Minggu, 16 Februari 2014

RISET

Oleh Johannes Sugianto 

Yo Sugianto





Tanggunganku, rindu punguk. Berbeban kayu gandar dan lengkung kuk
Aku lembu penarik. Kuseret serat terbaik untuk bulan setengah hilang

Pada malam di luar pagar, kusyairkan aneka kenangan liar
Yang mencambukku tanpa irama, sepanjang jalan mendaki ke huma

O, tandukku, Sepasang lengan kesombonganku. Yang kukuh hanya
garis mimpi. Di hadapan bulan, ia menekur semak rumput,
mensyukuri nikmat maut.

dan punggungku, rimbun lembut kecup ibu, bertabah pada semua
yang berubah. Tak ada yang berat dan berarti melelahkannya. Mengalahkannya

sepanjang jalan ke huma, roda pedati bergerak-berderak seperti usia.
aku lembu penarik, di bawah bulan setengah hilang, terengah tertatih

2011


(Puisi “Lembu” karya Dedy Tri Riyadi)
 
Saya dan Dedy Tri Riyadi

Tak tahu tepatnya kapan rapat itu diadakan, atau mungkin tak pernah ada rapat, berapa jumlah pesertanya, adakah moderator dan notulen. Tapi kita asumsikan rapat itu pernah ada pada tahun 2012, karena punya fokus dan makna yang penting.

Fokus itu pada penelitian yang diadakan secara terbatas oleh Denny Januar Ali, seorang aktivis, yang lalu menjadi tokoh ternama yang pernah dinobatkan oleh sebuah majalah sebagai the king maker politik Indonesia.

Riset itu mengambil sampel 5 puisi dari media ternama di Indonesia (disebutnya kemudian koran yang paling besar oplahnya saja) dengan rentang waktu sejak Januari – Desember 2011. Sampel itu, katanya, representasi dari puisi yang diseleksi oleh koran yang paling besar oplahnya. Ini bisa diasumsikan, pemilihan lima puisi itu diambil dari sebuah buku antologi puisi yang diterbitkan oleh koran terbesar oplahnya itu.

Hal ini bisa diartikan, karena sudah diputuskan oleh DJA yang bergelar Ph.D di bidang comparative politics dan business history dari Ohio State University, Amerika Serikat, maka koran itu dianggapnya sudah mewakili semua puisi yang ada di seluruh koran dari Sabang sampai Merauke.

Pemilihan metode penelitian itu jauh berbeda dengan pola yang pernah dilakukan dalam kegiatan lain, meski tidak untuk memetakan wajah puisi masa kini. Lomba Pena Kencana misalnya. Mereka menilai puisi dan cerpen terbaik berdasarkan karya yang sudah dimuat di media cetak dalam kurun satu tahun. Medianya dari seluruh penjuru Nusantara, tentu yang punya Rubrik Puisi dan Cerpen, baik dengan judul rubrik tersendiri atau  cuma dengan nama Rubrik Budaya, Rubrik Seni atau masuk dalam Rubrik Hiburan.

Lalu lima puisi itu diberikan kepada tiga kelompok pembaca dengan background strata pendidikan yang berbeda : pendidikan tinggi (sarjana ke atas : S1, S2 dan S3), pendidikan mengengah (hanya tamat SMU dan SMP), dan pendidikan rendah (hanya tamat SD). Masing-masing kelompok terdiri dari lima orang. Mereka pun diberi perbandingan puisi “Aku” (Chairil Anwar) dan “Khotbah (Rendra).

Tidak diketahui pula atas dasar apa pemilihan karya Chairil dan Rendra yang masing-masing satu puisi, dan kenapa tidak disertakan puisi lain semisal “Pahlawan Tak Dikenal” (Toto Sudarto Bachtiar) atau puisi indah “Hujan Bulan Juni” (Sapardi Djoko Damono).

Jadi, hasil penelitian itu sangat penting, dan tentunya juga sangat valid. Bagaimana tidak, DJA adalah pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang sudah melakukan riset ratusan kali. “Riset yang saya buat di LSI bahkan mampu memprediksi apa yang belum terjadi, seperti pemenang pemilu legislatif dan presiden 2009 tempo hari,”ujarnya suatu ketika.

“Kali ini saya mencoba melakukan riset dengan sampel dan tujuan yang lebih terbatas di dunia puisi,”tambahnya lagi.

Meski disebut sebagai riset dan tujuan yang lebih terbatas di dunia puisi, tapi di tangan seorang DJA tentu lain maknanya. Beda jika itu dilakukan mahasiswa yang ingin segera lulus, lalu mengutip berbagai pendapat dari para ahli sosial atau sastrawan ternama, agar kelihatan keren dan tebal saat dicetak. Maka, bisa dipastikan riset oleh DJA itu pasti teliti, kredibel dan bisa jadi master piece lain dari sekian ratus riset yang sudah dilakukan lembaganya.

Meriset dunia puisi itu pekerjaan yang luhur, banyak manfaatnya bagi pelaku dan penggemar sastra. Masih banyak sastrawan yang belum ditulis secara komprehensif seperti Muhammad Yamin, Amir Hamzah, Sitor Situmorang, Gerson Poyk atau Sutan Takdir Alisyahbana. Referensi tentang mereka lebih mudah didapat dari kepustakaan atau lembaga asing.

Hasil riset itu akan berguna bagi masyarakat sebagai pembaca, penikmat dan pembeli buku karya para penyair. Masyarakat adalah “orang tua” bagi karya penyair. Sedang penyair melahirkannya. Seperti apa bayi puisi itu nantinya, masyarakat yang akan merawat dan membesarkannya.

Riset terbatas itu ternyata menghasilkan kesimpulan bahwa puisi masa kini sulit dipahami, karena bahasanya njlimet. Bahkan yang tamat pendidikan tinggi pun tidak mengerti dan tidak memahami puisi yang dijadikan sampel itu.

Njlimet-nya itu, begitu bunyi riset yang kemudian diulang dan diulang oleh DJA atau Ahmad Gaus dalam berbagai kesempatan, akibat “penyair masa kini hanya sibuk dengan imajinasi dan kesepiannya sendiri.” Seolah semakin sulit dipahami, semakin tinggi mutu dan kualitas puisi. Mereka memiliki komunitas yang saling memuji bahasa rumit itu. “Lengkaplah mereka semakin terasing dari masyarakatnya yang lebih luas.”

Beranjak dari hasil riset terbatas itulah DJA lalu menarik kesimpulan, yang tidak dijelaskan apakah juga lewat riset lagi, bahwa masyarakat butuh puisi yang mudah dimengerti dan dipahami. Masyarakat merindukan puisi yang lebih peduli kepada publik luas, di luar diri dunia para penyair itu sendiri.

Kesimpulan itu diperkuat lagi dengan sumber lain yakni pakar puisi, John Barr yang memimpin dan menerbitkan majalah puisi ternama yang kini  sudah berusia seratus tahun.

Lalu DJA pada Maret 2012 mengeluarkan buku puisi “Atas Nama Cinta”, yang tak hanya diedarkan dalam versi cetak, tapi juga dibuatkan versi mobile web. “Oleh sebagian, buku itu dianggap sebagai tonggak yang membawa sastra ke era sosial media,”kata DJA.

Pengertian sebagian itu tak pernah dijelaskan oleh DJA apakah sekelompok orang saja, apakah hanya bawahannya di LSI atau mereka yang bekerja di 20 perusahaan miliknya, ataukah sekian persen masyarakat Indonesia?.

Begitu juga tonggak yang membawa sastra ke era sosial media. Klaim yang menunjukkan bahwa DJA tak tahu atau sengaja menguburkan fakta bahwa bicara sosial media, para penyair sudah melakoninya meski sekian tahun lalu belum ada facebook atau twitter. Mereka, yang sering disebut penyair cyber memiliki grup dengan ratusan bahkan ribuan members, baik lewat multiply, yahoo atau membuat web sendiri.

Mereka juga mengadakan pertemuan atau kopi darat, bahkan menerbitkan buku karya para members-nya. Tentu bukan buku yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), tapi hasil patungan para members-nya. Dari grup-grup itu juga terlahir para penyair yang lalu menerbitkan karyanya dalam bentuk buku puisi, dimuat di media cetak atau memposting di blog masing-masing.

Entah, apakah puisi “Lembu” di atas tulisan ini termasuk lima puisi yang jadi sampel riset kecil DJA atau tidak. Satu hal yang jelas, puisi karya Dedy Tri Riyadi ini dimuat di Kompas, yang merupakan koran dengan oplah terbesar di Indonesia, pada tahun 2011.

Ajaibnya, lewat karya yang belum berusia dua tahun sejak diterbitkan, dan oleh DJA disebut sebagai puisi-esai, diakui dan diyakini sebagai kebenaran oleh sebuah tim juri yang disebut Tim 8. Bahkan DJA dinobatkan sebagai salah satu dari “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” (yang dipakai sebagai judul buku).

Pengakuan itu tentu tak sembarangan. Selain mempertaruhkan reputasi Tim 8 (yang setelah buku itu terbit dan beredar, salah satu anggotanya yakni Maman S Mahayana menyatakan menarik 5 esainya yang ada di buku itu), juga dianggap memenuhi empat kriteria Tim 8 bagi seorang sastrawan untuk diakui Tokoh Sastra Paling Berpengaruh.

Salah satu kriteria itu adalah sosok yang menempati posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru, yang kemudian melahirkan pengikut, penggerak, atau bahkan penentang, dan akhirnya menjadi semacam konvensi, fenomena, dan paradigma baru dalam kesusastraan Indonesia.

Dari mana awal mulanya Tim 8 ini dibentuk, belum terang benderang hingga kini. Berdasarkan pengakuan Maman S Mahayana, ia diundang sebagai salah anggota tim untuk menggarap sebuah buku yang sesuai email dari Jamal D.Rahman (Pemimpin Redaksi majalah Horison, dan menjadi Ketua Tim 8) merupakan kegiatan formal yang dilaksanakan oleh PDS HB Jassin. Dalam proyek ini PDS HB Jassin memberikan mandat kepada Jamal D Rahman untuk mengkoordinir kegiatan dimaksud.

Belakangan, seperti dimuat di berbagai media massa, pernyataan dalam email kepada Maman itu dibantah oleh Ariany Isnamurti, Kepala Pelaksana PDS HB Jassin yang menyatakan bahwa PDS H.B. Jassin tidak terlibat sama sekali dengan proses penyusunan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, baik dalam hal keberadaan tim penyusun (Jamal D Rahman dkk) yang sering disebut Tim 8, pemilihan 33 sastrawan yang dimaksud dalam buku tersebut, maupun penentuan judul dan ungkapan persembahan: “Diterbitkan Untuk PDS H.B. Jassin”. “Semua itu adalah urusan tim penyusun/Tim 8,” demikian pernyataan itu.

Hingga kini belum ada tuntutan apapun dari PDS HB Jassin terkait masalah itu, minimal meminta Jamal D.Rahman untuk memberikan penjelasan bahwa email Maman itu tidak benar, bahwa ia tak pernah menyatakan mendapatkan kuasa membuat proyek itu.

Akankah perkara ini dibikin gelap saja, dipetieskan kayak kasus-kasus korupsi, hanya karena pertemanan?. Padahal dari sinilah titik tolak adanya Densus eh maaf Tim 8?. Bukan tak mungkin ada anggota tim yang juga turut terlibat karena tahu (baca : diberitahu) bahwa ini proyek dari PDS HB Jassin. Ini bisa menjadi pendidikan yang tidak baik bagi kalangan sastrawan, karena pembiaran menggunakan nama sebuah lembaga sehebat PDS HB Jassin.

Sama gelapnya juga, darimana sumber dana penerbitan itu. Apakah dari KPG, sebagai penerbitan terkemuka di Indonesia?. Sebab di halaman depan buku itu tertulis “Diterbitkan untuk Pusat Dokumentasi HB Jassin” yang terletak di bawah nama-nama penulis buku (Tim 8) dan paling bawah tertulis Jakarta; KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Jika disebut “Diterbitkan untuk PDS HB Jassin”, bisa diartikan itu proyek dari PDS HB Jassin yang dicetak dan diterbitkan oleh KPG. Namun hal ini sudah dibantah bahwa buku ini bukanlah proyek PDS HB Jassin, yang hanya memberikan sambutan dalam buku dan menjadi tempat peluncurannya. Apakah ini persembahan KPG untuk dunia sastra Indonesia, belum ada penjelasan resmi dari KPG yang merupakan bagian dari rantai bisnis konglomerat media tersebut.

Jika nantinya KPG pun memberi bantahan serupa dengan PDS HB Jassin, maka tinggal dua kemungkinan siapa penyandang dana itu : Tim 8 atau orang lain. Kemungkinan pertama, yakni dana dari Tim 8 telah terpatahkan dengan pernyataan Maman S Mahayana, yang sekaligus akan mengembalikan honornya sebesar Rp 25 Juta.

Berarti pendanaan buku ini dari orang lain, sebut saja Mr.X. Tentu hal ini kita patut acungi jempol, karena pasti dia dermawan dan sangat peduli dengan sastra, khususnya puisi. Biaya penerbitan buku ini, dari persiapan, diskusi, honor para penulis, cetak, launching, promosi, publikasi dan distribusinya tentu menelan biaya ratusan juta rupiah.

Namun, jika, buku ini didanai oleh Denny JA, maka yang terjadi adalah tragedi karena seseorang yang belum terbukti kapasitasnya sebagai tokoh, bahkan penyair, telah melakukan onani sastra dengan menobatkan dirinya sendiri sebagai “Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”.

Sangat menyesakkan hati menyaksikan betapa mudahnya para sastrawan dan kritikus itu mengorbankan dirinya sendiri, seolah sebagai martir, bagi sebuah obsesi orang lain. Entah, jika menjadi martir ini sepadan dengan imbalan dan fasilitas yang telah dan akan diterimanya, sehingga tak mempedulikan penilaian serta dampak sosialnya bagi masyarakat sastra. Masyarakat yang membesarkan nama mereka, memberi udara kata-kata, dimana mereka sendiri juga menjadi bagian di dalamnya sebagai orang sastra.

Sangat menyesakkan pikiran menyaksikan betapa mudahnya seseorang melakukan riset hanya dengan membaca sebuah antologi puisi, mencomot beberapa puisi untuk dibaca orang lain dengan perbandingan puisi lain (puisi lama), lalu meminta pendapat responden tersebut. Dari situ ia menarik kesimpulannya sendiri sebagai hasil riset, menjadi argumentasi bagi karyanya yang dibaptis para sastrawan dan kritikus ternama sebagai genre baru. Setidaknya sebagai “Puisi Esai Kemungkinan Baru Puisi Indonesia”, seperti judul buku yang diterbitkan Jurnal Sajak, Januari 2013 dengan editor Acep Zamzam Noor.

Semua ini tentang cara, tingkah laku dan etika sebagai manusia. Jangan pula lalu dipolitisir menjadi sikap diskriminatif, menyamakan para penentang buku seperti sekelompok ormas yang membawa panji agama dan amarah, memberangus demokrasi dengan membuat petisi atau simpul lain yang jauh dari kesusastraan. Itu pengalihan opini murahan yang mudah diterka dan akan jadi tertawaan.

Tidak sesimpel itu, karena soal perasaan bukanlah sekedar kumpulan sampel.

Pembuatan 5 film yang disebut sebagai transformasi buku Atas Nama Cinta, penerbitan 9 buku puisi esai (plus buku 23 Penyair Kondang Indonesia yang saat tulisan ini dibuat konon sedang naik cetak) atau lomba-lomba puisi bukan serta merta menjadi seseorang sah sebagai penggagas Puisi Esai, melahirkan genre baru. Itu tak ubahnya calon gubernur atau calon walikota mengadakan turnamen sepakbola, bagi-bagi sembako, bagi-bagi kalender, pasang baliho atau menempelkan poster di pepohonan sebagai tanda ia peduli rakyat. Tentu tujuannya agar ia terpilih atau dipilih lagi.

Menjadi sastrawan, apalagi Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh bukanlah seperti jadi kepala daerah dengan satu kali putaran saja. ***

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.


(Sajak “Orang-orang Miskin, karya Rendra)

---
sumber : https://www.facebook.com/notes/yo-sugianto/riset/10152251207394310

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tubuh Matahari

tubuh matahari di matamu kuning langsat tetiba hadir di rumahku tanpa salam pun pesan kau terus menyediakan angan bagi pertapa yang kensunyi...