Selasa, 01 November 2016

Memaknai Silaturahmi: Komunitas Sastra dan Masyarakat yang Berubah

Oleh: Faisal Kamandobat

Tulisan ini adalah pengantar untuk antologi puisi Beternak Penyair (2012) oleh komunitas Hysteria, dalam rangka pertemuan komunitas-komunitas sastra di Semarang, Desember 2011

Terutama pada dua dasawarsa mutakhir, gejala sosial yang muncul dalam sastra Indonesia adalah menjamurnya komunitas-komunitas sastra di berbagai daerah. Komunitas-komunitas tersebut menyenggarakan berbagai kegiatan sastra mulai membaca, menulis dan menyosialisasikan karya sastra baik melalui tulisan maupun pertunjukan. Dalam komunitas-komunitas sastra itu pula terjadi diskusi, baik formal maupun informal, tentang berbagai gagasan yang berkaitan dengan sastra, baik tema maupun estetikanya. Sebuah gejala yang menyenangkan jika melihat semangat serta semakin banyaknya individu-individu yang terlibat dalam komunitas-komunitas sastra tersebut.

Kecenderungan berkomunitas di kalangan para sastrawan tersebut lahir, menyebut sejumlah faktor penyebabnya, adalah sebagai dampak dari perubahan sosial, politik dan ekonomi. Pada wilayah sosial, sedang terjadi proses reograninasi masyarakat, dimana ikatan-ikatan tradisional berdasarkan agama, etnisitas dan klan mulai diimbagi oleh ikatan profesi yang lebih menyatukan individu-individu berdasarkan minat dan pekerjaan yang sama. Ketika para sastrawan berkomunitas, mereka tengah melakukan tindakan politis dalam wujud memperkuat status “profesional” mereka sebagai sastrawan sehingga posisi sosial mereka lebih diperhitungkan di tengah masyarakat—atau lebih tepatnya di hadapan kelompok-kelompok profesi yang lain. Dan pada akhirnya, kecenderungan berkomunitas itu juga merupakan konsekuwensi dari perubahan ekonomi yang semakin mengelompokkan masyarakat ke dalam jenis pekerjaan yang semakin terspesialisasi.
Namun persoalan komunitas sastra menjadi semakin rumit manakala dikaitkan dengan berbagai persoalan sosial-budaya sebagai akibat dari perubahan politik dan ekonomi belakangan ini, terutama sejak keruntuhan Orde Baru. Dalam hal politik, demokrasi telah meminimalisir peran negara di tengah masyarakat, sehingga posisi masyarakat semakin menguat di hadapan negara. Menguatnya posisi masyarakat tersebut ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok kepentingan—termasuk komunitas sastra—yang saling bersaing satu sama lain, baik internal (antar komunitas sastra dan antar sastrawan) maupun eksternal (antar kelompok kepentingan). Sayangnya, minimnya peran negara tersebut tidak hanya terjadi pada wilayah politik namun juga ekonomi dimana tanggung jawab negara untuk menyejahterakan rakyatnya semakin kecil, sehinga ekonomi dikuasai oleh kelompok yang menguasai alat-alat produksi dan pasar.

Pada titik itulah, yaitu ketika negara semakin melemah dan pasar menguat, terjadi kompetisi antar kelompok sosial dalam rangka memperebutkan sumberdaya, baik yang bersifat material maupun simbolik. Bukan rahasia lagi jika di kalangan sastrawan pun terjadi kompetisi dalam rangka memperebutkan sumberdaya, dimulai dari jenisnya yang simbolik dalam wujud status dan pancarannya, yaitu popularitas, untuk kemudian dipertukarkan dengan sumberdaya yang lebih material seperti posisi dalam sebuah lembaga serta modal ekonomi yang mengkutinya. Ada kalanya kompetisi tersebut berlangsung dengan tenang dan berujung pada kerjasama, namun tak jarang menimbulkan konflik baik antar komunitas sastra maupun antar sastrawan.

Hal serupa juga terjadi pada kelompok profesi dan kepentigan lain, baik ekonomi, politik, dan budaya. Hukum dasarnya adalah: individu atau kelompok yang paling jelas statusnya, paling terang pancarannya, paling tegas faktualitasnya, dia/merekalah yang memiliki posisi paling berpengaruh dalam masyarakat. Maka tidak heran jika terdapat seorang sastrawan juga memiliki keinginan menjadi penguasaha, politisi, dan bahkan tokoh agama sekaligus; pun, tidak begitu mengagetkan jika seorang pengusaha tiba-tiba menulis novel atau puisi; seorang politisi tiba-tiba gemar menulis dan membaca puisi; dan seorang agamawan tertarik menjadi anggota legislatif, menulis puisi dan memiliki perusahaan.                 

Singkatnya, dunia sastra kita telah tiba dalam realitas sosial yang, suka atau tidak suka, khas kapitalistik. Cara kita mendefinisikan diri, memandang realitas objektif, dan menentukan orientasi, perlahan-lahan telah ditentukan, kendati bukan satu-satunya, oleh nalar yang bersumber dari cara pandang yang khas ekonomistik. Kapitalisme tidak hanya terjadi di perusahaan dan pasar, namun telah memasuki medan yang lebih luas lagi, termasuk dunia budaya dimana sastra berada di dalamnya. Pola kerja kita telah menjadi mesin produksi, dan relasi sosial kita telah menjelma arena pertukaan simbol, entah berupa status, gagasan, ideologi, dan bahkan selera berbahasa.     

Sejauh mana para sastrawan, dengan kelompok “profesionalnya” bernama komunitas sastra, dapat memiliki peran yang lebih diperhitungkan di tengah masyarakat? Adakah para sastrawan perlu menjadi politisi, agamawan, dan pengusaha sekaligus? Sejumlah individu mungin tertarik dan mampu menjawab pertanyaan yang kedua, dengan segala bakat, ambisi dan kekuatan yang dimilikinya. Namun dalam rangka menjawab pertanyaan yang pertama, kita tidak bisa dengan hanya melihat segelintir individu.
          
Pertama, kita dapat mengukurnya dengan melihat nilai-nilai yang diacu oleh para sastrawan; apa saja yang membuat sejumlah individu rela mengorbankan waktu, pikiran, tenaga, dan sejumlah harta-benda, demi mencapai nilai-nilai tersebut? Kecenderungan umumnya adalah para sastrawan modern berusaha membuat temuan, dimulai dalam ukurannya yang paling minimal, untuk membuat sebuah karya yang khas dirinya, sehingga dirinya sebagai individu dapat menduduki posisi tertentu dalam sastra. Temuan tersebut bisa berupa gaya bahasa, tema, dan cara pengucapannya. Seni modern mempercanggih temuan tersebut ke dalam istilah “konsep estetika”, yang justifikasi serta argumentasinya bisa bersumber dari berbagai disiplin pengetahuan, mulai filsafat, sejarah, linguistik, sampai teologi, dan legitimasinya diberikan oleh sub-profesi dalam sastra yang disebut sebagai kritikus sastra. Semakin kuat karya yang dihasilkan seorang sastrawan, semakin kuat pula posisinya di dunia sastra. Semakin sering ia tampil dalam festival-festival, semakin luas pula pengaruhnya. Semakin mendapat pembahsan dari kalangan kritikus, semakin berbobot pula karyanya. Semakin tinggi gengsi festival dan penghargaan yang diraih, semakin kokoh posisi sosilnya sebagai satrawan.         

Dalam hal yang pertama ini, untuk memperkuat posisi sosial sastra, para sastrawan membuka diri untuk berdialog dengan dunia-dunia lain untuk menyerap, mengolah, dan mendistribusikan kembali gagasan-gagasannya ke kelompok-kelompok sosial yang lain. Jika apa yang disebut sebagai “estetika” hanya dimengerti oleh komunitas-komunitas sastra, maka kelompk-kelompok sosial lain merasa dibatasi untuk terlibat di dalam sastra. Menulis puisi tentang cinta, hujan yang turun, bumbu masak, atau desir ombak di pantai bukanlah sesuatu yang buruk, entah dengan gaya liris, naratif, ekspresif, atau heroik; namun, akan lebih aktual jika bersamaan dengan puisi cinta romantis, hujan yang rintik-rintik, bumbu-bumbu masak yang harum, dan desir ombak yang menggairahkan, dihadirkan dan dipertanyakan berbagai persoalan sosial, ekonomi, politik, ekologi, sejarah, dan jalinan budaya yang menyertai semua itu, sehingga individu atau kelompok sosial lain merasa terwakili di dalam karya sastra itu.

Dengan cara itu karya sastra dapat diterima dan kemudian menentukan orientasi budaya dan sejarah masyarakat di luar kelompoknya sendiri, bukan semata sebagai hiburan, namun sebagai media refleksi, produksi dan reproduksi indentitas atau jati diri individu, masyarakat dan bahkan sebuah bangsa. Dalam konteks inilah pekerjaan menulis puisi, prosa, dan esei, dihayati tidak semata sebagai kerja menciptakan identitas diri sebagai “sastrawan”, namun sebagai kerja layaknya seorang pengausa yang mendefinisikan ulang budaya dan peradabannya. Bedanya, jika penguasa mendefinisikan budaya dan peradaban dengan hukum dan teknologi politik yang dimilikinya, sastrawan mendefinisikan ulang kebudayaan dan peradabannya dengan gagasan dan bahasa yang diciptakannnya. Bahwa akan seperti apa wajah peradaban yang kemudian tercipta, hal itu tergantung pada visi (politik) estetika dari masing-masing sastrawan.   

Kedua, sastra bukan hanya berupa teks puisi, prosa, esei, dan novel. Sastra juga berkaitan dengan bagaimana karya-karya sastra tersebut didistribusikan dan dikonkretkan dalam realitas sosial. Sastra “tradisional” seperti mocopat, singir, dan pantun, menggunakan mekanisme ritual dan festival sekaligus dalam rangka mengkokretkan dirinya dalam masyrakat, dan didistribusikan hampir di semua institusi-instirusi tradisional mulai keluarga, agama, adat, kerajaan dan kerja ekonomi. Maka hampir di semua ritul dan festival yang berkaitan dengan kelahiran, pendidikan anak, perkawinan, ibadah, kematian, masa tanam dan panen, datangnya musibah, dibacakan puisi-puisi, entah dalam bentuk doa, tembang, maupun mantra. Dengan cara itulah sastra menjadi faktor yang mengikat individu-individu ke dalam suatu masyarakat, mulai lahir sampai mati, sebagai suatu identitas.

Sastra Indonesia modern juga memiliki mekanisme yang tak kalah canggihnya, mulai publikasi di media massa, penerbitan buku, pembacaan puisi pada hari-hari penting keagamaan dan kenegaraan (misalnya setiap Mulid Nabi, 17 Agustus, hari Chairil Anwar, dst.), temu sastrawan dan komunitas sastra di bagai tempat dan kesempatan. Namun sastra modern belum menggunakan ritual dan festival yang berkaitan dengan institusi ekonomi, keluarga, agama, kendati ia memiliki institusi yang “berhubungan dengan dirinya sendiri” bernama “fakultas sastra” di perguruan tinggi dan mekanisme sosialisasi yang sedikit “lebih luas dari lingkungannya sendiri” bernama “mata pelajaran sastra” di sekolah-sekolah.           

Untuk memperkuat posisi sosialnya, individu-individu yang terlibat dalam Sastra Indoesia modern perlu mencoba berbagai mekanisme lain untuk menanamkan, bukan sekedar menyosilisasikan, sastra ke dalam masyarakat. Kemungkinan itu bisa dilakukan dengan membuat kegiatan-kegiatan eksperimental yang membuat sastra menarik bagi kelompok-kelompok sosial di luar sastra seperti musikalisasi puisi, atau bisa dilakukan dengan mengaitkan sastra dengan kegiatan-kegiatan dalam institusi-instirusi modern seperti perusahaan, birokrasi pemerintahan dan kelompok-kelompok profesi, atau bisa juga dengan memasuki institusi-institusi tradisional seperti agama, adat, dan keluarga. Tentu, hal itu akan sulit terjadi manakala tema yang diolah dalam sastra Indonesia modern tidak berkaitan dengan nilai dan agenda dari institusi-institusi tersebut serta persoalan-persoalan kontekstual yang menyertainya.         

Sekilas pembacaan sosiologis terhadap sastra Indonesia seperti di atas pada dasarnya tidak berhenti pada pengamatan terhadap institusi, nilai dan praktiknya seperti di atas, namun juga berkaitan dengan persoalan yang menurut hemat saya lebih mendasar, yaitu tentang bagaimana sastra memiliki potensi untuk menjaga kejatuhan manusia yang lebih dalam di hadapan arus besar kapitalisme yang terus menguasai sejarah.

Kapitalisme menguasai sejarah manusia dengan mengubah orientasi waktu dan ruang sosio-kultural kita berdasarkan logika produksi, distribusi dan akumulasi, yang melaluinya nilai-nilai diubah menjadi komoditas, dan waktu kita diorientasikan menuju kemajuan dalam bentuk akumulasi kekayaan tanpa batas. Konsekwensinya, ruang dan waktu kita yang semula tunduk pada pola siklis sesuai acuan budaya dalam kelompok lokal sosial-budaya tertentu ditenggelamkan dan diubah ke dalam waktu ekonomi yang bersifat progresif-ekonomistik. Singkatnya, kapitalisme bekerja dengan menunggangi dan kemudian mengubah pola semiosis dalam lokalitas-lokalitas budaya kita, sehingga dengan cara itu kapitalisme dapat menempatkan dirinya sebagai super-kulur dan meta sejarah: ia berada di atas realitas kita, di depan sejarah masa kini kita, dimana masyarakat yang belum terkapitalisasi kemudian dianggap sebagai masyarakat, dalam istilah Ismail Fajrie Alatas, berada pada “ruang tunggu sejarah”, atau dalam istilah para teknokrat, ”masysrakat yang tertinggal”.             

Modernitas, nama yang disandang dalam sastra (modern) Indonesia, juga memiliki logika yang hampir serupa, dimana sastra-sastra lokal dianggap sebagai “masa lalu tradisionalnya” sebelum ia bermetamorfosa menjadi “sastra modern”. Sastra Indonesia seakan merupakan “metasastra” atau “supersastra” yang berada di atas, dan melampaui, sastra-sastra daerah. Menjadi sastrawan dalam sastra Indonesia seakan lebih “maju” dan “modern” dibanding sastrawan “tradisional”. Sebuah posisi dominatif yang rumit, mengingat di satu sisi sastra diposisikan sebagai medium yang mampu menyelamatkan manusia dari berbagai persoalan sosial yang menyandera manusia, namun di sisi lain ia berada pada posisi ruang dan waktu dari agen yang menyebabkan persoalan tersebut, yaitu kapitalisme dan modernitas.

Salah satu jalan untuk menjaga kejatuan lebih dalam manusia di hadapan kapialisme yang menguasai ruang sosial dan waktu sejarah kita, adalah dengan mengangkat persoalan-persoalan lokal dengan persepsi-perspsi lokal dalam konteks modernitas sastra Indonesia. Menghadirkan narasi-narasi lokal beserta persepsi ruang dan waktunya, lengkap dengan tatan dunia dan struktur semiotiknya, adalah salah satu contohnya. Dalam koteks Indonesia, lokalitas-lokaltas budaya tersebut telah membentuk jaringan budaya sedemikian lamanya, yang dapat dihadirkan dan diaktifkan kembali dalam sastra, dan ditempatkan dalam konteks persoalan-persoalan kekinian kita. Novel-novel sejarah Pramoedya Ananta Toer dan YB Mangunwijaya, kisah-kisah lokal AA Navis dan Ahmad Tohari, cerita-cerita sosial Kutowijojo, puisi-puisi sosial dan sejarah WS Rendra, adalah beberapa contohnya di masa lalu.      

Dengan cara itulah arus waktu progresif kapitalisme, dan posisi modernitas sastra Indonesia yang dominatif, perlahan-lakan diringkus ke dalam lokalitas-lokalitas budaya yang ia narasikan, sehingga konsepsinya tentang ruang dan waktu, dan posisinya sebagai seper-kultur dan meta-sejarah, dapat dibelokkan dan diturunkan kembali mengikuti irama waktu-sejarah-budaya dari lokalitas-lokalitas tersebut. Jika, cara kerja sastra tersebut dikerjakan para sastrawan dalam lokalitas-lokalitas yang tersebar di berbagai daerah di Indoesia ini, maka kekinian modern kita justru akan menjadi sejarah yang tertunda dari sejarah masa lalu kita, atau setidaknya keduanya berdiri dalam momen kesadaran yang sama melalui sastra sebagai jembatan semiotiknya.    

Karena itulah, sebagaimana telah saya sebutkan di atas, mekanisme sosialisasi dan pengkonkretan sastra Indonesia modern dalam realitas sosial perlu menggunakan mekanisme-mekanisme yang digunakan baik oleh ritual dan festival sastra Indonesia modern, namun juga oleh sastra-sastra tradisional, yaitu melalui festival dan terutama ritual, karena dalam festival dan ritual tradisional itulah sejarah bekerja dalam waktu siklikal dan bukan waktu progresif, yang transendensinya merujuk pada kehidupan abadi setelah kematian dan bukan pada akumulasi kekayaan tanpa batas sebagaimana pola kerja kapitalisme.  

Silaturahmi para sastrawan dari berbagai komunitas sastra bukan semata arena kontestasi dan pertukaran “benda-benda modern” bernama puisi, namun sebuah peristiwa silaturahmi dimana sastra Indonesia berani mempertanyakan watak dan posisi modernitasnya yang hegemonik, sebuah peristiwa silaturahmi dimana sastra Indonesia membuka pintu dan jendela sosialnya untuk berdialog dengan rumah-rumah masyarakat, budaya, dan pengetahuan lain di luar kelompoknya, dan sebuah peristiwa untuk menunda kematian sejarah manusia Indonesia di tangan karya sastra modernnya sendiri. Hasilnya, bukan untuk jatuh ke dalam tradisionalitas masa lalu dan modernitas masa depan, bukan pula dalam pluralitas sosial, budaya, dan gagasan sebagimana posmodernisme, melainkan untuk membentuk sebuah sastra yang terus dalam situasi menjadi, dan setiap kategori yang disematkan kepadanya belum tentu relevan karena ditelan oleh proses waktu-sejarah yang plural dan saling bercakap-cakap satu salama lain, melalui kehangatan dan kedalaman semiosis para sastrawannya.      
    
Depok, 5 Desember 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tubuh Matahari

tubuh matahari di matamu kuning langsat tetiba hadir di rumahku tanpa salam pun pesan kau terus menyediakan angan bagi pertapa yang kensunyi...