Selasa, 14 Oktober 2014

Demi Peuyeum dan Secangkir Kopi

Bung Karno
Bung Karno tahun 20-an? Susah dan susah. Sekalipun ia pemimpin pergerakan, sekalipun ia “tukang insinyur”, kantong kempes adalah sebuah keseharian baginya. Yang istimewa adalah, ia tidak pernah berkeberatan membantu sahabat. Tak heran bila sahabat-sahabatnya begitu respek kepadanya. Bahkan dalam bahasa yang lebay, bisalah dikatakan, Sukarno begitu disayang oleh teman-temannya.
Salah satu sahabat yang Sukarno ingat, salah satunya adalah Sutoto. Ia kawan kuliah Bung Karno. Dalam kesusahan, Sutoto sering mengajak Bung Karno sekadar minum kopi dan makan peuyeum di kedai murahan, di tengah kota Bandung. Mungkin karena saking seringnya ditraktir, maka suatu hati Bung Karno pun menjanjikan Sutoto traktiran serupa.
Suatu sore, Sutoto datang hendak berunding dengan sang pemimpin pergerakan, ya Sukarno! Untuk mencapai kediaman Sukarno-Inggit, Sutoto harus mendayung sepeda setengah jam lamanya. Lumayan juga. Apalagi setelah menyandarkan sepeda, ia tampak terengah-engah dan mengatakan bahwa ia mendayun sepeda dengan cepat. Ia pun tampak kehausan dan, tentu saja perlu asupan sesuatu pengganti energi mengayuh sepeda tiga puluh menit.
Apa lacur, Bung Karno menyambut Sutoto dengan, “Ma’af To, aku tidak dapat bertindak sebagai tuan rumah untukmu. Aku tidak punya uang….”
Sutoto pun mendesah, “Ahhh… Bung selalu tidak punya uang….”
Keduanya pun duduk terdiam menikmati kebekuan suasana. Sutoto dengan kepayahannya. Bung Karno dengan… entahlah, pikiran yang begitu berkecamuk tentang pergerakan menuju Indonesia merdeka.
Tiba-tiba melitas seorang wartawan naik sepeda dengan tergopoh.
“Heee… mau kemana?” Sukarno berteriak.
“Cari tulisan untuk koranku,” si wartawan pun menjawab sambil berteriak.
“Aku akan buatkan untukmu.”
“Berapa?” tanya si wartawan sambil mengendorkan genjotan pedal sepedanya.
“Sepuluh rupiah.”
Mendengar jawaban Bung Karno, si wartawan tidak menjawab tetapi seperti hendak mempercepat jalan sepedanya. “Oke… lima rupiah!” Tidak juga ada jawaban. Bung Karno pun menurunkan tawarannya, “Dua rupiah bagaimana? Akan kubuatkan tulisan, pendeknya cukuplah untuk mentraktir kopi dan peuyeum! Setuju?”
Si wartawan pun berhenti, dan memutar arah sepedanya, mendekat ke rumah Bung Karno-Inggit. Sementara si wartawan ngobrol dengan Sutoto di serambi rumah, Bung Karno pun menulis seluruh tajuk yang ia janjikan. Dalam waktu lima belas menit, ia sudah menyelsaikan tulisan 1.000 kata untuk si wartawan.
Bagi Bung Karno, tidak ada yang sulit untuk membuat tulisan. Terlalu banyak gagasan dan pikiran serta persoalan politik yang bisa ia tuliskan dengan tanpa mencoret atau mengganti satu kata pun.
Dan, dengan seluruh bayarannya yang dua rupiah itu, Bung Karno pun membawa Sutoto dan Inggit minum kopi serta menikmati peuyeum di sore hari yang cerah. (roso daras)


---
Sumber Copas : https://rosodaras.wordpress.com/2010/12/02/demi-peuyeum-dan-secangkir-kopi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tubuh Matahari

tubuh matahari di matamu kuning langsat tetiba hadir di rumahku tanpa salam pun pesan kau terus menyediakan angan bagi pertapa yang kensunyi...