Tulisan ini adalah pengantar untuk antologi puisi Beternak Penyair (2012) oleh komunitas Hysteria, dalam rangka pertemuan komunitas-komunitas sastra di Semarang, Desember 2011
Terutama
pada dua dasawarsa mutakhir, gejala sosial yang muncul dalam sastra Indonesia
adalah menjamurnya komunitas-komunitas sastra di berbagai daerah.
Komunitas-komunitas tersebut menyenggarakan berbagai kegiatan sastra mulai
membaca, menulis dan menyosialisasikan karya sastra baik melalui tulisan maupun
pertunjukan. Dalam komunitas-komunitas sastra itu pula terjadi diskusi, baik
formal maupun informal, tentang berbagai gagasan yang berkaitan dengan sastra,
baik tema maupun estetikanya. Sebuah gejala yang menyenangkan jika melihat
semangat serta semakin banyaknya individu-individu yang terlibat dalam
komunitas-komunitas sastra tersebut.
Kecenderungan
berkomunitas di kalangan para sastrawan tersebut lahir, menyebut sejumlah
faktor penyebabnya, adalah sebagai dampak dari perubahan sosial, politik dan
ekonomi. Pada wilayah sosial, sedang terjadi proses reograninasi masyarakat,
dimana ikatan-ikatan tradisional berdasarkan agama, etnisitas dan klan mulai
diimbagi oleh ikatan profesi yang lebih menyatukan individu-individu
berdasarkan minat dan pekerjaan yang sama. Ketika para sastrawan berkomunitas,
mereka tengah melakukan tindakan politis dalam wujud memperkuat status
“profesional” mereka sebagai sastrawan sehingga posisi sosial mereka lebih
diperhitungkan di tengah masyarakat—atau lebih tepatnya di hadapan
kelompok-kelompok profesi yang lain. Dan pada akhirnya, kecenderungan
berkomunitas itu juga merupakan konsekuwensi dari perubahan ekonomi yang
semakin mengelompokkan masyarakat ke dalam jenis pekerjaan yang semakin terspesialisasi.
Namun
persoalan komunitas sastra menjadi semakin rumit manakala dikaitkan dengan
berbagai persoalan sosial-budaya sebagai akibat dari perubahan politik dan
ekonomi belakangan ini, terutama sejak keruntuhan Orde Baru. Dalam hal politik,
demokrasi telah meminimalisir peran negara di tengah masyarakat, sehingga
posisi masyarakat semakin menguat di hadapan negara. Menguatnya posisi
masyarakat tersebut ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok
kepentingan—termasuk komunitas sastra—yang saling bersaing satu sama lain, baik
internal (antar komunitas sastra dan antar sastrawan) maupun eksternal (antar
kelompok kepentingan). Sayangnya, minimnya peran negara tersebut tidak hanya
terjadi pada wilayah politik namun juga ekonomi dimana tanggung jawab negara
untuk menyejahterakan rakyatnya semakin kecil, sehinga ekonomi dikuasai oleh
kelompok yang menguasai alat-alat produksi dan pasar.
Pada
titik itulah, yaitu ketika negara semakin melemah dan pasar menguat, terjadi
kompetisi antar kelompok sosial dalam rangka memperebutkan sumberdaya, baik
yang bersifat material maupun simbolik. Bukan rahasia lagi jika di kalangan
sastrawan pun terjadi kompetisi dalam rangka memperebutkan sumberdaya, dimulai
dari jenisnya yang simbolik dalam wujud status dan pancarannya, yaitu
popularitas, untuk kemudian dipertukarkan dengan sumberdaya yang lebih material
seperti posisi dalam sebuah lembaga serta modal ekonomi yang mengkutinya. Ada
kalanya kompetisi tersebut berlangsung dengan tenang dan berujung pada
kerjasama, namun tak jarang menimbulkan konflik baik antar komunitas sastra
maupun antar sastrawan.
Hal
serupa juga terjadi pada kelompok profesi dan kepentigan lain, baik ekonomi,
politik, dan budaya. Hukum dasarnya adalah: individu atau kelompok yang paling
jelas statusnya, paling terang pancarannya, paling tegas faktualitasnya,
dia/merekalah yang memiliki posisi paling berpengaruh dalam masyarakat. Maka
tidak heran jika terdapat seorang sastrawan juga memiliki keinginan menjadi
penguasaha, politisi, dan bahkan tokoh agama sekaligus; pun, tidak begitu
mengagetkan jika seorang pengusaha tiba-tiba menulis novel atau puisi; seorang
politisi tiba-tiba gemar menulis dan membaca puisi; dan seorang agamawan
tertarik menjadi anggota legislatif, menulis puisi dan memiliki perusahaan.
Singkatnya,
dunia sastra kita telah tiba dalam realitas sosial yang, suka atau tidak suka,
khas kapitalistik. Cara kita mendefinisikan diri, memandang realitas objektif,
dan menentukan orientasi, perlahan-lahan telah ditentukan, kendati bukan
satu-satunya, oleh nalar yang bersumber dari cara pandang yang khas
ekonomistik. Kapitalisme tidak hanya terjadi di perusahaan dan pasar, namun
telah memasuki medan yang lebih luas lagi, termasuk dunia budaya dimana sastra
berada di dalamnya. Pola kerja kita telah menjadi mesin produksi, dan relasi
sosial kita telah menjelma arena pertukaan simbol, entah berupa status,
gagasan, ideologi, dan bahkan selera berbahasa.
Sejauh
mana para sastrawan, dengan kelompok “profesionalnya” bernama komunitas sastra,
dapat memiliki peran yang lebih diperhitungkan di tengah masyarakat? Adakah
para sastrawan perlu menjadi politisi, agamawan, dan pengusaha sekaligus?
Sejumlah individu mungin tertarik dan mampu menjawab pertanyaan yang kedua,
dengan segala bakat, ambisi dan kekuatan yang dimilikinya. Namun dalam rangka
menjawab pertanyaan yang pertama, kita tidak bisa dengan hanya melihat
segelintir individu.
Pertama,
kita dapat mengukurnya dengan melihat nilai-nilai yang diacu oleh para
sastrawan; apa saja yang membuat sejumlah individu rela mengorbankan waktu,
pikiran, tenaga, dan sejumlah harta-benda, demi mencapai nilai-nilai tersebut?
Kecenderungan umumnya adalah para sastrawan modern berusaha membuat temuan,
dimulai dalam ukurannya yang paling minimal, untuk membuat sebuah karya yang
khas dirinya, sehingga dirinya sebagai individu dapat menduduki posisi tertentu
dalam sastra. Temuan tersebut bisa berupa gaya bahasa, tema, dan cara
pengucapannya. Seni modern mempercanggih temuan tersebut ke dalam istilah
“konsep estetika”, yang justifikasi serta argumentasinya bisa bersumber dari
berbagai disiplin pengetahuan, mulai filsafat, sejarah, linguistik, sampai
teologi, dan legitimasinya diberikan oleh sub-profesi dalam sastra yang disebut
sebagai kritikus sastra. Semakin kuat karya yang dihasilkan seorang sastrawan,
semakin kuat pula posisinya di dunia sastra. Semakin sering ia tampil dalam
festival-festival, semakin luas pula pengaruhnya. Semakin mendapat pembahsan
dari kalangan kritikus, semakin berbobot pula karyanya. Semakin tinggi gengsi
festival dan penghargaan yang diraih, semakin kokoh posisi sosilnya sebagai
satrawan.
Dalam
hal yang pertama ini, untuk memperkuat posisi sosial sastra, para sastrawan
membuka diri untuk berdialog dengan dunia-dunia lain untuk menyerap, mengolah,
dan mendistribusikan kembali gagasan-gagasannya ke kelompok-kelompok sosial
yang lain. Jika apa yang disebut sebagai “estetika” hanya dimengerti oleh
komunitas-komunitas sastra, maka kelompk-kelompok sosial lain merasa dibatasi
untuk terlibat di dalam sastra. Menulis puisi tentang cinta, hujan yang turun,
bumbu masak, atau desir ombak di pantai bukanlah sesuatu yang buruk, entah
dengan gaya liris, naratif, ekspresif, atau heroik; namun, akan lebih aktual
jika bersamaan dengan puisi cinta romantis, hujan yang rintik-rintik,
bumbu-bumbu masak yang harum, dan desir ombak yang menggairahkan, dihadirkan
dan dipertanyakan berbagai persoalan sosial, ekonomi, politik, ekologi,
sejarah, dan jalinan budaya yang menyertai semua itu, sehingga individu atau
kelompok sosial lain merasa terwakili di dalam karya sastra itu.
Dengan
cara itu karya sastra dapat diterima dan kemudian menentukan orientasi budaya
dan sejarah masyarakat di luar kelompoknya sendiri, bukan semata sebagai
hiburan, namun sebagai media refleksi, produksi dan reproduksi indentitas atau
jati diri individu, masyarakat dan bahkan sebuah bangsa. Dalam konteks inilah
pekerjaan menulis puisi, prosa, dan esei, dihayati tidak semata sebagai kerja
menciptakan identitas diri sebagai “sastrawan”, namun sebagai kerja layaknya
seorang pengausa yang mendefinisikan ulang budaya dan peradabannya. Bedanya,
jika penguasa mendefinisikan budaya dan peradaban dengan hukum dan teknologi
politik yang dimilikinya, sastrawan mendefinisikan ulang kebudayaan dan
peradabannya dengan gagasan dan bahasa yang diciptakannnya. Bahwa akan seperti
apa wajah peradaban yang kemudian tercipta, hal itu tergantung pada visi
(politik) estetika dari masing-masing sastrawan.
Kedua,
sastra bukan hanya berupa teks puisi, prosa, esei, dan novel. Sastra juga
berkaitan dengan bagaimana karya-karya sastra tersebut didistribusikan dan
dikonkretkan dalam realitas sosial. Sastra “tradisional” seperti mocopat,
singir, dan pantun, menggunakan mekanisme ritual dan festival sekaligus dalam
rangka mengkokretkan dirinya dalam masyrakat, dan didistribusikan hampir di
semua institusi-instirusi tradisional mulai keluarga, agama, adat, kerajaan dan
kerja ekonomi. Maka hampir di semua ritul dan festival yang berkaitan dengan kelahiran,
pendidikan anak, perkawinan, ibadah, kematian, masa tanam dan panen, datangnya
musibah, dibacakan puisi-puisi, entah dalam bentuk doa, tembang, maupun mantra.
Dengan cara itulah sastra menjadi faktor yang mengikat individu-individu ke
dalam suatu masyarakat, mulai lahir sampai mati, sebagai suatu identitas.
Sastra
Indonesia modern juga memiliki mekanisme yang tak kalah canggihnya, mulai
publikasi di media massa, penerbitan buku, pembacaan puisi pada hari-hari
penting keagamaan dan kenegaraan (misalnya setiap Mulid Nabi, 17 Agustus, hari
Chairil Anwar, dst.), temu sastrawan dan komunitas sastra di bagai tempat dan
kesempatan. Namun sastra modern belum menggunakan ritual dan festival yang
berkaitan dengan institusi ekonomi, keluarga, agama, kendati ia memiliki
institusi yang “berhubungan dengan dirinya sendiri” bernama “fakultas sastra”
di perguruan tinggi dan mekanisme sosialisasi yang sedikit “lebih luas dari
lingkungannya sendiri” bernama “mata pelajaran sastra” di sekolah-sekolah.
Untuk
memperkuat posisi sosialnya, individu-individu yang terlibat dalam Sastra
Indoesia modern perlu mencoba berbagai mekanisme lain untuk menanamkan, bukan
sekedar menyosilisasikan, sastra ke dalam masyarakat. Kemungkinan itu bisa
dilakukan dengan membuat kegiatan-kegiatan eksperimental yang membuat sastra
menarik bagi kelompok-kelompok sosial di luar sastra seperti musikalisasi
puisi, atau bisa dilakukan dengan mengaitkan sastra dengan kegiatan-kegiatan
dalam institusi-instirusi modern seperti perusahaan, birokrasi pemerintahan dan
kelompok-kelompok profesi, atau bisa juga dengan memasuki institusi-institusi
tradisional seperti agama, adat, dan keluarga. Tentu, hal itu akan sulit
terjadi manakala tema yang diolah dalam sastra Indonesia modern tidak berkaitan
dengan nilai dan agenda dari institusi-institusi tersebut serta
persoalan-persoalan kontekstual yang menyertainya.
Sekilas
pembacaan sosiologis terhadap sastra Indonesia seperti di atas pada dasarnya
tidak berhenti pada pengamatan terhadap institusi, nilai dan praktiknya seperti
di atas, namun juga berkaitan dengan persoalan yang menurut hemat saya lebih
mendasar, yaitu tentang bagaimana sastra memiliki potensi untuk menjaga
kejatuhan manusia yang lebih dalam di hadapan arus besar kapitalisme yang terus
menguasai sejarah.
Kapitalisme
menguasai sejarah manusia dengan mengubah orientasi waktu dan ruang
sosio-kultural kita berdasarkan logika produksi, distribusi dan akumulasi, yang
melaluinya nilai-nilai diubah menjadi komoditas, dan waktu kita diorientasikan
menuju kemajuan dalam bentuk akumulasi kekayaan tanpa batas. Konsekwensinya,
ruang dan waktu kita yang semula tunduk pada pola siklis sesuai acuan budaya
dalam kelompok lokal sosial-budaya tertentu ditenggelamkan dan diubah ke dalam
waktu ekonomi yang bersifat progresif-ekonomistik. Singkatnya, kapitalisme
bekerja dengan menunggangi dan kemudian mengubah pola semiosis dalam
lokalitas-lokalitas budaya kita, sehingga dengan cara itu kapitalisme dapat
menempatkan dirinya sebagai super-kulur dan meta sejarah: ia berada di atas
realitas kita, di depan sejarah masa kini kita, dimana masyarakat yang belum
terkapitalisasi kemudian dianggap sebagai masyarakat, dalam istilah Ismail
Fajrie Alatas, berada pada “ruang tunggu sejarah”, atau dalam istilah para teknokrat,
”masysrakat yang tertinggal”.
Modernitas,
nama yang disandang dalam sastra (modern) Indonesia, juga memiliki logika yang
hampir serupa, dimana sastra-sastra lokal dianggap sebagai “masa lalu
tradisionalnya” sebelum ia bermetamorfosa menjadi “sastra modern”. Sastra
Indonesia seakan merupakan “metasastra” atau “supersastra” yang berada di atas,
dan melampaui, sastra-sastra daerah. Menjadi sastrawan dalam sastra Indonesia
seakan lebih “maju” dan “modern” dibanding sastrawan “tradisional”. Sebuah
posisi dominatif yang rumit, mengingat di satu sisi sastra diposisikan sebagai
medium yang mampu menyelamatkan manusia dari berbagai persoalan sosial yang
menyandera manusia, namun di sisi lain ia berada pada posisi ruang dan waktu
dari agen yang menyebabkan persoalan tersebut, yaitu kapitalisme dan
modernitas.
Salah
satu jalan untuk menjaga kejatuan lebih dalam manusia di hadapan kapialisme
yang menguasai ruang sosial dan waktu sejarah kita, adalah dengan mengangkat
persoalan-persoalan lokal dengan persepsi-perspsi lokal dalam konteks
modernitas sastra Indonesia. Menghadirkan narasi-narasi lokal beserta persepsi
ruang dan waktunya, lengkap dengan tatan dunia dan struktur semiotiknya, adalah
salah satu contohnya. Dalam koteks Indonesia, lokalitas-lokaltas budaya
tersebut telah membentuk jaringan budaya sedemikian lamanya, yang dapat
dihadirkan dan diaktifkan kembali dalam sastra, dan ditempatkan dalam konteks
persoalan-persoalan kekinian kita. Novel-novel sejarah Pramoedya Ananta Toer
dan YB Mangunwijaya, kisah-kisah lokal AA Navis dan Ahmad Tohari, cerita-cerita
sosial Kutowijojo, puisi-puisi sosial dan sejarah WS Rendra, adalah beberapa
contohnya di masa lalu.
Dengan
cara itulah arus waktu progresif kapitalisme, dan posisi modernitas sastra
Indonesia yang dominatif, perlahan-lakan diringkus ke dalam lokalitas-lokalitas
budaya yang ia narasikan, sehingga konsepsinya tentang ruang dan waktu, dan
posisinya sebagai seper-kultur dan meta-sejarah, dapat dibelokkan dan
diturunkan kembali mengikuti irama waktu-sejarah-budaya dari
lokalitas-lokalitas tersebut. Jika, cara kerja sastra tersebut dikerjakan para
sastrawan dalam lokalitas-lokalitas yang tersebar di berbagai daerah di
Indoesia ini, maka kekinian modern kita justru akan menjadi sejarah yang
tertunda dari sejarah masa lalu kita, atau setidaknya keduanya berdiri dalam
momen kesadaran yang sama melalui sastra sebagai jembatan semiotiknya.
Karena
itulah, sebagaimana telah saya sebutkan di atas, mekanisme sosialisasi dan
pengkonkretan sastra Indonesia modern dalam realitas sosial perlu menggunakan
mekanisme-mekanisme yang digunakan baik oleh ritual dan festival sastra
Indonesia modern, namun juga oleh sastra-sastra tradisional, yaitu melalui
festival dan terutama ritual, karena dalam festival dan ritual tradisional
itulah sejarah bekerja dalam waktu siklikal dan bukan waktu progresif, yang
transendensinya merujuk pada kehidupan abadi setelah kematian dan bukan pada
akumulasi kekayaan tanpa batas sebagaimana pola kerja kapitalisme.
Silaturahmi
para sastrawan dari berbagai komunitas sastra bukan semata arena kontestasi dan
pertukaran “benda-benda modern” bernama puisi, namun sebuah peristiwa
silaturahmi dimana sastra Indonesia berani mempertanyakan watak dan posisi
modernitasnya yang hegemonik, sebuah peristiwa silaturahmi dimana sastra
Indonesia membuka pintu dan jendela sosialnya untuk berdialog dengan
rumah-rumah masyarakat, budaya, dan pengetahuan lain di luar kelompoknya, dan
sebuah peristiwa untuk menunda kematian sejarah manusia Indonesia di tangan
karya sastra modernnya sendiri. Hasilnya, bukan untuk jatuh ke dalam
tradisionalitas masa lalu dan modernitas masa depan, bukan pula dalam
pluralitas sosial, budaya, dan gagasan sebagimana posmodernisme, melainkan
untuk membentuk sebuah sastra yang terus dalam situasi menjadi, dan setiap
kategori yang disematkan kepadanya belum tentu relevan karena ditelan oleh
proses waktu-sejarah yang plural dan saling bercakap-cakap satu salama lain,
melalui kehangatan dan kedalaman semiosis para sastrawannya.
Depok,
5 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar