Kamis, 01 Mei 2014

MENDENGARKAN GUS MUS

KH. A. Mustofa Bisri
Oleh KH. Husein Muhammad

MENDENGARKAN GUS MUS (1) 
Perempuan itu Kuat. Isterimu adalah Temanmu

Kediri, 28 April 2014. Aku hadir dalam pernikahan keponakanku. Sebut saja namanya Khadijah. Ia anak Kiyai Lirboyo, Kediri. Dia memeroleh pasangan seorang muda, anak Kiyai Pesantren Sarang. Panggil saja ; Rajih. Ia adalah cucu Kiyai besar yang belakangan ini namanya kesohor, karena fatwanya berhasil meng “Ishlah” kan (mendamaikan/merukunkan) perseteruan antara SDA dengan Romi. Kedua pemimpin sebuah Partai Politik Islam. Perseteruan itu diawali oleh penampilan SDH, ketua umum Partai tersebut, dalam Kampanye salah satu Partai yang dipimpin tokoh dan sudah lama digadang-gadang sebagai Capres.
Akad nikah diadakan di masjid Pesantren, tempat di mana 21 Oktober 2013 lalu, aku menikahkan anak pertamaku. Kali ini aku menyampaikan Khutbah Nikah. Mbah Maemun Zubair, dan sejumlah Kiyai lain membacakan do’anya. Usai akad Nikah, pasangan pengantin di bawa ke tempat yang lebih luas. Ia adalah tempat di mana perhelatan akbar NU : Muktamar ke 30, 1999, di gelar. Orang menyebutnya : “Aula Muktamar”.
Nah di sinilah aku bertemu Gus Mus. Seperti biasa, manakala kami bertemu, kami bercipiki-cipika. Lalu kami duduk di kursi dan GM di kursi sebelahku, dalam barisan depan. “Ndilalah”, bisa begitu. GM mengenakan baju dan peci putih. Aku juga putih. Sejumlah kiyai besar lain duduk di kursi yang lain. Banyak yang pake baju putih. Aku dan GM ngobrol kecil, kadang dengan berbisik-bisik, karena suara bising pengeras suara MC.
Sesudah sambutan-sambutan, GM lalu tampil ke podium, diminta tuan rumah, untuk memberi “Mau’izhah Hasanah” (Nasehat yang baik) khususnya bagi pengantin berdua. Aku ingin mendengarkannya dengan seksama GM bicara. GM lalu mengatakan bahwa dirinyak akan bicara hanya untuk kedua mempelai. Terserah hadirin, mau mendengarkan atau tidak. “Perkawinan itu pertemuan dua hal yang berbeda sekali. Ia tidak seperti perbedaan dua hal : antar suku, atau antar Negara. Kedua yang terakhir ini lebih banyak jalan menjembataninya untuk bisa damai. Tetapi perbedaan dalam perkawinan adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan”.
Sampai di sini aku deg-degan. Aku berdebar-debar ingin mendengarkan bagaimana Perspektif Gender GM. Dalam hal apa sajakah perbedaan laki-laki dan perempuan itu, menurut beliau?.
“Relasi suami isteri dalam rumah tangga tidak selalu indah, tidak selamanya membahagiakan, tidak selama damai. Selalu saja ada masa sulit, pertengkaran, percekcokan dan seterusnya. Menyelesaikannya tidak mudah, perlu hati-hati sekali. Aku, mbahmu ini, nduk, ya juga seperti itu. Sudah 45 tahun hidup bersama mbah putrimu tidak selalu mulus. ” Aku melihat kedua mempelai mendengarkannya sambil mengarahkan matanya ke GM. GM menyebut dirinya mbah, karena mempelai putra itu adalah cucu Mbah Maemun Zubair. Mbah Maemun memanggil GM “Lik” (paman).
“Paling-paling hanya tiga bulan saja masa-masa indah itu. Selebihnya bergelombang-gelombang. Semoga kalian mampu mengendalikan perahu kalian mengarungi lautan yang mungkin sarat gelombang itu” , kata GM.
GM lalu mengatakan : “Orang bilang bahwa perempuan itu lemah, dan laki-laki itu kuat. Ini tak sepenuhnya benar”. Nah, mendengar kata-kata ini, bibirku mulai mengembang. “Kita coba saja laki-laki untuk membawa beras enam kilogram secara terus menerus, berjam-jam, berhari-hari dan berbulan-bulan. Satu atau dua jam mungkin bisa, tetapi terus menerus tanpa henti?. Apakah sanggup?. Saya kira tak ada. Laki-laki, suami, biasanya mengaku cepat lelah. Ia lebih suka duduk sambil minum kopi, atau memilih tidur-tiduran, daripada membawa beban berat itu. Tapi, lihatlah perempuan. Berapa kilogram berat benda yang ada dalam kandungan perempuan itu?”,GM bertanya kepada hadirin. Tetapi tubuhnya di arahkan ke ibu-ibu yang hadir dan duduk di sebelah kiri. Aku mendengar suara ibu-ibu itu, seperti koor: “dua belas kilo!”. “Nah, 12 kilo. Maka perempuan menggendong beban dua belas kilo itu tanpa berhenti, sambil duduk, berjalan, di dapur dan sambil tidur.”
Dadaku bergetar-getar. Ada riang yang menyelinap di ke dalam tubuh. GM benar, perempuan tidak selalu makhluk dengan fisik yang lemah dan laki-laki tidak selalu makhluk dengan fisik yang kuat. Terlalu sering kita melihat ibu-ibu di rumah yang bekerja sejak bangun tidur sampai menjelang tidur, tanpa henti. Mereka mengurus dengan sepenuh hati seluruh keperluan orang-orang dalam rumah. Meski tidak semua itu menjadi kewajibannya, tetapi mereka mengerjakannya seperti menjadi kewajiban mereka. Perempuan-perempuan itu mencintai suami dan anak-anak mereka dengan seluruh pikiran dan sepenuh hati.
Kata-kata GM itu seakan ingin mengatakan ; hendaklah para suami memperlakukan isteri dengan penuh kasih. Tidak seharusnya terhadap para perempuan, isteri dan ibu dilekatkan beban-beban yang berat.
GM masih melanjutkan penjelasannya. “Nanti ketika saatnya tiba akan melahirkan, beban itu semakin berat. Banyak sekali laki-laki (suami) hanya menunggu di luar kamar persalinan, sambil berjalan ke sana ke mari atau menunggu di kursi sambil merokok. Sementara isterinya sedang mengerang, menahan sakit luar biasa.”. GM lalu menceritakan dirinya. Ia menunggui isterinya yang sedang berjuang mempertaruhkan nyawanya, di sampingnya, di tempat tidurnya. Ia memegang tangannya dan perutnya sambil memberinya kata-kata menguatkan jiwanya, kata-kata kesabaran, ketabahan dan keselamatan, serta bibirnya yang terus memanjatkan do’a.
“Maka, kamu, nduk, anakku, perhatikan baik-baik isterimu. Temani dia dimana saja, dan apalagi ketika ia akan melahirkan. Bantulah persalinannya, duduklah di sampingnya. Kuatkan hatinya.”.
Dan pikiranku melayang dalam bisu, menjemput ayat Tuhan dalam al-Qur’an :
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
Sambil membaca dalam hati ayat ini, tiba-tiba datang Gus Ipul, panggilan untuk Saifullah Yusuf, sang Wakil Gubernur Jatim itu. Ia mengenakan sarung dan baju putih, dan duduk menempati kursi GM, karena tak ada kursi di bagian depan yang kosong. Sedikit sapa basa basi, aku melanjutkan mendengarkan GM yang masih akan terus bicara menarik.

Cirebon, 29 April 2014


***

MENDENGARKAN GUS MUS (2)
Jadilah Manusia

Ketika nama Gus Mus disebut MC dan diminta memberikan “Mau’izhah Hasanah” itu, GM bilang : “lho aku?. Sopo sing minta?. Panitia yang datang menghadap kemudian bilang : “Tuan rumah, Yai”. GM mendebat : “ah, tuan rumah gak ngomong karo aku?. “Ndilalah”, tuan rumah, adikku yang kiyai itu, datang. Kelihatannya dia ingin menemui kakaknya yang kiyai. Nah, melihat dia datang, aku segera memanggil: “gus, gus, sini dong. Ini, tolong bilang sama GM, minta beliau mauizhah”, kataku. Dan di hadapan GM, aku dan si panitia, tuan rumah lalu menyampaikan permohonannya. “Sipp”, kataku dalam hati. Si Panitia masih bilang : “nopo lungguh dateng kursi, nopo ngadeg, Yai?. GM diam sejenak. “Nek lungguh iso suwe. Nek ngadeg iso sedelat”. Lalu GM bangkit menuju panggung. Tanpa jawaban GM yang jelas, tegas, panitia, mempersiapkan kursi empuk di depan. Boleh jadi menurutnya ini cara paling terhormat untuk orang terhormat. GM lalu duduk sebentar, sekitar 7 menit saja. Ini mungkin untuk menghormati panitia tadi. Setelah itu GM berdiri, dengan mik/pengeras suara di tangan berjalan ke sana ke mari memperlihatkan keinginan untuk tampil komunikatif, menguasai panggung, seperti celebritas, atau seperti Mario Teguh atau yang lain.
GM mulai dengan menyampaikan tentang siapa kedua mempelai ini. “pengantin perempuan yang cantik itu adalah cucu guruku. Aku dulu mesantren di sini dan mengaji kepada kakeknya, Kiyai Mahrus Ali”.
Nah, sampai di sini, aku segera ingat, beberapa menit sebelumnya. Ketika tadi duduk berdampingan, aku berbisik kepada GM, kapan GM mesantren di Lirboyo ini. Sekitar tahun berapa?. Beliau bilang : “tahun 57 an”. (ini kalau aku tak salah dengar ya?). “Waktu itu aku gak iso opo-opo. Nulis Arab tidak bisa. Jadi semua aku tulis dengan tulisan latin”. He he he. Kami berdua tertawa kecil. “Wah aku baru tahu nih Gus?. He he he. Aku juga bertanya apakah “menangi” mbah Manaf atau Kiyai Abdul Karim?. GM bilang :”tidak, aku tidak bertemu. Aku hanya menangi (menjumpai/bertemu/semasa) Kiyai Marzuki”. Aku memendam kata-kataku : “kalau begitu sama dong. Aku juga masih bertemu dan mengaji kepada kedua Kiyai itu : Kiyai Marzuki dan Kiyai Mahrus Ali”.
“Sedangkan pengantin putranya, adalah cucuku, putranya Gus Ubab bin Kiyai Maemun Zubair. Wah, dia ini hebat, pidatonya memukau, tampil berceramah di mana-mana. Aku kalah. Tapi dia punya kekurangan. Dan untuk kekurangan yang satu ini aku menang. Yaitu : “jam terbang”. Aku belum mengerti apa yang dimaksud GM dengan “jam terbang”. GM lalu menjelaskan, “jam terbangku sudah empat puluh lima tahun. Selama itu aku dan mbahmu itu (maksudnya, isteri GM), sudah mengalami lika-liku, pahit getir, susah dan senang, bersama-sama”. Pikranku segera bilang : “GM selama 45 tahun sampai hari ini hidup bersama hanya dengan satu orang perempuan yang cantik, sabar dan membesarkannya”.
“Aku, Mbahmu ini berpesan,”rungokno yo?.” “Hendaklah kalian menjadi manusia”, GM melanjutkan bicaranya setelah ke sana ke mari. “Saya di banyak tempat selalu menganjurkan agar kita semua berusaha sekuat mungkin untuk menjadi manusia”. Aku belum paham. Bukankah kita semua sudah menjadi manusia?, kataku dalam hati sambil menanti penjelasan GM.
“Menjadi manusia artinya mengerti bahwa dirinya manusia, mengerti tentang manusia lain dan memanusiakan manusia”. Kata GM. Beliau mengucapkannya berulang-ulang. “Ini kata-kata yang amat indah, dahsyat dan mengagumkan dari seorang Gus Mus, sang budayawan itu”, kataku diam-diam. “Ketahuilah untuk menjadi manusia seperti ini tentu amat sulit. Mungkin hanya Nabi Muhammad yang menjadi Manusia seperti ini. Beliau seorang manusia biasa : “al-Basyar” dan “Abd Allah” (hamba Allah). Beliau manusia yang mengerti tentang manusia yang lain. Ketika ditanya seseorang: “pekerjaan apakah yang dapat mengantarkan aku ke surge?, beliau menjawab singkat : “La Taghdhab”, jangan suka marah. Manakala ditanya hal yang sama oleh orang lain lagi, beliau menjawab :”LaTakdzib”, jangan suka bohong. Jangan berdusta. Dan masih banyak lagi. Ini karena beliau mengerti tentang satu persatu manusia yang berbeda-beda watak dan kebiasaannya.”
Nah, “masih banyak lagi”, kata GM. Disentil ini, pikiranku segera mengembara ke antah berantah. Mencoba mengingat-ingat kata-kata Nabi yang lain. GM benar sekali. Nabi bisa menjawab secara berbeda-beda kepada orang yang berbeda-beda, meski pertanyaannya satu dan sama saja : “apakah yang dapat membawa manusia ke jalan sorga?. Atau dalam hadits disebut : “Amal apakah yang paling utama?.”.
“Ayyu al-A’mal Afdhal Ya Rasulallah? (Pekerjaan apa yang paling utama, wahai Nabi?), Tanya seorang sahabat. Nabi menjawab : “Al-Shalah fi/’ala Awwali Waqtiha (salat pada awal waktu masuk). Sahabat lain bertanya hal yang sama. Nabi menjawab : “Al-Shalat fi/’ala waqtiha” (shalat dalam waktunya). Pertanyaan yang diajukan sahabat yang lain lagi. Nabi menjawab : “Birr al-Walidain” (berbakti kepada kedua orang tua). Yang lain Nabi menjawab : “Hajj Mabrur”, (haji yang baik). Terhadap yang lain lagi beliau bilang : “Al-Jihad fi Sabilillah” (berjuang untuk kemanusiaan).Dan lain-lain.
Banyak orang yang bertanya kepadaku, suatu hari soal ini. Jadi yang paling utama yang mana?.Kok semuanya yang paling utama?. He he he
Aku jawab saja : “semua pekerjaan baik itu utama. Ini kontekstual saja. “Li Kulli Maqam Maqal” (setiap kondisi ada kata-kata yang paling sesuai). Atau ; “Li Kulli Maqal Maqam”. (Tiap ucapan ada ruangnya sendiri-sendiri).
GM melanjutkan. “Nabi adalah orang yang hadir atau dihadirkan di muka bumi ini untuk memanusiakan manusia. Mengangkat manusia yang dihinakan menjadi mulia. Yang bodoh atau dibodohi, diajari agar menjadi pintar”. GM tentu tidak akan menjelaskan panjang lebar soal ini. Ruangnyalah yang tidak memungkinkannya. Itu semua sesungguhnya bisa dibaca di Al-Qur’an maupun Sirah Nabawiyyah.
Aku hanya menambahkan saja dengan ayat, hadits dan kata-kata sahabat yang aku hafal dengan baik dan aku sampaikan di mana-mana. Al-Qur’an menyatakan : “Agar engkau (Muhammad) membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya”. Kegelapan adalah kezaliman dan kebodohan. Cahaya adalah Keadilan dan Ilmu Pengetahuan.
Suatu saat Nabi Saw. mengatakan : “Kekokohan Iman seseorang adalah jika dia berakhlaq baik dan bersikap lembut kepada isterinya”.
Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan : “Maa Akram al-Nisaa Illa Kariim. Wa Maa Ahanahunna Illa Laiim” (Hanya orang yang mulia yang bisa memuliakan perempuan. Dan hanya orang yang rendah budi yang merendahkan perempuan).
Aku kira begitulah antara lain makna menjadi Manusia.

Cirebon, 30 April 2014


***
KH. Husein Muhammad dan KH. A. Mustofa Bisri
MENDENGARKAN GUS MUS (3)
Pakaian Paling Indah

Gus Mus masih berdiri di atas panggung dengan tampan, meski warna putih telah menguasai seluruh kepalanya. GM memakai sarung dan baju putih kesayangannnya. Beliau benar-benar bak motivator beken dan keren. Atau seperti sang penguasa. Seluruh panggung dikuasai dengan baik. Matanya menyibak seluruh hadirin dan hadirat yang sejak awal telah siap mendengarkan tuturan-tuturan GM. Ada sekitar seribu laki-laki dan perempuan di sana dalam satu ruang raksasa tetapi terpisah oleh sekat. Suasana ruang diam, mereka seperti terhipnotis. Tak ada suara gaduh obrolan mereka, juga tanpa bisik-bisik yang mengganggu. Mata mereka tertuju ke satu sosok di pusat panggung. Meski wakil Gubernur ada di sampingku, di kursi tempat GM sebelumnya bercerita atau bercanda kecil denganku, aku tak peduli. Gus Ipul hadir sebagai diri yang bebas, bukan sebagai pejabat pemerintah yang selayaknya mendapatkan penghormatanku, meski MC selalu menyebutnya Bapak Wakil Gubernur Jawa Timur yang terhormat. Mataku menatap seluruh sosok laki-laki santun yang ada di depan. Tak ada alat di tanganku untuk mencatat setiap kata-katanya. Daya listrik di HP ku menunjukkan garis kuning, hampir merah. “Biar aku rekam saja di kepalaku, sebagaimana ketika aku bicara satu jam di rumahnya beberapa waktu lalu”, hatiku berbisik.
GM mendekati pelaminan, masih dengan mic yang digenggam. “Cucuku, Rajih, apakah kamu sudah sering bertemu Ning Dijah, sebelumnya?”, tanyanya sambil menyodorkan mic itu ke wajah pengantin laki-laki itu. Yang ditanya tampak gugup, gak mengira akan ditanya seperti itu?. “Belum”, katanya singkat. “Jadi belum pernah bertemu dan melihat dia, Ning Dijah yang cantik itu sama sekali?”, GM mendesak. “Hanya sekali”, jawabnya seperti ragu. “Kamu mencintai dia?”. “Ini pertanyaan yang menohok dan telak”, kata hatiku. Yang ditanya tidak menjawab dengan verbal. Dia hanya mengangguk. “Kamu, cucu guruku, apakah juga mencintai cucuku, ini?. Pengantin perempuan yang ditanya tampak kesulitan duduk, kaku dan tersipu-sipu. Tak juga menjawab, hanya menundukkan kepalanya, kode “ya”.
“Alhamdulillah”, GM menarik mic dan menyampaikan rasa syukur. “Kalau aku dulu gak sempat ngerti wajah Mbah putrimu itu. Tiba-tiba dikawinkan saja.” Kata GM. Aku tidak ingat lagi apakah GM kemudian ngomong begini : “Lha, tibane ketika dipertemukan yo ayu tenan, isteriku itu”. GM seperti mencari-cari sang kekasih itu di kerumunan kaum perempuan yang berjubel itu. Dan aku kira kedua kakek-nenek itu masih saling mencinta. Aku sering melihat di foto-foto GM. Dua suami isteri itu sering berdua ke mana-mana dan duduk dalam posisi “mepet”. Ada juga gambar di mana GM sedang disuapi ibu Nyai. Masih begitu mesra. Sayang sekali, ketika aku “ngobrol satu jam bersama GM di rumahnya, aku tak bertemu ibu nyai, isteri tercinta GM itu. Mudah-mudahan lain kali.
“Ngene yo nduk”. GM melanjutkan pitutur piwulangnya kepada kedua mempelai yang “ngguanteng” dan “cuantik” itu. “Kalau nanti sudah berumah tangga, kalian harus saling membagi kebaikan dan kegembiraan. Kalian harus saling menerima apa adanya dari pasanganmu”.
Kata-kata GM ini mengingatkan aku pada kata bijak yang juga dijadikan kaedah fiqh : “al Ridha bi al Syai ridha bi ma yataawallad minhu” (rela atas sesuatu berarti rela pada apa yang akan terjadi padanya dan yang akan muncul darinya). Al-Qur’an lalu menyampaikan : “Dan pergaulilah mereka secara ma’ruf (baik/patut). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Menarik sekali cara GM menyampaikan nasehat perkawinan ini. GM selalu bicara untuk dua orang ; laki-laki dan perempuan,suami dan isteri, dalam posisi setara. Beliau sama sekali tidak menekankan kepada isteri untuk selalu patuh kepada suaminya. Tidak juga sebaliknya. Ini yang berbeda dari para penasehat perkawinan pada umumnya yang selalu atau lebih banyak menasehati mempelai perempuan saja, yang menekankan “isteri harus ini, harus itu, tak boleh begini atau begitu”. Paling tidak itulah yang sering aku dengar. Mungkin tidak semuanya. GM agaknya ingin menekankan prinsip “Kesalingan”, bukan prinsip “Dominasi satu atas yang lain, ataupun prinsip “Otoritas tunggal”. GM malahan kemudian mengutip ayat al-Qur’an : “Hunna Liasun Lakum wa Antum Libasun lahunn”/mereka (isteri) adalah pakaian bagimu dan kamu (suami) pakaian bagi mereka (Isteri). “Kata-kata al-Qur’an ini”, kata GM, “sungguh indah. Allah menyebutkan kata “libas” (pakaian). Ini sebuah kata metafora, kiasan atau apalah namanya. Pakaian itu berfungsi utama menutupi aurat, sesuatu yang tak elok dipandang orang luar, suatu cela, atau celah. Dalam relasi suami isteri, ia berarti bahwa suami dan isteri diperintahkan untuk saling menjaga kebaikan dirinya dan pasangannya, menutupi keburukannya kepada orang luar. Meski dalam kenyataannya memang adalah keburukan, tetapi biarlah itu menjadi pengetahuan berdua saja”
“Ini nasehat yang luar biasa”, aku menyimpan kekaguman. “Tak ada yang berguna bila keburukan pasangan kita dipercakapkan di hadapan orang lain, apalagi khalayak. Aku pikir, manakala seseorang menyampaikan keburukan pasangannya kepada orang lain, maka itu berarti dia sedang memperlihatkan keburukannya sendiri. Bilapun kegelisahan karena buruknya sikap pasangan itu terus menekan jiwa, maka mungkin baik jika dikonsultasikan dengan orang yang dapat dipercaya, tetapi juga hanya dalam rangka mencari jalan terang”. Ini pikiranku saja.
GM masih meneruskan. “Itu fungsi utama pakaian, meski ada lagi fungsi-fungsi yang lain”. GM hampir menyebut satu ayat al-Qur’an yang lain yang menjelaskan fungsi yang laindari pakaian itu, tapi tak jadi. Mungkin fungsi pertama itulah yang paling penting dan utama untuk menjadi perhatian pasangan.
Aku selalu saja tergoda untuk memberikan catatan tambahan atas hal yang mungkin tak perlu disampaikan GM, karena terlalu makan waktu. Soal fungsi lain dari pakaian itu, misalnya. Ketika GM menyebut satu kata “Taqiikum”, yang tidak dilanjutkan itu, mulutku menyambung : “ Taqiikum al-Harra wa Taqiikum Ba’sakum”. Ini bagian dari ayat al-Qur’an : “Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).”
Aku pernah menulis soal tafsir ayat ini untuk seminar, juga untuk buku Kado Pernikahan anakku. Aku tulis : Ibnu Jarir al Thabari, guru besar para ahli tafsir, mengemukakan sejumlah tafsir atas ayat ini. Pertama bahwa ia adalah metafora untuk makna penyatuan dua tubuh dalam kesalingan yang intim (indhimam jasad kulli wahid minhuma li shaahibih). Kedua, mengutip ahli tafsir lain: Mujahid dan Qatadah, bahwa ia berarti masing-masing pasangan saling memberi ketenangan bagi yang lainnya (Hunna sakanun lakum wa Antum sakanun lahunna).
“Tapi ada yang lebih baik dari semua pakaian itu”, ujar GM. “Ia adalah pakaian Taqwa”. Lalu GM menyebut : “Wa Libas al-Taqwa Dzalika Khair”. Pakaian taqwa itulah yang paling baik, paling utama. “Mak Jlebb”, refleksi cepatku atas kata-kata GM ini. Ia adalah satu kata yang belakangan popular di kalangan anak-anak muda, anak-anak “gaul”, untuk makna “Tepat, Mengena dan Menancap di lubuk hati dan di ujung otak, sehingga tak bisa lagi berkutik. “Hebatlah GM, sang Kiyai penyair ini”, aku mengaguminya lagi.
GM masih belum berhenti bicara, membagi pengetahuan yang menggairahkan dan pitutur spiritual yang menebarkan cahaya. “Ya Taqwa itulah yang utama, yang principal dalam segala relasi”. GM lalu menyitir ayat al-Qur’an yang sudah sangat masyhur: “Wahai Manusia, Aku Ciptakan kalian laki-laki dan perempuan. Dan Aku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di Mata Allah adalah yang paling bertaqwa”. “Coba renungkanlah dalam-dalam ayat ini. Sungguh betapa indahnya ayat ini. Mengenal itu mengetahui dan memahami dengan mendalam dan meluas”, kata GM. “Ya benar, mengenal itu tidak sekedar tahu nama, alamat, silsilah keturunan dan pendidikannya di mana dan kapan atau siapa saja teman-temannya. Mengenal itu memahami watak, kebiasaan dan aspek-aspek lain dari manusia yang berbeda-beda itu.” Komentar pikiranku. “Dan lebih dari itu mengenal adalah memahami bahwa tak ada keunggulan satu manusia atas manusia lain, satu suku atas suku yang lain, satu bangsa atas bangsa yang lain, satu warna mata atas warna mata yang lain dan seterusnya. Semuanya adalah hamba Allah”, komentar lanjutanku. “Maka, yang paling unggul di Mata Allah hanyalah soal kedekatan manusia dengan Dia, soal kesetiaan kepada-Nya, yang adalah kesetiaan manusia untuk saling membagi kegembiraan dan kebahagiaan kepada manusia yang lain”.
Aku pikir tak ada kalimat yang demikian genuine, orisinal, dan menukik ke dasar jantung kemanusiaan universal seperti kata-kata Tuhan dalam Surah al-Hujurat itu. Ia justeru dihidangkan kepada manusia abad tujuh masehi, di guruh sahara Arabia yang kering kerontang dan ditelikung oleh gunung-gemunung tanpa daun-daun hijau atau bunga-bunga indah berwarna warni, saat dunia masih diliputi oleh kegelapan yang pekat dan menyebar.
GM sebentar lagi akan mengakhiri tuturan-tuturan yang indah dan memukau. Dia akan turun panggung, sebentar lagi.

Jakarta, 30 April 2014


***


KH. Husein Muhammad
MENDENGARKAN GUS MUS (4 – Habis)
Mas, Maafkan Aku Ya

Aku membaca tanda-tanda GM akan mengakhiri bicaranya. Beliau tampak paham masih ada sisa acara yang direncanakan Panitia. Sementara itu waktu juga sudah mendekati jam 14.00. Acara lain itu adalah foto-foto bersama pengantin dan keluarga, atau teman-teman mereka. Sebelum GM tampil acara foto-foto untuk sebagian sudah dilaksanakan. Aku berbahagia, karena mendapat panggilan pertama untuk tampil difoto dengan kedua pengantin, bersama nama-nama lain : Kiyai Anwar Manshur, Kiyai Abd Aziz Manshur, Keduanya guru-guruku, Kiyai Kafabihi Mahrus, adikku yang adalah ayah mempelai perempuan, Kiyai Abd Rahman Ibnu Ubaidillah, pamanku, Kiyai Mahshun Muhammad, adikku, dan ini dia : Gus Mus. Aku lupa nama lainnya.
GM mungkin sudah satu jam bicara untuk kedua pengantin, meski terasa baru sebentar saja. Hadirin dan hadirat juga masih setia mendengarkan, tak ada yang keluar ruangan besar itu.
“Barangkali cukup sekian saja ya, cucu-cucuku?, sing penting apa yang tadi kakek sampaikan direnungkan baik-baik. Semoga bermanfaat”, begitu kira-kira GM mengakhiri mau’izhah hasanahnya. Dan “Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamitthariq. Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh”.

GM turun dari panggung. Aku segera bangkit meninggalkan kursiku dan membiarkannya kosong untuk GM, dan kursi GM yang diduduki Gus Ipul biar tetap untuk pak wakil Gubernur Jatim itu. Tetapi tiba-tiba Gus Ipul bangkit juga. Dia sangat mengerti bahwa kursinya adalah kursi GM. Nah, jadinya aku dan Gus Ipul sama-sama berdiri menjemput GM lalu mempersilakan beliau kembali ke tempatnya semula. Kami berdua berebut bilang : “moggo Gus, monggo”. Tapi oh!. GM mencari dan menuju kursi lain yang kosong, agak jauh di seberang deretan kami. Aku tak bisa bicara apa-apa, seraya mengagumi GM. Beliau selalu saja tak ingin diperlakukan dengan penghormatan berlebihan. Itu sering terjadi di banyak tempat. Ketika di PBNU, dalam acara membincang Fiqh Sosial Kiyai Sahal, misalnya, beliau duduk di belakang, padahal beliau adalah pemimpin tertinggi di organisasi itu. Beberapa orang pengurus berkali-kali meminta duduk di depan, GM tetap tak bergerak. Beliau mendengarkan dari jarak jauh. Aku jadi ingat sirah Nabawiyyah i: “Manakala Nabi masuk dalam suatu majlis, beliau duduk di tempat mana saja yang kosong yang dilihatnya pertama kali. Beliau tak melangkahi apalagi menyingkirkn orang-orang yang sudah menduduki suatu tempat”.
Acarapun usai. Pengantin laki-laki turun dari pelaminan dan berdiri di pintu masuk,tamu laki-laki bersama tuan rumah. Pengantin perempuan juga turun dan berdiri di pintu masuk untuk para tamu perempuan, bersama tuan rumah perempuan. Di tempat masing-masing, mereka berdiri menerima salaman para tamu yang akan pulang.

Di halaman luar, dekat pintu masuk, GM berdiri di samping mobil Toyota putihnya. Aku tidak bertanya. Tetapi aku kira beliau sedang menunggu ibu Nyai, isteri tercintanya. Aku melihat Nopol. K 1926. Hanya itu. “Wah, aku benar ketika dulu hanya menulis nopol itu.” kataku diam-diam. “Kok tanpa ada huruf di belakangnya?. Belum sempat GM menjawab, seorang teman “nyletuk” : “itu pesenan, kiyai”. Dan GM senyum-senyum saja.
Kami kemudian berpisah. Sopir mobil yang mengantarku yang tak lain adalah menantuku sendiri tiba dan mempersilakan aku masuk untuk pulang. Manakala telah sampai di kamar dan usai shalat Zhuhur dan Ashar jama’-qashar, aku tertegun. Aku ingat lagi kata-kata GM yang belum aku tulis. Yaitu ketika GM bercerita saat menunggu di samping isterinya yang akan melahirkan, dan melihat dengan matanya si ibu dalam suasana fisik dan jiwa yang sangat berat : “Wahnan ‘ala Wahnin” atau “Hamalathu Umuhu Kurhan wa Wadha’athu Kurhan” (dia mengandungnya dalam keadaan amat berat dan melahirkannya juga amat berat), berat dan sakit yang berlapis-lapis. GM masih mengatakan : “Bahkan saat itu, kakekmu (isteri GM) sampai bilang kepadaku : “Mas, maafkan aku ya?, maafkan kesalahanku ya? Aku sering salah atau menyakitimu”. Kata-kata ini menggambarkan tipisnya harapan untuk bisa hidup. Ia semacam wasiat bila kemudian ajal menjemput saat tak kuat menanggung rasa sakit melahirkan.
Saat mendengar kata-kata itu dari cerita GM, dadaku bergemuruh. Air hangat dari pelupuk mata hampir saja tumpah. Aku teringat ibuku dan teringat pula kata-kata Nabi : “Man Ahaqq al-Naas bi Husni Shahabati?” Siapakah orang yang paling utama untuk aku pergauli dengan sebaik-baiknya?”, tanya seorang sahabat. Nabi menjawab : Ibumu. Kemudian siapa lagi?. Nabi menjawab : Ibumu. Lalu siapa lagi?. Nabi menjawab : Ibumu. Setelah itu siapa?. Nabi mengatakan : Abuka, ayahmu”.
Dan bersikap rendah-hatilah kamu dalam suasana penuh kasih terhadap mereka berdua dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, anugerahi Kasih-Mu kepada mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik dan mengasuh aku pada masa kecil (hingga dewasa”.
Salam Ta’zhim untuk Gus Mus. Mohon maaf bila ada yang salah. Semoga Allah memberkahi hari-harimu.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 01 Mei 2014


***

Tulisan ini merupakan Catatan Fesbuk KH Husein Muhammad (Cirebon) saat Beliau menghadiri pernikahan putri KH. Kafabih Lirboyo | Mauidhah Hasanah oleh KH. A. Mustofa Bisri (Rembang).
Sumber Photo dari Fesbuk Beliau.

~ Mugo-mugo kecipratan barokah doanya, Aamiin 

2 komentar:

  1. Syukron jazakallahu khoir,,,,
    Matur suwun,menginspirasi, penuh hikmah, semoga bisa meneladani beliau (Gus Mus), psangan pengantinpun bsa amnah dan dibrikan Allah kmmpuan utk mnjlankan nasehat2 beliau.
    Aaamiiin.

    BalasHapus

Tubuh Matahari

tubuh matahari di matamu kuning langsat tetiba hadir di rumahku tanpa salam pun pesan kau terus menyediakan angan bagi pertapa yang kensunyi...