan, atau mungkin tak pernah ada rapat, berapa jumlah pesertanya, adakah moderator dan notulen. Tapi kita asumsikan rapat itu pernah ada pada tahun 2012, karena punya fokus dan makna yang penting.

Fokus itu pada penelitian yang diadakan secara terbatas oleh Denny Januar Ali, seorang aktivis, yang lalu menjadi tokoh ternama yang pernah dinobatkan oleh sebuah majalah sebagai the king maker politik Indonesia.

Riset itu mengambil sampel 5 puisi dari media ternama di Indonesia (disebutnya kemudian koran yang paling besar oplahnya saja) dengan rentang waktu sejak Januari – Desember 2011. Sampel itu, katanya, representasi dari puisi yang diseleksi oleh koran yang paling besar oplahnya. Ini bisa diasumsikan, pemilihan lima puisi itu diambil dari sebuah buku antologi puisi yang diterbitkan oleh koran terbesar oplahnya itu.

Hal ini bisa diartikan, karena sudah diputuskan oleh DJA yang bergelar Ph.D di bidang comparative politics dan business history dari Ohio State University, Amerika Serikat, maka koran itu dianggapnya sudah mewakili semua puisi yang ada di seluruh koran dari Sabang sampai Merauke.

Pemilihan metode penelitian itu jauh berbeda dengan pola yang pernah dilakukan dalam kegiatan lain, meski tidak untuk memetakan wajah puisi masa kini. Lomba Pena Kencana misalnya. Mereka menilai puisi dan cerpen terbaik berdasarkan karya yang sudah dimuat di media cetak dalam kurun satu tahun. Medianya dari seluruh penjuru Nusantara, tentu yang punya Rubrik Puisi dan Cerpen, baik dengan judul rubrik tersendiri atau  cuma dengan nama Rubrik Budaya, Rubrik Seni atau masuk dalam Rubrik Hiburan.

Lalu lima puisi itu diberikan kepada tiga kelompok pembaca dengan background strata pendidikan yang berbeda : pendidikan tinggi (sarjana ke atas : S1, S2 dan S3), pendidikan mengengah (hanya tamat SMU dan SMP), dan pendidikan rendah (hanya tamat SD). Masing-masing kelompok terdiri dari lima orang. Mereka pun diberi perbandingan puisi “Aku” (Chairil Anwar) dan “Khotbah (Rendra).

Tidak diketahui pula atas dasar apa pemilihan karya Chairil dan Rendra yang masing-masing satu puisi, dan kenapa tidak disertakan puisi lain semisal “Pahlawan Tak Dikenal” (Toto Sudarto Bachtiar) atau puisi indah “Hujan Bulan Juni” (Sapardi Djoko Damono).

Jadi, hasil penelitian itu sangat penting, dan tentunya juga sangat valid. Bagaimana tidak, DJA adalah pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang sudah melakukan riset ratusan kali. “Riset yang saya buat di LSI bahkan mampu memprediksi apa yang belum terjadi, seperti pemenang pemilu legislatif dan presiden 2009 tempo hari,”ujarnya suatu ketika.

“Kali ini saya mencoba melakukan riset dengan sampel dan tujuan yang lebih terbatas di dunia puisi,”tambahnya lagi.

Meski disebut sebagai riset dan tujuan yang lebih terbatas di dunia puisi, tapi di tangan seorang DJA tentu lain maknanya. Beda jika itu dilakukan mahasiswa yang ingin segera lulus, lalu mengutip berbagai pendapat dari para ahli sosial atau sastrawan ternama, agar kelihatan keren dan tebal saat dicetak. Maka, bisa dipastikan riset oleh DJA itu pasti teliti, kredibel dan bisa jadi master piece lain dari sekian ratus riset yang sudah dilakukan lembaganya.

Meriset dunia puisi itu pekerjaan yang luhur, banyak manfaatnya bagi pelaku dan penggemar sastra. Masih banyak sastrawan yang belum ditulis secara komprehensif seperti Muhammad Yamin, Amir Hamzah, Sitor Situmorang, Gerson Poyk atau Sutan Takdir Alisyahbana. Referensi tentang mereka lebih mudah didapat dari kepustakaan atau lembaga asing.

Hasil riset itu akan berguna bagi masyarakat sebagai pembaca, penikmat dan pembeli buku karya para penyair. Masyarakat adalah “orang tua” bagi karya penyair. Sedang penyair melahirkannya. Seperti apa bayi puisi itu nantinya, masyarakat yang akan merawat dan membesarkannya.

Riset terbatas itu ternyata menghasilkan kesimpulan bahwa puisi masa kini sulit dipahami, karena bahasanya njlimet. Bahkan yang tamat pendidikan tinggi pun tidak mengerti dan tidak memahami puisi yang dijadikan sampel itu.

Njlimet-nya itu, begitu bunyi riset yang kemudian diulang dan diulang oleh DJA atau Ahmad Gaus dalam berbagai kesempatan, akibat “penyair masa kini hanya sibuk dengan imajinasi dan kesepiannya sendiri.” Seolah semakin sulit dipahami, semakin tinggi mutu dan kualitas puisi. Mereka memiliki komunitas yang saling memuji bahasa rumit itu. “Lengkaplah mereka semakin terasing dari masyarakatnya yang lebih luas.”

Beranjak dari hasil riset terbatas itulah DJA lalu menarik kesimpulan, yang tidak dijelaskan apakah juga lewat riset lagi, bahwa masyarakat butuh puisi yang mudah dimengerti dan dipahami. Masyarakat merindukan puisi yang lebih peduli kepada publik luas, di luar diri dunia para penyair itu sendiri.

Kesimpulan itu diperkuat lagi dengan sumber lain yakni pakar puisi, John Barr yang memimpin dan menerbitkan majalah puisi ternama yang kini  sudah berusia seratus tahun.

Lalu DJA pada Maret 2012 mengeluarkan buku puisi “Atas Nama Cinta”, yang tak hanya diedarkan dalam versi cetak, tapi juga dibuatkan versi mobile web. “Oleh sebagian, buku itu dianggap sebagai tonggak yang membawa sastra ke era sosial media,”kata DJA.

Pengertian sebagian itu tak pernah dijelaskan oleh DJA apakah sekelompok orang saja, apakah hanya bawahannya di LSI atau mereka yang bekerja di 20 perusahaan miliknya, ataukah sekian persen masyarakat Indonesia?.

Begitu juga tonggak yang membawa sastra ke era sosial media. Klaim yang menunjukkan bahwa DJA tak tahu atau sengaja menguburkan fakta bahwa bicara sosial media, para penyair sudah melakoninya meski sekian tahun lalu belum ada facebook atau twitter. Mereka, yang sering disebut penyair cyber memiliki grup dengan ratusan bahkan ribuan members, baik lewat multiply, yahoo atau membuat web sendiri.

Mereka juga mengadakan pertemuan atau kopi darat, bahkan menerbitkan buku karya para members-nya. Tentu bukan buku yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), tapi hasil patungan para members-nya. Dari grup-grup itu juga terlahir para penyair yang lalu menerbitkan karyanya dalam bentuk buku puisi, dimuat di media cetak atau memposting di blog masing-masing.

Entah, apakah puisi “Lembu” di atas tulisan ini termasuk lima puisi yang jadi sampel riset kecil DJA atau tidak. Satu hal yang jelas, puisi karya Dedy Tri Riyadi ini dimuat di Kompas, yang merupakan koran dengan oplah terbesar di Indonesia, pada tahun 2011.

Ajaibnya, lewat karya yang belum berusia dua tahun sejak diterbitkan, dan oleh DJA disebut sebagai puisi-esai, diakui dan diyakini sebagai kebenaran oleh sebuah tim juri yang disebut Tim 8. Bahkan DJA dinobatkan sebagai salah satu dari “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” (yang dipakai sebagai judul buku).

Pengakuan itu tentu tak sembarangan. Selain mempertaruhkan reputasi Tim 8 (yang setelah buku itu terbit dan beredar, salah satu anggotanya yakni Maman S Mahayana menyatakan menarik 5 esainya yang ada di buku itu), juga dianggap memenuhi empat kriteria Tim 8 bagi seorang sastrawan untuk diakui Tokoh Sastra Paling Berpengaruh.

Salah satu kriteria itu adalah sosok yang menempati posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru, yang kemudian melahirkan pengikut, penggerak, atau bahkan penentang, dan akhirnya menjadi semacam konvensi, fenomena, dan paradigma baru dalam kesusastraan Indonesia.

Dari mana awal mulanya Tim 8 ini dibentuk, belum terang benderang hingga kini. Berdasarkan pengakuan Maman S Mahayana, ia diundang sebagai salah anggota tim untuk menggarap sebuah buku yang sesuai email dari Jamal D.Rahman (Pemimpin Redaksi majalah Horison, dan menjadi Ketua Tim 8) merupakan kegiatan formal yang dilaksanakan oleh PDS HB Jassin. Dalam proyek ini PDS HB Jassin memberikan mandat kepada Jamal D Rahman untuk mengkoordinir kegiatan dimaksud.

Belakangan, seperti dimuat di berbagai media massa, pernyataan dalam email kepada Maman itu dibantah oleh Ariany Isnamurti, Kepala Pelaksana PDS HB Jassin yang menyatakan bahwa PDS H.B. Jassin tidak terlibat sama sekali dengan proses penyusunan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, baik dalam hal keberadaan tim penyusun (Jamal D Rahman dkk) yang sering disebut Tim 8, pemilihan 33 sastrawan yang dimaksud dalam buku tersebut, maupun penentuan judul dan ungkapan persembahan: “Diterbitkan Untuk PDS H.B. Jassin”. “Semua itu adalah urusan tim penyusun/Tim 8,” demikian pernyataan itu.

Hingga kini belum ada tuntutan apapun dari PDS HB Jassin terkait masalah itu, minimal meminta Jamal D.Rahman untuk memberikan penjelasan bahwa email Maman itu tidak benar, bahwa ia tak pernah menyatakan mendapatkan kuasa membuat proyek itu.

Akankah perkara ini dibikin gelap saja, dipetieskan kayak kasus-kasus korupsi, hanya karena pertemanan?. Padahal dari sinilah titik tolak adanya Densus eh maaf Tim 8?. Bukan tak mungkin ada anggota tim yang juga turut terlibat karena tahu (baca : diberitahu) bahwa ini proyek dari PDS HB Jassin. Ini bisa menjadi pendidikan yang tidak baik bagi kalangan sastrawan, karena pembiaran menggunakan nama sebuah lembaga sehebat PDS HB Jassin.

Sama gelapnya juga, darimana sumber dana penerbitan itu. Apakah dari KPG, sebagai penerbitan terkemuka di Indonesia?. Sebab di halaman depan buku itu tertulis “Diterbitkan untuk Pusat Dokumentasi HB Jassin” yang terletak di bawah nama-nama penulis buku (Tim 8) dan paling bawah tertulis Jakarta; KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Jika disebut “Diterbitkan untuk PDS HB Jassin”, bisa diartikan itu proyek dari PDS HB Jassin yang dicetak dan diterbitkan oleh KPG. Namun hal ini sudah dibantah bahwa buku ini bukanlah proyek PDS HB Jassin, yang hanya memberikan sambutan dalam buku dan menjadi tempat peluncurannya. Apakah ini persembahan KPG untuk dunia sastra Indonesia, belum ada penjelasan resmi dari KPG yang merupakan bagian dari rantai bisnis konglomerat media tersebut.

Jika nantinya KPG pun memberi bantahan serupa dengan PDS HB Jassin, maka tinggal dua kemungkinan siapa penyandang dana itu : Tim 8 atau orang lain. Kemungkinan pertama, yakni dana dari Tim 8 telah terpatahkan dengan pernyataan Maman S Mahayana, yang sekaligus akan mengembalikan honornya sebesar Rp 25 Juta.

Berarti pendanaan buku ini dari orang lain, sebut saja Mr.X. Tentu hal ini kita patut acungi jempol, karena pasti dia dermawan dan sangat peduli dengan sastra, khususnya puisi. Biaya penerbitan buku ini, dari persiapan, diskusi, honor para penulis, cetak, launching, promosi, publikasi dan distribusinya tentu menelan biaya ratusan juta rupiah.

Namun, jika, buku ini didanai oleh Denny JA, maka yang terjadi adalah tragedi karena seseorang yang belum terbukti kapasitasnya sebagai tokoh, bahkan penyair, telah melakukan onani sastra dengan menobatkan dirinya sendiri sebagai “Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”.

Sangat menyesakkan hati menyaksikan betapa mudahnya para sastrawan dan kritikus itu mengorbankan dirinya sendiri, seolah sebagai martir, bagi sebuah obsesi orang lain. Entah, jika menjadi martir ini sepadan dengan imbalan dan fasilitas yang telah dan akan diterimanya, sehingga tak mempedulikan penilaian serta dampak sosialnya bagi masyarakat sastra. Masyarakat yang membesarkan nama mereka, memberi udara kata-kata, dimana mereka sendiri juga menjadi bagian di dalamnya sebagai orang sastra.

Sangat menyesakkan pikiran menyaksikan betapa mudahnya seseorang melakukan riset hanya dengan membaca sebuah antologi puisi, mencomot beberapa puisi untuk dibaca orang lain dengan perbandingan puisi lain (puisi lama), lalu meminta pendapat responden tersebut. Dari situ ia menarik kesimpulannya sendiri sebagai hasil riset, menjadi argumentasi bagi karyanya yang dibaptis para sastrawan dan kritikus ternama sebagai genre baru. Setidaknya sebagai “Puisi Esai Kemungkinan Baru Puisi Indonesia”, seperti judul buku yang diterbitkan Jurnal Sajak, Januari 2013 dengan editor Acep Zamzam Noor.

Semua ini tentang cara, tingkah laku dan etika sebagai manusia. Jangan pula lalu dipolitisir menjadi sikap diskriminatif, menyamakan para penentang buku seperti sekelompok ormas yang membawa panji agama dan amarah, memberangus demokrasi dengan membuat petisi atau simpul lain yang jauh dari kesusastraan. Itu pengalihan opini murahan yang mudah diterka dan akan jadi tertawaan.

Tidak sesimpel itu, karena soal perasaan bukanlah sekedar kumpulan sampel.

Pembuatan 5 film yang disebut sebagai transformasi buku Atas Nama Cinta, penerbitan 9 buku puisi esai (plus buku 23 Penyair Kondang Indonesia yang saat tulisan ini dibuat konon sedang naik cetak) atau lomba-lomba puisi bukan serta merta menjadi seseorang sah sebagai penggagas Puisi Esai, melahirkan genre baru. Itu tak ubahnya calon gubernur atau calon walikota mengadakan turnamen sepakbola, bagi-bagi sembako, bagi-bagi kalender, pasang baliho atau menempelkan poster di pepohonan sebagai tanda ia peduli rakyat. Tentu tujuannya agar ia terpilih atau dipilih lagi.

Menjadi sastrawan, apalagi Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh bukanlah seperti jadi kepala daerah dengan satu kali putaran saja. ***

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.


(Sajak “Orang-orang Miskin, karya Rendra)

---
sumber : https://www.facebook.com/notes/yo-sugianto/riset/10152251207394310

Kamis, 13 Februari 2014

TENTANG ANALOGI KAPAL DAN KEJUJURAN

Oleh : Maman S Mahayana 

Maman S. Mahayana
Analogi adalah persamaan atau persesuaian dua hal atau benda yang berlainan. Bisa juga dirumuskan lebih longgar sebagai kesamaan sebagian ciri antara dua benda atau hal yang dapat digunakan sebagai bahan perbandingan (lihat KBBI). Manusia, misalnya, bisa saja dianalogikan dengan binatang atau benda yang lalu dicari kesamaan ciri atau karakteristiknya. Majas ini bisa juga dimanfaatkan untuk melakukan pembenaran atau tindak manipulasi. Sebutlah, misalnya, sebuah tindak korupsi atau perampokan bank. Bisa saja si koruptor atau perampok itu menganalogikan dirinya sebagai Robinhood atau si Pitung. Alasannya, hasil korupsi atau perampokan itu digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Dapatkah korupsi dan perampokan digunakan untuk melakukan pembenaran? Benarkah uang itu akan dipakai untuk kesejahteraan rakyat, dan tidak untuk kepentingan pribadi atau keluarga?

Sebuah usaha mendirikan koperasi, misalnya, bisa saja dianalogikan dengan sebuah kereta yang hendak berangkat ke kota tertentu. Di sana, ada tujuan yang sama, juga ada penumpang yang sama. Bagaimanakah jika sesudah koperasi itu berdiri dan kepala koperasi melakukan korupsi, apakah penganalogian dengan kereta api itu masih relevan? Misalnya, kepala koperasi sebagai masinis gila dan anggota koperasi sebagai penumpang kereta. Apakah para penumpang itu akan tetap loyal duduk manis di dalam kereta, meski mereka tahu, masinisnya gila. 

Sebuah usaha yang mulia, tentu saja perlu dikomandani oleh seseorang yang berhati mulia dan jujur. Banyak contoh tentang usaha atau perjuangan mulia dianalogikan dengan kapal yang hendak melayari laut. Mengapa usaha atau perjuangan mulia kerap dianalogikan dengan pelayaran sebuah kapal? Inilah hebatnya profesi kapten kapal. Ia terikat oleh sumpah jabatan, bahwa penumpang akan selamat sampai tujuan. Maka jika terjadi badai, kapten kapal adalah orang yang terakhir menyelamatkan diri. Ia punya integritas dan jujur pada profesinya. Para penumpang, sejak menaiki tangga kapal, percaya penuh pada integritas dan kejujuran Sang Kapten Kapal. Ia diyakini tidak akan berbohong pada profesi dan hati nuraninya.
Mengusahakan sebuah buku antologi tentu saja bisa juga dianalogikan dengan kapal dan kapten kapalnya. Tetapi, bagaimana jika di sana ada penumpang gelap dan kapten kapal sejak awal sudah berniat melakukan pembohongan? Masih relevankah analogi itu? Kapten kapal, seperti juga dokter, misalnya, terikat oleh sumpah profesi. Apakah para penumpang atau pasien harus tetap setia, meski tahu bahwa kapten kapal itu sesungguhnya perompak dan dokter itu telah melacurkan profesinya?

***
Saya bersama Maman S. Mahayana
Tulisan adalah representasi pribadi. Sebuah tulisan mencerminkan diri penulisnya sebagai sosok yang berwawasan atau tidak; jujur atau tidak; berkepribadian atau sekadar terompet seseorang. Penulis profesional yang mengabdi pada integritas profesinya, selalu punya kesadaran pada reputasi dan kesungguhan agar dirinya tetap menjadi penulis terpercaya. Maka, dalam sebuah buku antologi, setiap penulis harus bebas dan mandiri, tidak terkooptasi kepentingan pihak lain, tidak dapat diinfiltrasi oleh pesanan-pesanan ideologi. 
Bagi penulis atau sastrawan, karya yang dihasilkannya adalah representasi dirinya dalam sikap, integritas, dan kemandiriannya yang bebas dari pesanan atau keinginan melayani seseorang. Dikatakan Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah esainya, “Kesusastraan yang harus melayani masyarakat tidak bedanya dengan pelayan di restoran yang harus memuaskan langganannya... Ini adalah kesusastraan yang boleh dinikmati sambil makan-angin: kenikmatan yang murah.” Maka, penulis sejati, tak hendak menjadi pelayan restoran yang menulis sekadar memenuhi pesanan, transaksi atau rekayasa.

Dalam konteks itu, ketua editor atau ketua tim, harus punya kesadaran, bahwa posisinya sebagai ketua editor atau ketua tim, adalah kepercayaan bahwa dirinya dapat dipercaya dan menempatkan kejujuran inheren dengan tanggung jawab. Ia berkewajiban menyuarakan kejujuran dan kebenaran yang terjadi dalam proses penulisan. Ia tak melakukan penghilangan atau pemanipulasian kebenaran. Para penulis dalam antologi itu sejak awal juga berkewajiban mendasari langkahnya pada niat mulia, mandiri, dan tekad menjunjung integritas sebagai penulis sejati. Maka, penulis sejati tak hendak menyelusupkan pesanan, tidak melacurkan diri dan berkhianat pada profesinya, dan menjaga kebenaran sebagai sikap profesional dan bentuk integritas pada profesi. 
Mengingat masing-masing penulis bertanggung jawab atas apa yang ditulisnya, dan ketua tim berfungsi administratif dan koordinatif, maka setiap penulis dalam tim itu juga berkewajiban menjaga kejujuran dan kebenaran. Setiap penulis dalam tim itu berkewajiban pula mengingatkan jika terjadi pemanipulasian atau pemelintiran kebenaran oleh satu atau sejumlah penulis yang tergabung dalam tim itu, dan tidak melakukan pembiaran. Berdiam diri melihat dan mengetahui terjadinya kebohongan atau ketidakbenaran atau penyelewengan sama halnya dengan membiarkan kebohongan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, atau penyelewengan berkeliaran di depan mata.

Inilah pesan kaum romantik pada diri para sastrawan: “Tuhan bertahta jauh dalam batinku yang megah.” Puisi (: sastra, karya tulis) adalah suara kejujuran yang menyampaikan kebenaran. Di sana, ada cahaya ilahi. Maka pernyataan: “Aku laksana Tuhan dalam pikiranku yang terdalam,” atau “Tuhan bertahta jauh dalam jiwaku” bermakna sebagai aku pencipta kebenaran menurut hati dan pikiranku yang jujur, maka suaraku memancarkan cahaya ilahi.

Begitulah, seorang sastrawan atau penulis sejati, berkewajiban menempatkan kejujuran dan kebenaran sebagai sikap dan integritas pada profesi. Lantaran penulis sejati hendak menyampaikan kebenaran, maka penulis yang melakukan kebohongan dan pemanipulasian tidak menjalankan tugasnya sesuai hati nurani. Bukankan yang dimaksud (hati) nurani (Arab: nuroniy) bermakna bersifat kecahayaan. Kata nurani dapat diperlakukan sebagai metafora untuk menunjukkan, bahwa di sana ada cahaya, dan cahaya itu representasi Tuhan. Penulis, sastrawan, atau seseorang dengan profesi apa pun berkewajiban menjaga kejujuran dan kebenaran dalam menjalankan tugasnya sesuai hati nurani, karena dari sanalah cahaya Tuhan memancar, dan tidak sebaliknya!

---
Sumber : https://www.facebook.com/l.php?u=https%3A%2F%2Fwww.facebook.com%2Fmustatiroh.atibik.5%3Fref%3Dpymk%26fref%3Dpymk&h=OAQF0ASW7&enc=AZM3ro00ZWOP_N238EdqXlDOKbrqbS7dUKaGzSoMz0J-B1E8jG7YC0ZfdMNDFGtusHMXV45VXNYOo6HoY_9nq7CsVFkq2SK43jXuVpC7xJZZmYH2uEfENwbz3yUdOP5kaQw8nlvFg1P8dVozSbOxZD13wpISWFElEj1B7KyXow3jXCeYlRRVFEcrKNtX4LcDSXXc4F_12npGu4ZmoXQrW7RfX3qN0bd9-nj2fqEJIVjHbOsHzPF_mbzCewFWwPI005kDQ0jcYEs3FLhsCVb919D6RSiX32EbVd9GwZ1rItVbLw 

Minggu, 09 Februari 2014

ABDUL HADI WM

Abdul Hadi WM
Oleh : ChenChen Gayatri W Mutahari 

Orang yang paling berjasa mengantarkan aku ke dunia pemikiran dan aktivitas seperti sekarang adalah ayahku. Sekalipun ayahku dibesarkan sebagai seorang Muhammadiyah, ikut mendirikan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pada tahun 1964, dan dalam keluarganya yang Muhammadiyah tidak mengadakan tahlilan, tetapi ayahku adalah orang yang paling pluralis, paling liberal, dan paling modernis sekaligus paling tradisional yang pertama kali kukenal dalam hidupku. 

Ayah mertuanya adalah seorang penganut Kejawen dan sebelumnya tidak taat solat lima waktu; mereka biasa berdiskusi panjang lebar tentang filsafat, budaya dan sastra; dan sekarang seluruh buku filsafat dan budaya milik kakekku diwariskan kepadanya. Keluarga ibuku melakukan tahlilan, seperti kebanyakan orang Jawa, dia mengikuti majlis taklim ala NU; sepulang dari sekolah di SD Muhammadiyah, aku dipanggilkan guru mengaji berlatarbelakang NU.

Kata ayahku, kakek buyutnya adalah pengikut tarekat Sufi aliran Abdul Qadir Jaelani, sedangkan kakeknya sendiri adalah salah satu pendiri cabang Muhammadiyah di Sumenep. Itulah sebabnya ayahku sangat tertarik kepada sufisme atau tassawuf; dan kemudian mendalaminya. Ayahnya sendiri selain saudagar atau pedagang, juga adalah seorang guru bahasa Jerman. Konon, kakeknya yang Muhammadiyah sering mendapat “wangsit”; di antaranya pernah disuruh berjalan kaki jauh sampai di suatu tempat lalu berhenti disuruh membangun mesjid di situ. Soal “wangsit” ini juga menurun pada ayahku, konon begitu, ayahku sering bermimpi dan menjadi kenyataan. Pernah juga ayahku menderita sakit aneh yang menghilangkan suaranya sebagai penyair. Dia kemudian bermimpi dan diajarkan membuat ramuan aneh untuk diminum. Dia mengikuti mimpi itu dan suaranya pun kembali.

Pada waktu aku masih SD, dan ayahku menjadi ketua di Dewan Kesenian Jakarta, aku ingat rumahku selalu ramai dikunjungi tamu pada malam hari. Seniman, sastrawan, kyai, mahasiswa dari berbagai aliran dan ideologi datang ke rumahnya. Gus Dur di antaranya. Setiap lebaran ayahku akan mengajak kami bertandang ke rumah tiga sastrawan sahabatnya: Mottinggo Busye, sahabatnya yang seorang Syiah taat, Slamet Sukirnanto sahabatnya yang Muhammadiyah, dan Taufiq Ismail yang semua orang tahu kepenyairannya yang kuat Islam-nya. Mottinggo dan ayahku saling mengatakan kalau mereka adalah sahabat dunia dan akhirat.

Salah satu adik ayahku adalah seorang pencari kebenaran yang serius, mereka konon sering bertengkar, tetapi ayahku sebenarnya sangat mencintai dia. Almarhum adik ayahku ini bahkan pernah menjadi anggota Ahmadiyah; tetapi apakah ayahku pernah mengatakan bahwa dia menjadi orang yang sesat dan kafir? Tentu saja tidak! Bahkan, walaupun adik ayahku kemudian bercerai dengan istrinya yang juga seorang Ahmadiyah, ayahku terus mencari keberadaan mantan adik iparnya ini untuk mengetahui keadaan keponakannya. Setelah bertahun-tahun akhirnya bertemu, dan ayahku sayang sekali kepada sepupuku dan anak-anaknya, tak peduli mazhab mereka apa.

Ayahku juga tidak terlalu suka ketika aku bertengkar dengan sepupuku seorang manhaj salafi. Katanya, biarkan saja. Sepupuku ini adalah anak dari adiknya ibuku. Setiap orang bebas memeluk mazhab apa pun katanya. Jadi, seingatku, ayahku ini tidak pernah sekalipun mengkafirkan atau menyesatkan Muslim dari aliran apapun. Prinsipnya inilah yang juga jadi peganganku.

Waktu aku dikirim ke Roma, Italia, tentu ayahku senang sekali. Tetapi, dia juga lebih bangga waktu adikku mendapat beasiswa di Perancis untuk kuliah “bidang yang sekuler”, dan adik bungsuku bisa bolak-balik dikirim ke China karena fasih berbahasa Mandarin. Pada waktu kami kecil, dia bersikeras adikku harus bisa bahasa Mandarin, dan aku diharapkan bisa berbahasa Arab. Tetapi, sayang aku ini orang yang tidak serius belajar.

Beberapa waktu lalu, ketika penerimaan Habibie Award, ayahku bertemu dengan Romo Magnis, dan walau baru sekali itu mereka bertemu, ayahku langsung memeluknya. Aku ingat ayahku dari dulu selalu datang ke rumah saudara kami yang merayakan Natal. Tidak pernah ada ribut-ribut soal mengucapkan selamat Natal. Aku ingat ayahku bercerita tentang kenangan masa kecilnya melihat pesta Imlek. Malah waktu SD, salah satu buku pemberian ayahku berisi Hari Raya dari berbagai agama dari berbagai negara; buku itu sangat membuatku penasaran untuk mengetahui hari raya berbagai agama di dunia. Sikap ayahku sangat inklusif tentu saja, walaupun dia sendiri tidak mau ada anak atau anggota keluarganya yang memeluk agama lain. Tetapi, kepada saudara yang berbeda agama, dia tidak pernah sekali pun mengajarkan kepada kami untuk menjelek-jelekkan apalagi menjauhi mereka.

Sebagai seorang yang dibesarkan di Muhammadiyah, ayahku bahkan sekarang sangat dekat dengan Iran, dan menjadi ketua perhimpunan persahabatan Indonesia-Iran. Banyak yang mengira ayahku telah memeluk Syiah, sampai kemudian ada yang melihat foto ayahku ketika sholat yang kupotret. Ayahku selalu bilang kalau nenek buyutnya ada yang berdarah Yunnan, jadi ada yang berdarah Persia dan Turki. Pantas jika ayahku sangat senang mendalami kebudayaan Persia, selain juga China.

Jadi, ayahku ini selalu menekankan untuk mengingat leluhur walaupun jaraknya sudah jauh sekali. Dia juga tidak pernah melarang aku bergaul dengan siapapun; tidak pernah melarang aku terpengaruh oleh pemikiran manapun; karena dia sendiri tidak pernah menghina atau mencela berbagai pemikir Islam, baik yang dianggap sebagai Muslim liberal maupun Muslim fundamentalis. Ayahku bersahabat dengan almarhum Cak Nur; tetapi dia tidak pernah meneladankan sikap padaku untuk menghina orang-orang seperti Abu Bakar Ba’asyir. Misalnya, pada kasus Mesir, ayahku tidak mau menyerang pihak Ikhwanul Muslimin; orang yang tidak paham akan kesulitan membaca sikap ayahku sebenarnya dia berada pada pihak yang mana.

Dia punya teman baik para habaib, juga para syaikh dan para pejabat; kalau dia mau dia bisa juga tercatat dalam kekeluargaan sebuah keluarga bangsawan kerajaan. Dia pernah juga pada tahun 1999 mencalonkan diri sebagai caleg PPP di Jawa Timur, tetapi sekarang dia menjauh dari hangar binger politik yang keras. Akan tetapi, dari kecil dia mengajarkan kepadaku bahwa setiap manusia itu sederajat, tidak ada keturunan yang lebih mulia daripada yang lainnya. Sikapnya yang demikian mengajarkan aku untuk tidak mudah taklid buta dan menghormati secara wajar kepada sesama manusia, sekalipun dia seorang keturunan ningrat, ulama, guru besar atau tokoh hebat. Ayahku juga tidak pernah menegur atau marah kepadaku kalau aku mengkritik sahabat, teman, atau tokoh dari afiliasinya, seperti PPP, seperti Suryadharma Ali.

Jadi, ayahku benar-benar memberikan suatu sikap dan keteladanan kepadaku untuk berpikir rasional dan bebas; memberikan ruang bagi kami untuk mempunyai pendapat kami masing-masing; memberikan kebebasan kepada kami untuk memilih Jalan kami masing-masing. Di waktu yang sama, juga mengajarkan untuk menghormati dan bersikap baik penuh kasih-sayang kepada setiap orang apapun keyakinan dan pilihan agamanya. Terutama, kepada sesama Muslim, sesama Muslim itu bersaudara, apapun mazhab mereka. Walau berbeda pendapat dan pandangan, tidak boleh saling mengkafirkan.



ChenChen Gayatri WM (Penulis, Putri Penyair Abdul Hadi WM)

Sumber : https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10203208235708409&set=a.1121605082020.20499.1283854047&type=1 

Tubuh Matahari

tubuh matahari di matamu kuning langsat tetiba hadir di rumahku tanpa salam pun pesan kau terus menyediakan angan bagi pertapa yang kensunyi...