Minggu, 18 November 2012

Mendinamiskan Komunitas Sastra Kendal


Sabtu, 24 Maret 2012, bertempat di Balai Kesenian Remaja (BKR), Kompleks GOR Bahureksa Kendal, Kebun Sastra yang dikomandanipenyair Kelana, menggelar diskusi sastra dengan mengangkat tajuk “Rekonstruksi Sastra Kendal”. Ada empat narasumber yang dihadirkan, yakni Bambang Dwiyono (Sekda Pemkab Kendal), Sawali Tuhusetya, Bahrul Ulum A. Malik (penggiat Komunitas Plataran Sastra Kaliwungu/PSK), dan Heri Candra Santosa (penggiat Komunitas Lereng Medini Boja). Kelana sendiri bertindak sebagai moderator.
Dalam diskusi yang dihadiri sekitar 30-an penggiat sastra dari komunitas sastraKendal, seperti Komunitas Lereng Medini (Boja), Bongkar (Sukorejo), Rumah Diksi (Brangsong), Plataran Sastra Kaliwungu (PSK), Komunitas Kebun Sastra (Kendal), dan beberapa penyair Batang (Edi S. Febri, dkk.) itu terungkap tentang pasang surut dan dinamika sastra Kendal dari masa ke masa. Harus diakui, Kendaltermasuk kota kecil yang telah melahirkan banyak sastrawan kondang. Sebut saja nama Ahmadun Y. Herfanda, Nung Runua, Gunoto Sapari, atau Prie GS. Mereka adalah sastrawan kelahiran Kendal yang dikenal cukup produktif dalam melahirkan karya-karya sastra berkelas, baik cerpenpuisi, maupun novel, pada zamannya.
Namun, agaknya Kendal tergolong kota yang kurang “ramah” dalam menghidupi para sastrawannya untuk terus berkarya di “rumah” sendiri. Akibat tuntutan perubahan dan dinamika zaman yang terus berlangsung, para sastrawan Kendallebih memilih kota lain untuk berkarya dan berkreativitas. Ahmadun Y. Herfanda dan Nung Runua di Jakarta, sedangkan Gunoto Sapari dan Pri GS di Semarang. Praktis, sepeninggal mereka, sastra Kendal dalam keadaan tiarap. Hampir tak ada event-event kegiatan sastra yang bisa dibanggakan. Masih beruntung, Kendalmemiliki kelompok Teater Semut yang masih terus eksis pentas dan menggelar event “Gelar Budaya” tahunan. Setidaknya, sastra Kendal tidak sampai “mati suri”.
Tahun 1996-an, ketika saya datang dan mulai menetap di kota Bahureksa, saya terpaksa harus “lari” ke Semarang untuk menuntaskan “naluri” bersastra. Semarang terbilang kota yang mengakrabkan saya pada ranah sastra. Di kota Lumpia itu saya bisa bersilturahmi dan ngobrol apa saja dengan Budi Maryono, Gunawan Budi Susanto (Putu), S. Prasetyo Utomo, Triyanto Triwikromo, Basa Basuki, Yudiono KS, Nurdien HK, dan beberapasastrawan lain. Simpang Lima atau kawasan Jalan Pemuda sesekali jadi tempat obrolan sambil “nyrutup” teh poci khas Tegal, hingga larut malam. Atmosfer seperti itu sulit saya dapatkan di Kendalhingga beberapa tahun lamanya.
Baru sekitar 2009-an sastra di Kendal mulai menggeliat. Kehadiran penyair Kelana dan Slamet Priyatin, harus diakui, telah membuat peta sastra Kendal berubah. Berbagai event sastra rutin digelar, baik dalam bentuk diskusi maupun pentas. Karya-karya penyair muda dibedah bareng-bareng; diapresiasi dan dikritisi, hingga “adrenalin” para penyair muda potensial bisa terus terpacu dan terasah. Kemudian,puisi-puisi terbaik karya penyair-penyair muda diabadikan dalam bentuk “bunga rampai”, meski harus diterbitkan secara mandiri. Yang tak bisa dilupakan, tentu saja peran Sigid Susanto. Sastrawan yang kini menetap di Perancis itu setiap tahun meluangkan waktu pulang ke kampung halaman (Boja), lantas menggelar event “Apresiasi Sastra” selama beberapa hari dengan mengundang para sastrawan“berkelas” dari berbagai kota, bahkan manca negara. Para penulis muda, penggiat, dan pencinta sastra diundang untuk hadir, lantas berbaur bersama dalam suasana santai dan akrab bersama sastrawan-sastrawan hebat. F. Rahardi, Agus Noor, Wayan Sunarto (Penyair Bali), Shiho Sawai (Jepang), Thomas Blarer (Swiss), Aguk Irawan Mn., Tien Suwartinah (Pontianak), Adi Toha, Ahmad Tohari, Saut Situmorang, dan beberapa sastrawan lain pernah singgah di kota ini.
Sastra Kendal kian menggeliat ketika bermunculan berbagai komunitas sastrayang cukup eksis dalam menggelar event-event sastra “bergengsi”. Komunitas Lereng Medini (Boja), Bongkar (Sukorejo), Rumah Diksi (Brangsong), PlataranSastra Kaliwungu (PSK), atau Komunitas Kebun Sastra (Kendal) yang dikomandani masing-masing oleh Heri CS, Setia Naka Andrian, Bahrul Ulum A. Malik, dan Kelana, terbilang gigih dan visioner dalam berkiprah mendinamiskan sastra Kendalmelalui kantong sastra yang dikelolanya. Bahkan, Setia Naka Andrian, punya nyali besar “melompat dengan tradisi” dengan menerbitkan buletin sastra secara rutin yang bisa diunduh secara gratis di Rumah Diksi.
Tentu, komunitas sastra saja tidak cukup. Para penggiat komunitas dengan “ideologi” dan visinya masing-masing perlu terus mengobarkan semangat dan passion berkarya, dengan tak henti-hentinya menggelar event-event sastra untuk menciptakan atmosfer kreativitas bagi para penulis muda agar proses regenerasi tidak “kepaten obor”. Bahkan, jika memungkinkan, dari Komunitas Sastrabergerak dan melaju ke dalam ranah “Sastra Komunitas” sehingga akan bermunculan karya-karya “masterpiece” dan eksotis yang memiliki kekhasan dan tampil beda. Mudah-mudahan “mimpi” itu bisa terwujud, sehingga sastra Kendalbisa terus eksis dalam peta sastra Indonesia mutakhir. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tubuh Matahari

tubuh matahari di matamu kuning langsat tetiba hadir di rumahku tanpa salam pun pesan kau terus menyediakan angan bagi pertapa yang kensunyi...