Minggu, 09 Februari 2014

ABDUL HADI WM

Abdul Hadi WM
Oleh : ChenChen Gayatri W Mutahari 

Orang yang paling berjasa mengantarkan aku ke dunia pemikiran dan aktivitas seperti sekarang adalah ayahku. Sekalipun ayahku dibesarkan sebagai seorang Muhammadiyah, ikut mendirikan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pada tahun 1964, dan dalam keluarganya yang Muhammadiyah tidak mengadakan tahlilan, tetapi ayahku adalah orang yang paling pluralis, paling liberal, dan paling modernis sekaligus paling tradisional yang pertama kali kukenal dalam hidupku. 

Ayah mertuanya adalah seorang penganut Kejawen dan sebelumnya tidak taat solat lima waktu; mereka biasa berdiskusi panjang lebar tentang filsafat, budaya dan sastra; dan sekarang seluruh buku filsafat dan budaya milik kakekku diwariskan kepadanya. Keluarga ibuku melakukan tahlilan, seperti kebanyakan orang Jawa, dia mengikuti majlis taklim ala NU; sepulang dari sekolah di SD Muhammadiyah, aku dipanggilkan guru mengaji berlatarbelakang NU.

Kata ayahku, kakek buyutnya adalah pengikut tarekat Sufi aliran Abdul Qadir Jaelani, sedangkan kakeknya sendiri adalah salah satu pendiri cabang Muhammadiyah di Sumenep. Itulah sebabnya ayahku sangat tertarik kepada sufisme atau tassawuf; dan kemudian mendalaminya. Ayahnya sendiri selain saudagar atau pedagang, juga adalah seorang guru bahasa Jerman. Konon, kakeknya yang Muhammadiyah sering mendapat “wangsit”; di antaranya pernah disuruh berjalan kaki jauh sampai di suatu tempat lalu berhenti disuruh membangun mesjid di situ. Soal “wangsit” ini juga menurun pada ayahku, konon begitu, ayahku sering bermimpi dan menjadi kenyataan. Pernah juga ayahku menderita sakit aneh yang menghilangkan suaranya sebagai penyair. Dia kemudian bermimpi dan diajarkan membuat ramuan aneh untuk diminum. Dia mengikuti mimpi itu dan suaranya pun kembali.

Pada waktu aku masih SD, dan ayahku menjadi ketua di Dewan Kesenian Jakarta, aku ingat rumahku selalu ramai dikunjungi tamu pada malam hari. Seniman, sastrawan, kyai, mahasiswa dari berbagai aliran dan ideologi datang ke rumahnya. Gus Dur di antaranya. Setiap lebaran ayahku akan mengajak kami bertandang ke rumah tiga sastrawan sahabatnya: Mottinggo Busye, sahabatnya yang seorang Syiah taat, Slamet Sukirnanto sahabatnya yang Muhammadiyah, dan Taufiq Ismail yang semua orang tahu kepenyairannya yang kuat Islam-nya. Mottinggo dan ayahku saling mengatakan kalau mereka adalah sahabat dunia dan akhirat.

Salah satu adik ayahku adalah seorang pencari kebenaran yang serius, mereka konon sering bertengkar, tetapi ayahku sebenarnya sangat mencintai dia. Almarhum adik ayahku ini bahkan pernah menjadi anggota Ahmadiyah; tetapi apakah ayahku pernah mengatakan bahwa dia menjadi orang yang sesat dan kafir? Tentu saja tidak! Bahkan, walaupun adik ayahku kemudian bercerai dengan istrinya yang juga seorang Ahmadiyah, ayahku terus mencari keberadaan mantan adik iparnya ini untuk mengetahui keadaan keponakannya. Setelah bertahun-tahun akhirnya bertemu, dan ayahku sayang sekali kepada sepupuku dan anak-anaknya, tak peduli mazhab mereka apa.

Ayahku juga tidak terlalu suka ketika aku bertengkar dengan sepupuku seorang manhaj salafi. Katanya, biarkan saja. Sepupuku ini adalah anak dari adiknya ibuku. Setiap orang bebas memeluk mazhab apa pun katanya. Jadi, seingatku, ayahku ini tidak pernah sekalipun mengkafirkan atau menyesatkan Muslim dari aliran apapun. Prinsipnya inilah yang juga jadi peganganku.

Waktu aku dikirim ke Roma, Italia, tentu ayahku senang sekali. Tetapi, dia juga lebih bangga waktu adikku mendapat beasiswa di Perancis untuk kuliah “bidang yang sekuler”, dan adik bungsuku bisa bolak-balik dikirim ke China karena fasih berbahasa Mandarin. Pada waktu kami kecil, dia bersikeras adikku harus bisa bahasa Mandarin, dan aku diharapkan bisa berbahasa Arab. Tetapi, sayang aku ini orang yang tidak serius belajar.

Beberapa waktu lalu, ketika penerimaan Habibie Award, ayahku bertemu dengan Romo Magnis, dan walau baru sekali itu mereka bertemu, ayahku langsung memeluknya. Aku ingat ayahku dari dulu selalu datang ke rumah saudara kami yang merayakan Natal. Tidak pernah ada ribut-ribut soal mengucapkan selamat Natal. Aku ingat ayahku bercerita tentang kenangan masa kecilnya melihat pesta Imlek. Malah waktu SD, salah satu buku pemberian ayahku berisi Hari Raya dari berbagai agama dari berbagai negara; buku itu sangat membuatku penasaran untuk mengetahui hari raya berbagai agama di dunia. Sikap ayahku sangat inklusif tentu saja, walaupun dia sendiri tidak mau ada anak atau anggota keluarganya yang memeluk agama lain. Tetapi, kepada saudara yang berbeda agama, dia tidak pernah sekali pun mengajarkan kepada kami untuk menjelek-jelekkan apalagi menjauhi mereka.

Sebagai seorang yang dibesarkan di Muhammadiyah, ayahku bahkan sekarang sangat dekat dengan Iran, dan menjadi ketua perhimpunan persahabatan Indonesia-Iran. Banyak yang mengira ayahku telah memeluk Syiah, sampai kemudian ada yang melihat foto ayahku ketika sholat yang kupotret. Ayahku selalu bilang kalau nenek buyutnya ada yang berdarah Yunnan, jadi ada yang berdarah Persia dan Turki. Pantas jika ayahku sangat senang mendalami kebudayaan Persia, selain juga China.

Jadi, ayahku ini selalu menekankan untuk mengingat leluhur walaupun jaraknya sudah jauh sekali. Dia juga tidak pernah melarang aku bergaul dengan siapapun; tidak pernah melarang aku terpengaruh oleh pemikiran manapun; karena dia sendiri tidak pernah menghina atau mencela berbagai pemikir Islam, baik yang dianggap sebagai Muslim liberal maupun Muslim fundamentalis. Ayahku bersahabat dengan almarhum Cak Nur; tetapi dia tidak pernah meneladankan sikap padaku untuk menghina orang-orang seperti Abu Bakar Ba’asyir. Misalnya, pada kasus Mesir, ayahku tidak mau menyerang pihak Ikhwanul Muslimin; orang yang tidak paham akan kesulitan membaca sikap ayahku sebenarnya dia berada pada pihak yang mana.

Dia punya teman baik para habaib, juga para syaikh dan para pejabat; kalau dia mau dia bisa juga tercatat dalam kekeluargaan sebuah keluarga bangsawan kerajaan. Dia pernah juga pada tahun 1999 mencalonkan diri sebagai caleg PPP di Jawa Timur, tetapi sekarang dia menjauh dari hangar binger politik yang keras. Akan tetapi, dari kecil dia mengajarkan kepadaku bahwa setiap manusia itu sederajat, tidak ada keturunan yang lebih mulia daripada yang lainnya. Sikapnya yang demikian mengajarkan aku untuk tidak mudah taklid buta dan menghormati secara wajar kepada sesama manusia, sekalipun dia seorang keturunan ningrat, ulama, guru besar atau tokoh hebat. Ayahku juga tidak pernah menegur atau marah kepadaku kalau aku mengkritik sahabat, teman, atau tokoh dari afiliasinya, seperti PPP, seperti Suryadharma Ali.

Jadi, ayahku benar-benar memberikan suatu sikap dan keteladanan kepadaku untuk berpikir rasional dan bebas; memberikan ruang bagi kami untuk mempunyai pendapat kami masing-masing; memberikan kebebasan kepada kami untuk memilih Jalan kami masing-masing. Di waktu yang sama, juga mengajarkan untuk menghormati dan bersikap baik penuh kasih-sayang kepada setiap orang apapun keyakinan dan pilihan agamanya. Terutama, kepada sesama Muslim, sesama Muslim itu bersaudara, apapun mazhab mereka. Walau berbeda pendapat dan pandangan, tidak boleh saling mengkafirkan.



ChenChen Gayatri WM (Penulis, Putri Penyair Abdul Hadi WM)

Sumber : https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10203208235708409&set=a.1121605082020.20499.1283854047&type=1 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tubuh Matahari

tubuh matahari di matamu kuning langsat tetiba hadir di rumahku tanpa salam pun pesan kau terus menyediakan angan bagi pertapa yang kensunyi...