Kalau
kita ingin melihat wajah kita sendiri, biasanya kita bersendiri dengan kaca
ajaib yang lazim kita sebut cermin. Dari cermin itu kita bisa melihat dengan
jelas apa saja yang ada di wajah kita; baik yang menyenankan atau yang tidak.
Bahkan, mungkin yang membuat kita malu.
Dengan
cermin, kita mematut-matut diri. Barangkali karena itulah hampir tak ada rumah
yang tidak menyimpan cermin. Sebab, hampir semua orang ingin dirinya patut.
(Saleh)
tanpa bercermin kita tak bisa melihat sendiri noda yang ada pada diri kita.
Dan, tanpa melihat sendiri noda itu, bagaimana kita tergerak menghilangkannya.
Di dalam islam, ada dawuh: “Almuminu
miraatul mumin” (Orang mukmin adalah cermin mukmin yang lain). “Inna ahadakum miraatu akhiihi”
(Sesungguhnya salah seorang di antara kamu adalah cermin saudaranya. Artinya,
masing-masing orang mukmin bisa, atau seharusnya, menjadi cermin mukmin yang
lain.
Seorang
mukmin dapat menunjukkan noda saudaranya, agar saudaranya itu bisa
menghilangkannya.
Dalam
pengertian yang lain, untuk mengetahui noda dan aib kita, kita bisa bercermin
pada saudara kita.
Umumnya
kita hanya-dan biasanya lebih suka-melihat noda dan aib orang lain. Sering
justru karena kesibukan kita melihat aib-aib orang lain, kita tidak sempat
melihat aib-aib kita sendiri.
Di
bulan suci Ramadhan, di mana kita bisa tenang bertafakur memikirkan diri
sendiri-dan inilah sesungguhnya yang penting-, kadang - kadang kita masih juga
kesulitan melihat kekurangan-kekurangan kita.
Satu
dan lain hal, karena kita enggan memikirkan kekurangan-kekurangan diri sendiri,
bercermin kepada orang lain kiranya sangat perlu kita lakukan.
Seperti
kita ketahui, melihat orang lain adalah lebih mudah dan lebih jelas ketimbang
melihat diri sendiri. Marilah kita lihat orang lain, kita lihat aib-aib dan
kekurangan-kekurangannya, lalu kita rasakan respons diri kita sendiri terhadap
aib-aib dan kekurangan-kekurangan orang lain itu.
Misalnya,
kita melihat kawan kita yang sikapnya kasar dan tak berperasaan, atau kawan
kita yang suka membanggakan diri dan merendahkan orang lain; atau kawan kita
yang suka menang-menangan, ingin menang sendiri, atau kawan kita yang bersikap
atau berperangai buruk lainnya.
Kira-kira
bagaimana tanggapan dalam diri kita terhadap sikap kawan kita yang seperti itu?
Kita mungkin merasa jengkel, muak atau minimal tidak suka. Kemudian, marilah
kita andaikan kawan kita itu kita dan kita adalah mereka. Artinya kita yang mempunyai
sikap dan perilaku tidak terpuji itu dan mereka adalah orang yang melihat.
Apakah
kira-kira mereka juga jengkel, muak atau minimal tidak suka melihat sikap dan
perilaku kita? Kalau jawabnya tidak, pastilah salah satu dari kita atau mereka
ada yang tidak normal. Normalnya, adalah sama. Sebagaimana kita tidak suka
melihat perangai buruk orang lain, orang lain pun pasti tidak suka melihat perangai
buruk kita. Demikian pula sebaliknya, apabila kita senang melihat perangai
orang yang menyenangkan, orang pun pasti akan senang apabila melihat perangai
kita menyenangkan.
Namun,
kadang-kadang kita seperti tak mempunyai waktu untuk sekedar bercermin, melihat
diri kita sendiri pada orang lain seperti itu. Hal ini mungkin disebabkan oleh
ego kita yang keterlaluan dan menganggap bahwa yang penting hanya diri kita
sendiri, hingga melihat orang lain, apalagi merasakan perasaannya, kita anggap
tidak penting.
Orang
lain hanya kita anggap figuran dan kitalah bintang utama. Ada sebuah hadis
shahih yang sering orang khilaf mengartikannya.
Hadis
sahih itu berbunyi Laa yu’minu ahadukum hatta yuhibba liakhiihi maa yuhibbu linafsihi.
Banyak yang khilaf mengartikan hadis ini dengan: “Belum benar-benar beriman
salah seorang di antara kamu sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana
mencintai dirinya”. Pemaknaan ini kelihatannya benar, tetapi ada yang
terlewatkan dalam mencermati redaksi hadis tersebut. Di sana, redaksinya yuhibba liakhiihi (mencintai untuk
saudaranyap), bukan yuhibba akhaahu
(mencintai saudaranya).
Jadi,
semestinya diartikan “Belum benar-benar beriman salah seorang di antara kamu
sampai dia senang atau menyukai untuk saudaranya apa yang dia senang atau
menyukai untuk dirinya sendiri.” Artinya, apabila kita senang atau suka
mendapat kenikmatan, misalnya, kita harus “bila ingin jadi sebenar-benar mukmin”
juga senang atau suka bila saudara mendapat kenikmatan.
Apabila
kita senang diperlakukan dengan baik, kita pun harus senang bila saudara kita
diperlakukan dengan baik. Apabila kita senang jika tidak diganggu, kita pun
harus senang jika saudara kita tidak diganggu. Demikian seterusnya. Bukanlah
mukmin yang baik orang yang senang dihormati tapi tak mau menghormati
saudaranya dan tidak senang bila saudaranya dihormati. Bila pengertiannya
dibalik. Bukanlah mukmin yang baik orang yang tidak suka dihina, tapi suka
menghina saudaranya dan suka bila saudaranya dihina.
Demikianlah
kita bisa memperpanjang misal bagi ajaran hadis mulia itu dengan melihat
cermin. Saudara kita adalah cermin kita.
Sumber :
Membuka Pintu Langit | K.H. A. Mustofa
Bisri | Penerbit Buku Kompas | November 2007 | Halaman 6 - 9.